Followers

Monday, July 11, 2022

MAKALAH TUJUH LARANGAN DALAM MUAMALAH

 


1.      Maisir

a.      Pengertian Maisir

Kata maisir dalam bahasa Arab arti secara harfiah adalah memperoleh sesuatu dengan sangat mudah tanpa kerja keras atau mendapat keuntungan tanpa bekerja. Yang biasa juga disebut berjudi. Istilah lain yang digunakan dalam al-Quran adalah kata `azlam` yang berarti praktek perjudian.[1] Secara bahasa, maisir bisa dimaknakan dalam beberapa kalimat : Gampang/mudah, orang yang kaya dan wajib. Secara istilah, maisir adalah setiap Mu’amalah yang orang masuk kedalamnya dan dia mungkin rugi dan mungkin beruntung. Kalimat “mungkin rugi dan mungkin untung”, juga ada dalam Mu’amalah jual beli, sebab orang yang berdagang mungkin untung mungkin rugi.

Namun Mu’amalah jual beli ini berbeda dengan maisir, seorang pedagang bila mengeluarkan uang maka ia memperoleh barang dan dengan barang itu ia bermu’amalah untuk meraih keuntungan walaupun mungkin ia mendapat kerugian, tapi maisir, begitu seseorang mengeluarkan uang maka mungkin ia rugi atau tidak dapat apapun dan mungkin ia beruntung.[2]

Definisi maisir dalam istilah ulama, walaupun sebagian orang mengartikan maisir ini ke dalam bahasa Indonesia dengan pengertian sempit, yaitu judi. Judi dalam terminologi agama diartikan sebagai suatu transaksi yang dilakukan oleh dua pihak untuk kepemilikan suatu benda atau jasa yang menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lain dengan cara mengaitkan transaksi tersebut dengan suatu tindakan atau kejadian tertentu. Prinsip berjudi adalah terlarang, baik itu terlibat secara mendalam maupun hanya berperan sedikit saja atau tidak berperan sama sekali, mengharapkan keuntungan semata (misalnya hanya mencoba-coba) di samping sebagian orang-orang yang terlibat melakukan kecurangan, kita mendapatkan apa yang semestinya kita tidak dapatkan, atau menghilangkan suatu kesempatan. Melakukan pemotongan dan bertaruh benar-benar masuk dalam kategori definisi berjudi.[3] Allah SWT berfirman dalam Surah Al-Maidah ayat 90-91 :

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِنَّمَا ٱلْخَمْرُ وَٱلْمَيْسِرُ وَٱلْأَنصَابُ وَٱلْأَزْلَٰمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ ٱلشَّيْطَٰنِ فَٱجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ إِنَّمَا يُرِيدُ ٱلشَّيْطَٰنُ أَن يُوقِعَ بَيْنَكُمُ ٱلْعَدَٰوَةَ وَٱلْبَغْضَآءَ فِى ٱلْخَمْرِ وَٱلْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَن ذِكْرِ ٱللَّهِ وَعَنِ ٱلصَّلَوٰةِ ۖ فَهَلْ أَنتُم مُّنتَهُونَ

Artinya :“Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkorban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung. Dengan minuman keras dan judi itu, setan hanyalah bermaksud menimbulkan permusuhan dan kebencian diantara kamu, dan menghalang-halangi kamu dari mengingat Allah dan melaksanakan shalat, maka tidaklah kamu mau berhenti?” (QS. al-Maidah: 90-91)[4]

Judi pada umumnya (maisir) dan penjualan undian khususnya (azlam) dan segala bentuk taruhan, undian atau lotre yang berdasarkan pada bentuk-bentuk perjudian adalah haram. Islam melarang segala bentuk bisnis yang mendatangkan uang yang diperoleh dari untung-untungan, spekulasi dan ramalan (misalnya judi) dan bukan diperoleh dari bekerja.[5]

 

 

b.      Maisir Dalam Bisnis

Akad judi menurut Dr. Husain Hamid Hisan merupakan akad gharar, karena masing-masing pihak yang berjudi dan bertaruh tidak menentukan pada waktu akad, jumlah yang diambil atau jumlah yang ia berikan, itu bisa ditentukan nanti, tergantung pada suatu peristiwa yang tidak pasti, yaitu jika menang maka ia mengetahui jumlah yang diambil, dan jika kalah maka ia mengetahui jumlah yang ia berikan.

