1.
Maisir
a.
Pengertian
Maisir
Kata maisir dalam bahasa Arab
arti secara harfiah adalah memperoleh sesuatu dengan sangat mudah tanpa kerja
keras atau mendapat keuntungan tanpa bekerja. Yang biasa juga disebut berjudi.
Istilah lain yang digunakan dalam al-Quran adalah kata `azlam` yang berarti praktek perjudian.[1]
Secara bahasa, maisir bisa dimaknakan
dalam beberapa kalimat : Gampang/mudah, orang yang kaya dan wajib. Secara
istilah, maisir adalah setiap Mu’amalah
yang orang masuk kedalamnya dan dia mungkin rugi dan mungkin beruntung. Kalimat
“mungkin rugi dan mungkin untung”, juga ada dalam Mu’amalah jual beli, sebab orang yang berdagang mungkin untung
mungkin rugi.
Namun Mu’amalah jual beli ini
berbeda dengan maisir, seorang pedagang bila mengeluarkan uang maka ia
memperoleh barang dan dengan barang itu ia bermu’amalah untuk meraih keuntungan walaupun mungkin ia mendapat
kerugian, tapi maisir, begitu seseorang mengeluarkan uang maka mungkin ia rugi
atau tidak dapat apapun dan mungkin ia beruntung.[2]
Definisi maisir dalam istilah
ulama, walaupun sebagian orang mengartikan maisir
ini ke dalam bahasa Indonesia dengan pengertian sempit, yaitu judi. Judi dalam
terminologi agama diartikan sebagai suatu transaksi yang dilakukan oleh dua
pihak untuk kepemilikan suatu benda atau jasa yang menguntungkan satu pihak dan
merugikan pihak lain dengan cara mengaitkan transaksi tersebut dengan suatu
tindakan atau kejadian tertentu. Prinsip berjudi adalah terlarang, baik itu
terlibat secara mendalam maupun hanya berperan sedikit saja atau tidak berperan
sama sekali, mengharapkan keuntungan semata (misalnya hanya mencoba-coba) di
samping sebagian orang-orang yang terlibat melakukan kecurangan, kita
mendapatkan apa yang semestinya kita tidak dapatkan, atau menghilangkan suatu
kesempatan. Melakukan pemotongan dan bertaruh benar-benar masuk dalam kategori
definisi berjudi.[3] Allah SWT berfirman dalam Surah Al-Maidah
ayat 90-91 :
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِنَّمَا ٱلْخَمْرُ وَٱلْمَيْسِرُ وَٱلْأَنصَابُ
وَٱلْأَزْلَٰمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ ٱلشَّيْطَٰنِ فَٱجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ
تُفْلِحُونَ إِنَّمَا يُرِيدُ ٱلشَّيْطَٰنُ أَن يُوقِعَ
بَيْنَكُمُ ٱلْعَدَٰوَةَ وَٱلْبَغْضَآءَ فِى ٱلْخَمْرِ وَٱلْمَيْسِرِ
وَيَصُدَّكُمْ عَن ذِكْرِ ٱللَّهِ وَعَنِ ٱلصَّلَوٰةِ ۖ فَهَلْ أَنتُم مُّنتَهُونَ
Artinya :“Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya minuman
keras, berjudi, (berkorban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak
panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan)
itu agar kamu beruntung. Dengan minuman keras dan judi itu, setan hanyalah
bermaksud menimbulkan permusuhan dan kebencian diantara kamu, dan
menghalang-halangi kamu dari mengingat Allah dan melaksanakan shalat, maka
tidaklah kamu mau berhenti?” (QS. al-Maidah: 90-91)[4]
Judi pada umumnya (maisir) dan
penjualan undian khususnya (azlam)
dan segala bentuk taruhan, undian atau lotre yang berdasarkan pada
bentuk-bentuk perjudian adalah haram. Islam melarang segala bentuk bisnis yang
mendatangkan uang yang diperoleh dari untung-untungan, spekulasi dan ramalan
(misalnya judi) dan bukan diperoleh dari bekerja.[5]
b.
Maisir Dalam Bisnis
Akad judi menurut Dr. Husain Hamid Hisan merupakan akad gharar, karena
masing-masing pihak yang berjudi dan bertaruh tidak menentukan pada waktu akad,
jumlah yang diambil atau jumlah yang ia berikan, itu bisa ditentukan nanti,
tergantung pada suatu peristiwa yang tidak pasti, yaitu jika menang maka ia
mengetahui jumlah yang diambil, dan jika kalah maka ia mengetahui jumlah yang
ia berikan.