Undian dapat dipandang sebagai perjudian dimana aturan mainnya adalah dengan cara menentukan suatu keputusan dengan pemilihan acak. Undian biasanya diadakan untuk menentukan pemenang. Contohnya adalah undian di mana peserta harus membeli sepotong tiket yang diberi nomor. Nomor tiket-tiket ini lantas secara acak ditarik dan nomor yang ditarik adalah nomor pemenang. Pemegang tiket dengan nomor pemenang ini berhak atas hadiah tertentu.[6]

Judi dalam terminologi agama diartikan sebagai “suatu transaksi yang dilakukan oleh dua pihak untuk kepemilikan suatu benda atau jasa yang menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lain dengan cara mengaitkan transaksi tersebut dengan suatu tindakan atau kejadian tertentu. Judi baik kecil ataupun besar, merupakan faktor yang dominan atau faktor kecil dari sebuah transaksi hukumnya adalah haram. Biasanya judi adalah merupakan untuk mendatangkan uang yang diperoleh dari untung-untungan. Maisir terdapat dalam dua hal yaitu dalam permainan dan atau perlombaan juga dalam transaksi bisnis.

2. Tadlis

Setiap transaksi dalam islam harus didasarkan pada prinsip kerelaan antara kedua belah pihak. Mereka harus mempunyai informasi yang sama sehingga tidak ada pihak yang merasa dicurangi ataupun ditipu karena terdapat kondisi di mana salah satu pihak tidak mengetahui informasi yang diketahui pihak lain. Dalam bahasa fiqih, penipuan semacam itu disebut dengan tadlis. Seabagaimana hadis yang berbunyi sebagai berikut :

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مَرَّ عَلَى صُبْرَةِ طَعَامٍ فَأَدْخَلَ يَدَهُ فِيهَا فَنَالَتْ أَصَابِعُهُ بَلَلاً فَقَالَ « مَا هَذَا يَا صَاحِبَ الطَّعَامِ . قَالَ أَصَابَتْهُ السَّمَاءُ يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ « أَفَلاَ جَعَلْتَهُ فَوْقَ الطَّعَامِ كَىْ يَرَاهُ النَّاسُ مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنِّى

Artinya : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melewati setumpuk makanan, lalu beliau memasukkan tangannya ke dalamnya, kemudian tangan beliau menyentuh sesuatu yang basah, maka pun beliau bertanya, “Apa ini wahai pemilik makanan?” Sang pemiliknya menjawab, “Makanan tersebut terkena air hujan wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Mengapa kamu tidak meletakkannya di bagian makanan agar manusia dapat melihatnya? Ketahuilah, barangsiapa menipu maka dia bukan dari golongan kami.” (HR. Muslim no. 102).[7]

مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا، وَالْمَكْرُ وَالْخِدَاعُ فِي النَّارِ

Artinya : “Barangsiapa yang menipu, maka ia tidak termasuk golongan kami. Orang yang berbuat makar dan pengelabuan, tempatnya di neraka” (HR. Ibnu Hibban 2: 326.)[8]

Dari hal tersebut setidaknya dapat terbagi empat macam dari tadlis, yakni dalam kuantitas, kualitas, harga, dan barang.[9]

Pertama, tadlis kuantitas adalah penipuan dalam kuantitas. Contohnya adalah pedagang yang mengurangi takaran (timbangan) barang yang dijualnya. Kedua, tadlis kualitas yaitu dalam penipuan dalam kualitas seperti penjual yang menyembunyikan cacat barang yang ditawarkan. Seperti penjual buah-buahan dalam keranjang. Penjual meyakinkan pembeli bahwa buah yang dijualnya dalam keranjang dalam keadaan segar, akan tetapi setelah pembeli membeli buah tersebut dan membukanya setelah sampai dirumah, kenyataan yang didapatkan yaitu buah yang segar hanya pada buah yang tampak dari luar, dan buah yang ada di dalamnya sudah tidak layak lagi untuk dimakan.

Ketiga, tadlis harga yaitu penipuan dalam harga seperti memanfaatkan ketidaktahuan pembeli akan harga pasar dengan menaikkan harga produk di atas harga pasar. Contohnya seorang tukang becak yang menawarkan jasanya kepada turis asing dengan menaikkan tarif becaknya 10 kali lipat dari tarif normalnya. Hal ini dilarang karena turis asing tersebut tidak mengetahui harga pasar yang berlaku.

Bentuk tadlis yang terakhir adalah tadlis dalam waktu penyerahan. Contohnya adalah petani buah yang menjual buah di luar musimnya padahal si petani mengetahui bahwa dia tidak dapat menyerahkan buah yang dijanjikan itu pada waktunya.