Undian dapat dipandang sebagai perjudian dimana aturan mainnya adalah
dengan cara menentukan suatu keputusan dengan pemilihan acak. Undian biasanya
diadakan untuk menentukan pemenang. Contohnya adalah undian di mana peserta
harus membeli sepotong tiket yang diberi nomor. Nomor tiket-tiket ini lantas
secara acak ditarik dan nomor yang ditarik adalah nomor pemenang. Pemegang
tiket dengan nomor pemenang ini berhak atas hadiah tertentu.[6]
Judi dalam terminologi agama diartikan sebagai “suatu transaksi yang
dilakukan oleh dua pihak untuk kepemilikan suatu benda atau jasa yang
menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lain dengan cara mengaitkan
transaksi tersebut dengan suatu tindakan atau kejadian tertentu. Judi baik
kecil ataupun besar, merupakan faktor yang dominan atau faktor kecil dari
sebuah transaksi hukumnya adalah haram. Biasanya judi adalah merupakan untuk
mendatangkan uang yang diperoleh dari untung-untungan. Maisir terdapat dalam dua hal yaitu dalam permainan dan atau
perlombaan juga dalam transaksi bisnis.
2. Tadlis
Setiap transaksi dalam islam harus didasarkan pada prinsip kerelaan
antara kedua belah pihak. Mereka harus mempunyai informasi yang sama sehingga
tidak ada pihak yang merasa dicurangi ataupun ditipu karena terdapat kondisi di
mana salah satu pihak tidak mengetahui informasi yang diketahui pihak lain.
Dalam bahasa fiqih, penipuan semacam itu disebut dengan tadlis. Seabagaimana hadis yang berbunyi sebagai berikut
:
أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مَرَّ عَلَى صُبْرَةِ طَعَامٍ فَأَدْخَلَ يَدَهُ
فِيهَا فَنَالَتْ أَصَابِعُهُ بَلَلاً فَقَالَ « مَا هَذَا يَا صَاحِبَ الطَّعَامِ
. قَالَ أَصَابَتْهُ السَّمَاءُ يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ « أَفَلاَ جَعَلْتَهُ
فَوْقَ الطَّعَامِ كَىْ يَرَاهُ النَّاسُ مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنِّى
Artinya : “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melewati setumpuk
makanan, lalu beliau memasukkan tangannya ke dalamnya, kemudian tangan beliau
menyentuh sesuatu yang basah, maka pun beliau bertanya, “Apa ini wahai pemilik
makanan?” Sang pemiliknya menjawab, “Makanan tersebut terkena air hujan wahai
Rasulullah.” Beliau bersabda, “Mengapa kamu tidak meletakkannya di bagian
makanan agar manusia dapat melihatnya? Ketahuilah, barangsiapa menipu maka dia
bukan dari golongan kami.” (HR. Muslim no. 102).[7]
مَنْ غَشَّنَا
فَلَيْسَ مِنَّا، وَالْمَكْرُ وَالْخِدَاعُ فِي النَّارِ
Artinya :
“Barangsiapa yang menipu, maka ia tidak termasuk golongan kami. Orang yang
berbuat makar dan pengelabuan, tempatnya di neraka” (HR. Ibnu Hibban 2: 326.)[8]
Dari hal tersebut setidaknya
dapat terbagi empat macam dari tadlis, yakni dalam kuantitas, kualitas,
harga, dan barang.[9]
Pertama, tadlis kuantitas
adalah penipuan dalam kuantitas. Contohnya adalah pedagang yang mengurangi
takaran (timbangan) barang yang dijualnya. Kedua, tadlis kualitas yaitu dalam
penipuan dalam kualitas seperti penjual yang menyembunyikan cacat barang yang
ditawarkan. Seperti penjual buah-buahan dalam keranjang. Penjual meyakinkan
pembeli bahwa buah yang dijualnya dalam keranjang dalam keadaan segar, akan
tetapi setelah pembeli membeli buah tersebut dan membukanya setelah sampai
dirumah, kenyataan yang didapatkan yaitu buah yang segar hanya pada buah yang
tampak dari luar, dan buah yang ada di dalamnya sudah tidak layak lagi untuk
dimakan.
Ketiga, tadlis harga yaitu
penipuan dalam harga seperti memanfaatkan ketidaktahuan pembeli akan harga
pasar dengan menaikkan harga produk di atas harga pasar. Contohnya seorang
tukang becak yang menawarkan jasanya kepada turis asing dengan menaikkan tarif
becaknya 10 kali lipat dari tarif normalnya. Hal ini dilarang karena turis
asing tersebut tidak mengetahui harga pasar yang berlaku.
Bentuk tadlis yang terakhir
adalah tadlis dalam waktu penyerahan. Contohnya adalah petani buah yang menjual
buah di luar musimnya padahal si petani mengetahui bahwa dia tidak dapat
menyerahkan buah yang dijanjikan itu pada waktunya.