3.      Gharar

Gharar memiliki arti secara bahasa adalah khida’ tipuan, gisy kecurangan. Menurut Wahbah Zuhaili, Jual beli gharar adalah jual beli yang menyimpan bahaya, yang merugikan salah satu pihak, sehingga menghilangkan harta pihak pembeli Gharar ini terjadi bila kita memperlakukan sesuatu yang seharusnya bersifat pasti menjadi tidak pasti. Jual beli macam ini. tidak diperbolehkan dalam Islam.[10] Sebagaimana hadis yang berbunyi sebagai berikut :

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ

Artinya : “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli al-hashah dan jual beli gharar” (H.R Muslim)[11]

Sedangkan jula-beli gharar, menurut keterangan Syaikh As-Sa’di, termasuk dalam katagori perjudian. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah sendiri menyatakan, semua jual-beli gharar, seperti menjual burung di udara, onta dan budak yang kabur, buah-buahan sebelum tampak buahnya, dan jual-beli al-hashaah, seluruhnya termasuk perjudian yang diharamkan Allah di dalam Al-Qur’an.[12]

4.      Riba

Riba menurut pengertian bahasa berarti az-Ziyadah yang berarti tambahan. Yang dimaksudkan di sini ialah tambahan atas modal dengan cara batil, baik penambahan itu sedikit ataupun banyak. Riba adalah salah satu yang termasuk dosa besar. Secara garis besar, riba dikelompokkan menjadi dua. Masing-masing adalah riba utang piutang dan riba jual beli. Kelompok pertama terbagi lagi menjadi riba qardh dan riba jahiliyyah.[13]

5.      Risywah

Risywah adalah perbuatan yang memberi sesuatu kepada pihak lain untuk mendapatkan sesuatu yang bukan haknya atau disebut juga dengan suap-menyuap. Suatu perbuatan akan dapat dikatan sebagai perbuatan risywah jika dilakukan kedua belah pihak secara suka rela.

Jika hanya salah satu pihak yang meminta suap dan pihak yang lain tidak rela atau dalam keadaan terpaksa atau hanya untuk memperoleh haknya, hal tersebut tidak termasuk kategori risywah, melainkan tindakan pemerasan. Jika hanya salah satu pihak yang meminta suap dan pihak yang lain tidak rela atau dalam keadaan terpaksa atau hanya untuk memperoleh haknya, hal tersebut tidak termasuk kategori risywah, melainkan tindakan pemerasan. Rasulullah SAW bersabda :

:اىلاقهبىلوأزاىلافخحسلابدبىمحللك:لاق؟ذحسلاامىهلللاىطزاً(السشىةفُالحكم). وعىابىمظعىدأًضاأنهقال: السحخؤهُقضُالسجللأخُهحاجتفيهدًإليههدًةفُقبلها.

Artinya : “Setiap daging yang tumbuh dari harta “suht” maka api neraka lebih layak baginya. Para sahabat bertanya; Wahai Rasulullah SAW apakah yang dimaksud dengan “suht”?Rasulullah SAW menjawab, “Suht”yaitu suap menyuap dalam perkara hukum. Ibnu Masud radhiyallahu anhu berkata bahwa yang dimaksud dengan suht‟ yaitu seseorang memutuskan suatu perkara bagi saudaranya kemudian memberinya hadiah dan diterimalah hadiah tersebut.[14]

Hadis tersebut, menjelaskan bahwasanya perbuatan suap sangat dilarang dalam Islam. Hal ini dikarenakan sangat merugikan baik untuk diri sendiri ataupun orang lain.

6.      Al Ba’i Al Najasyi

Al ba’i al najasyi yaitu sebuah permintaan palsu, hal ini diharamkan diharamkan karena penjual melakukan praktik bisnis dengan cara memuji-muji kualitas dan kuantitas barang-barangnya. Seolah orang tersebut yang nantinya akan membeli barangnya dengan harga tinggi. Akibatnya, orang lain yang melihat akan terpengaruh dan tertipu dengan harga tersebut. Padahal, orang yang memuji dan membeli barang itu tak lain adalah temannya sendiri. Si penjual hanya ingin menipu orang lain agar membeli barangnya dengan harga yang ia inginkan. Rasulullah SAW bersabda :

نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ النَّجْشِ

Artinya : “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari jual beli najasy.(HR. Bukhari no. 2142 dan Muslim No. 1516)’’[15]

 

Hal ini terjadi misalnya, dalam bursa saham, bursa valas, dann lain-lain. Cara yang ditempuh bias bermacam-macam, mulai dari menyebarkan isu, melakukan order pembelian, sampai benar-benar melakukan pembelian pancingan agar tercipta sentiment pasar untuk ramai-ramai membeli saham (mata uang) tertentu. Bila harga sudah naik sampai level yang diinginkan, maka yang bersangkutan akan melakukan aksi ambil untung dengan melepas kembali saham yang sudah dibeli, sehingga ia akan mendapatkan untung besar. Praktik al ba’i al najasyi ini dilarang dalam Islam katrena akan melahirkan permintaan palsu (false demand).[16]

 

 

7.      Rekayasa Pasar Dalam Supply (Ikhtikar)

Rekayasa pasar dalam supply terjadi bila seorang produsen atau penjual mengambil keuntungan di atas keuntungan normal dengan cara mengurangi supply agar harga produk yang dijualnya naik. Hal ini dalam istilah fiqh disebut ikhtikar. ikhtikar biasanya dilakukan dengan menghambat produsen atau penjual lain masuk ke pasar, agar ia menjadi pemain tunggal (monopoli). Karena itu, iktikar disamakan dengan monopoli dan penimbunan, padahal tidak selalu seorang monopolis melakukan ikhtikar.[17] Rasullullah SAW bersabda :

مَن دَخَلَ في شَيءٍ من أسعارِ المُسلِمينَ لِيُغلِيَه عليهم، فإنَّ حَقًّا على اللهِ تَبارك وتَعالى أنْ يُقعِدَه بعُظْمٍ من النَّارِ يَومَ القيامَةِ.

Artinya : Siapa yang mempengaruhi harga bahan makanan kaum muslimin sehingga menjadi mahal, merupakan hak Allah untuk menempatkannya ke dalam tempat yang besar di neraka nanti di hari kiamat.” (HR. Ahmad, 4:485).[18]

Jika seorang pedagang membeli barang pada saat murah, lalu disimpan hingga harga naik dan dijual pada saat itu sesuai dengan harga pasar, aksi ini tidak termasuk ihtikar dengan catatan tidak merugikan orang banyak, tidak merusak harga pasar, dan barang masih dijual pedagang lain.

Dalam Takmilat Al-Majmu’ dijelaskan, “Ihtikar yang diharamkan, yaitu: membeli barang pada saat harga naik dan ditimbun agar harganya lebih tinggi lagi. Adapun jika membeli barang pada saat harga murah (musim panen) lalu ditahan hingga harga naik dan dijual saat itu, tidaklah diharamkan.”

Mengenai harga jual yang lebih tinggi daripada harga saat dibeli adalah logis karena ada biaya operasional penyimpanan barang hingga saat barang dijual. Ini juga merupakan salah satu siasat dagang yang dibolehkan.[19]


[1]Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h. 106

                [2]Helmi Karim, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2002), cet. 3, h. 20

[3]Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh,…, h. 109

[4]Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an Al-Karim Tajwid Dan TerjemahanEdisi Wanita.,h. 123

[5]Gufron A. Masadi, Fikih Muamallah Kontekstual, cet 1, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002) ,h, 141

[6]Adiwarman A. Karim, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, (Jakarta: Gema Insani Pres,2001) h, 93

[7]Syaikh, Al-‘Allamah dan Muhammad Nashiruddin Al-Albani. Ensiklopedi Shahih Hadis Qudsi.Cet I( Surabaya: Duta Ilmu, 2008). h.82-83

[8]Syaikh, Al-‘Allamah dan Muhammad,..., h. 102

[9]Muhammad Ibn Isma’il Abu, Abdillah Al Bukhari, Al Jami’u Al Musnadu Al Shahihu Al Bukhari, Juz III, (t.k: Dar Al-Najjah, 1422H), h. 59.

[10]Adiwarman A. Karim, Bank islam Analisis Fiqih,…, h.34 .

[11]Kitab Al-Buyu, Bab : Buthlaan Bai Al-Hashah wal Bai Alladzi Fihi Gharar, h. 1513

[12]Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh,..., h.47

[13]Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah Dari Teori ke Praktik, Cet I, (Jakarta: Gema Insani, 2001), h. 41.

[14]Al Qurtubi, al Jamili Ahkami al Qur‟an, Dar al Kutub al Mishriyah, Mesir, 1964, Juz 6 h. 183.

[15]Syaikh, Al-‘Allamah dan Muhammad Nashiruddin Al-Albani. Ensiklopedi, ..., h. 172

                [16]Ahmad Muhajir, “Praktik Bisnis Haram Dalam Masyarakat”, Majalah GONTOR, (Januari 2008), h. 13.

                [17]Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh Muamalah, Cet III, (Jakarta: AMZAH, 2010), h.47.

[18]Syaikh, Al-‘Allamah dan Muhammad Nashiruddin Al-Albani. Ensiklopedi, ..., h. 134

[19]Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh,..., h. 35

No comments:

Post a Comment

MAKALAH RIBA

  1.       Pengertian Riba Riba berasal dari bahasa arab yang artinya tambahan (زيادة ,(yang berarti tambahan pembayaran atas uang pokok ...