3.
Gharar
Gharar memiliki arti secara
bahasa adalah khida’ tipuan, gisy kecurangan. Menurut Wahbah Zuhaili,
Jual beli gharar adalah jual beli
yang menyimpan bahaya, yang merugikan salah satu pihak, sehingga menghilangkan
harta pihak pembeli Gharar ini
terjadi bila kita memperlakukan sesuatu yang seharusnya bersifat pasti menjadi
tidak pasti. Jual beli macam ini. tidak diperbolehkan dalam Islam.[10] Sebagaimana hadis yang berbunyi sebagai
berikut :
نَهَى رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ
الْغَرَرِ
Artinya
: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli al-hashah dan jual beli gharar” (H.R Muslim)[11]
Sedangkan jula-beli gharar,
menurut keterangan Syaikh As-Sa’di, termasuk dalam katagori perjudian. Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah sendiri menyatakan, semua jual-beli gharar, seperti menjual burung di udara, onta dan budak yang kabur,
buah-buahan sebelum tampak buahnya, dan jual-beli al-hashaah, seluruhnya termasuk perjudian yang diharamkan Allah di
dalam Al-Qur’an.[12]
4.
Riba
Riba menurut pengertian bahasa
berarti az-Ziyadah yang berarti
tambahan. Yang dimaksudkan di sini ialah tambahan atas modal dengan cara batil,
baik penambahan itu sedikit ataupun banyak. Riba adalah salah satu yang
termasuk dosa besar. Secara garis besar, riba dikelompokkan menjadi dua.
Masing-masing adalah riba utang piutang dan riba jual beli. Kelompok pertama
terbagi lagi menjadi riba qardh dan riba jahiliyyah.[13]
5.
Risywah
Risywah adalah perbuatan yang
memberi sesuatu kepada pihak lain untuk mendapatkan sesuatu yang bukan haknya
atau disebut juga dengan suap-menyuap. Suatu perbuatan akan dapat dikatan
sebagai perbuatan risywah jika
dilakukan kedua belah pihak secara suka rela.
Jika hanya salah satu pihak yang meminta suap dan pihak yang lain tidak
rela atau dalam keadaan terpaksa atau hanya untuk memperoleh haknya, hal
tersebut tidak termasuk kategori risywah,
melainkan tindakan pemerasan. Jika hanya salah satu pihak yang meminta suap dan
pihak yang lain tidak rela atau dalam keadaan terpaksa atau hanya untuk memperoleh
haknya, hal tersebut tidak termasuk kategori risywah, melainkan tindakan
pemerasan. Rasulullah SAW bersabda :
:اىلاقهبىلوأزاىلافخحسلابدبىمحللك:لاق؟ذحسلاامىهلللاىطزاً(السشىةفُالحكم).
وعىابىمظعىدأًضاأنهقال: السحخؤهُقضُالسجللأخُهحاجتفيهدًإليههدًةفُقبلها.
Artinya : “Setiap daging yang tumbuh dari
harta “suht” maka api neraka lebih layak baginya. Para sahabat bertanya; Wahai
Rasulullah SAW apakah
yang dimaksud dengan “suht”?Rasulullah SAW menjawab, “Suht”yaitu suap menyuap dalam perkara hukum. Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu berkata bahwa yang
dimaksud dengan ‘’suht‟ yaitu seseorang memutuskan suatu perkara bagi saudaranya
kemudian memberinya hadiah dan diterimalah hadiah
tersebut.[14]
Hadis tersebut, menjelaskan
bahwasanya perbuatan suap sangat dilarang dalam Islam. Hal ini dikarenakan
sangat merugikan baik untuk diri sendiri ataupun orang lain.
6.
Al Ba’i Al Najasyi
Al ba’i al najasyi yaitu sebuah
permintaan palsu, hal ini diharamkan diharamkan karena penjual melakukan
praktik bisnis dengan cara memuji-muji kualitas dan kuantitas barang-barangnya.
Seolah orang tersebut yang nantinya akan membeli barangnya dengan harga tinggi.
Akibatnya, orang lain yang melihat akan terpengaruh dan tertipu dengan harga
tersebut. Padahal, orang yang memuji dan membeli barang itu tak lain adalah
temannya sendiri. Si penjual hanya ingin menipu orang lain agar membeli
barangnya dengan harga yang ia inginkan. Rasulullah SAW bersabda :
نَهَى
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ النَّجْشِ
Artinya : “Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam melarang dari jual beli najasy.” (HR. Bukhari no. 2142 dan Muslim No. 1516)’’[15]
Hal ini terjadi misalnya, dalam bursa saham, bursa valas, dann lain-lain.
Cara yang ditempuh bias bermacam-macam, mulai dari menyebarkan isu, melakukan
order pembelian, sampai benar-benar melakukan pembelian pancingan agar tercipta
sentiment pasar untuk ramai-ramai membeli saham (mata uang) tertentu. Bila
harga sudah naik sampai level yang diinginkan, maka yang bersangkutan akan
melakukan aksi ambil untung dengan melepas kembali saham yang sudah dibeli,
sehingga ia akan mendapatkan untung besar. Praktik al ba’i al najasyi ini dilarang dalam Islam katrena akan melahirkan
permintaan palsu (false demand).[16]
7.
Rekayasa
Pasar Dalam Supply (Ikhtikar)
Rekayasa pasar dalam supply
terjadi bila seorang produsen atau penjual mengambil keuntungan di atas
keuntungan normal dengan cara mengurangi supply
agar harga produk yang dijualnya naik. Hal ini dalam istilah fiqh disebut ikhtikar. ikhtikar
biasanya dilakukan dengan menghambat produsen atau penjual lain masuk ke pasar,
agar ia menjadi pemain tunggal (monopoli). Karena itu, iktikar disamakan dengan
monopoli dan penimbunan, padahal tidak selalu seorang monopolis melakukan ikhtikar.[17] Rasullullah SAW bersabda :
مَن دَخَلَ في
شَيءٍ من أسعارِ المُسلِمينَ لِيُغلِيَه عليهم، فإنَّ حَقًّا على اللهِ تَبارك
وتَعالى أنْ يُقعِدَه بعُظْمٍ من النَّارِ يَومَ القيامَةِ.
Artinya : “Siapa yang mempengaruhi harga bahan makanan kaum muslimin sehingga
menjadi mahal, merupakan hak Allah untuk menempatkannya ke dalam tempat yang
besar di neraka nanti di hari kiamat.” (HR. Ahmad, 4:485).[18]
Jika seorang pedagang membeli barang pada saat murah, lalu disimpan
hingga harga naik dan dijual pada saat itu sesuai dengan harga pasar, aksi ini
tidak termasuk ihtikar dengan catatan tidak
merugikan orang banyak, tidak merusak harga pasar, dan barang masih dijual pedagang lain.
Dalam Takmilat Al-Majmu’ dijelaskan, “Ihtikar yang diharamkan, yaitu:
membeli barang pada saat harga naik dan ditimbun agar harganya lebih tinggi
lagi. Adapun jika membeli barang pada saat harga murah (musim panen) lalu
ditahan hingga harga naik dan dijual saat itu, tidaklah diharamkan.”
[1]Dimyauddin
Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h. 106
[3]Dimyauddin
Djuwaini, Pengantar Fiqh,…, h. 109
[4]Departemen
Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an Al-Karim Tajwid Dan TerjemahanEdisi
Wanita.,h. 123
[5]Gufron
A. Masadi, Fikih Muamallah Kontekstual,
cet 1, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002) ,h, 141
[6]Adiwarman
A. Karim, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer,
(Jakarta: Gema Insani Pres,2001) h, 93
[7]Syaikh,
Al-‘Allamah dan Muhammad Nashiruddin Al-Albani. Ensiklopedi Shahih Hadis Qudsi.Cet I( Surabaya: Duta Ilmu, 2008).
h.82-83
[8]Syaikh,
Al-‘Allamah dan Muhammad,..., h. 102
[9]Muhammad
Ibn Isma’il Abu, Abdillah Al Bukhari, Al
Jami’u Al Musnadu Al Shahihu Al Bukhari, Juz III, (t.k: Dar Al-Najjah,
1422H), h. 59.
[10]Adiwarman
A. Karim, Bank islam Analisis Fiqih,…,
h.34 .
[11]Kitab
Al-Buyu, Bab : Buthlaan Bai Al-Hashah wal
Bai Alladzi Fihi Gharar, h. 1513
[12]Abdul
Aziz Muhammad Azzam, Fiqh,...,
h.47
[13]Muhammad
Syafi’I Antonio, Bank Syariah Dari Teori
ke Praktik, Cet I, (Jakarta: Gema Insani, 2001), h. 41.
[14]Al
Qurtubi, al Jami’li Ahkami al Qur‟an,
Dar al Kutub al Mishriyah, Mesir, 1964, Juz 6 h. 183.
[15]Syaikh,
Al-‘Allamah dan Muhammad Nashiruddin Al-Albani. Ensiklopedi, ..., h. 172
[18]Syaikh,
Al-‘Allamah dan Muhammad Nashiruddin Al-Albani. Ensiklopedi, ..., h. 134
[19]Abdul
Aziz Muhammad Azzam, Fiqh,...,
h. 35
No comments:
Post a Comment