Followers

Monday, July 11, 2022

MAKALAH TENTANG PERJANJIAN

 

MATERI TENTANG PERJANJIAN

A.    Perjanjian

Istilah perjanjian sering disebut juga dengan persetujuan, yang berasal dari bahasa Belanda yakni overeenkomst. Menurut Subekti “Suatu perjanjian dinamakan juga persetujuan karena kedua pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu, dapat dikatakan bahwa dua perkataan (perjanjian dan persetujuan) itu adalah sama artinya”.[1]

Istilah kontrak merupakan istilah yang dipakai dalam praktek bisnis selain istilah perjanjian dan persetujuan. Kerancuan akan istilah kontrak atau perjanjian masih sering diketemukan dalam praktek bisnis. Pelaku bisnis memahami bahwa kedua istilah antara perjanjian dan kontrak mempunyai pengertian yang berbeda. Menurut Muhammad Syaifuddin pengertian antara perjanjian dan kontrak adalah sama, jika dilihat dari pengertian yang terdapat dalam KUH-Perdata sebagai produk warisan kolonial Belanda, maka ditemukan istilah “overeenkomst” dan “contract” untuk pengertian yang sama, sebagaimana dicermati dalam Buku III Titel Kedua Tentang Perikatan-Perikatan yang Lahir dari Kontrak atau Persetujuan, yang dalam bahasa Belanda ditulis “Van verbintenissen die uit contract of overeenkomst geboren worden

Definisi dari perjanjian diatur dalam Pasal 1313 KUH-Perdatadata yang menentukan bahwa “Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih”. Dari definisi tersebut beberapa sarjana kurang menyetujui karena mengandung beberapa kelemahan. Menurut Abdulkadir Muhammad, rumusan Pasal 1313 KUH-Perdata mengandung kelemahan karena :[2]

a.       Hanya Menyangkut Sepihak Saja.

Dapat dilihat dari rumusan “satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”. Kata “mengikat” sifatnya sepihak, sehingga perlu dirumuskan “kedua belah pihak saling mengikatkan diri”, dengan demikian terlihat adanya konsensus antara pihak-pihak, agar meliputi perjanjian timbal balik.

b.      Kata “Perbuatan” Termasuk Di Dalamnya Konsensus.

Pengertian perbuatan termasuk juga tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa atau tindakan melawan hukum yang tidak mengandung consensus. Seharusnya digunakan kata persetujuan.

c.       Pengertian Perjanjian Terlalu Luas

Luas lingkupnya juga mencangkup mengenai urusan janji kawin yang termasuk dalam lingkup hukum keluarga, seharusnya yang diatur adalah hubungan antara debitur dan kreditur dalam lapangan harta kekayaan. Perjanjian yang dimaksudkan di dalam Pasal 1313 KUH-Perdata adalah perjanijan yang berakibat di dalam lapangan harta kekayaan, sehingga perjanjian di luar lapangan hukum tersebut bukan merupakan lingkup perjanjian yang dimaksudkan.

d.      Tanpa Menyebutkan Tujuan.

Rumusan Pasal 1313 KUH-Perdata tidak mencantumkan tujuan dilaksanakannya suatu perjanjian, sehingga pihak-pihak yang mengikatkan diri tidak memiliki kejelasan untuk maksud apa diadakan perjanjian.

Pendapat dari Abdul Kadir Muhamad didukung oleh pendapat R. Setiawan. Menurutnya bahwa “Pengertian perjanjian tersebut terlalu luas, karena istilah perbuatan yang dipakai dapat mencakup juga perbuatan melawan hukum dan perwalian sukarela, padahal yang dimaksud adalah perbuatan melawan hukum”[3]

e.       Unsur-Unsur Perjanjian

Unsur-unsur perjanjian diperlukan untuk mengetahui apakah yang dihadapi adalah suatu perjanjian atau bukan, memiliki akibat hukum atau tidak. Unsur-unsur  yang terdapat dalam suatu perjanjian diuraikan oleh Abdulkadir Muhammad sebagai berikut;[4]

1)      Ada Pihak-Pihak.

Pihak yang dimaksud adalah subyek perjanjian yang paling sedikit terdiri dari dua orang atau badan hukum dan mempunyai wewenang untuk melakukan perbuatan hukum berdasarkan undang-undang.

2)      Ada Persetujuan.

Persetujuan dilakukan antara pihak-pihak yang bersifat tetap dan bukan suatu perundingan.

3)      Ada Tujuan Yang Hendak Dicapai.

Hal ini dimaksudkan bahwa tujuan dari pihak kehendaknya tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan undang-undang.

4)      Ada Prestasi Yang Akan Dilaksanakan

Hal itu dimaksudkan bahwa prestasi merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh pihak-pihak sesuai dengan syarat-syarat perjanjian.

5)      Ada Bentuk Tertentu, Lisan Atau Tulisan.

Hal ini berarti bahwa perjanjian bisa dituangkan secara lisan atau tertulis. Hal ini sesuai ketentuan undang-undang yang menyebutkan bahwa hanya dengan bentuk tertentu suatu perjanjian mempunyai kekuatan mengikat dan bukti yang kuat.

6)      Ada Syarat-Syarat Tertentu

Syarat menurut undang-undang, agar suatu perjanjian atau kontrak menjadi sah.

 

7)      Syarat Sahnya Perjanjian

Perjanjian agar dapat dikatakan sah dan memiliki akibat hukum haruslah memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh undang-undang. Perjanjian agar dapat dikatakan sah, harus dipenuhi 4 (empat) syarat yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata yakni  kata sepakat, kecakapan, suatu hal tertentu, dan klausa yang halal.[5]

8)      Asas-asas Perjanjian

Asas hukum berfungsi sebagai pondasi yang memberikan arah, tujuan, serta penilaian fundamental, mengandung nilai-nilai dan tuntutan etis.

Di dalam KUH-Perdata dikenal beberapa asas penting, diantaranya dapat disebutkan sebagai berikut; [6]

a)      Asas Konsensualisme

Asas konsensualisme berasal dari kata latin ”consensus” yang artinya sepakat. Di dalam asas ini terkandung kehendak para pihak untuk saling mengikatkan dirinya dan menimbulkan kepercayaan diantara para pihak terhadap pemenuhan perjanjian. Setiap perjanjian mengikat para pihak yang membuatnya jika sudah tercapai kata sepakat mengenai prestasi atau hal pokok dari suatu perjanjian. Para pihak sepakat atau setuju mengenai prestasi yang diperjanjikan. Apabila dikaitkan dengan kalimat pertama Pasal 1338 KUH-Perdata yang menyatakan bahwa ”Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undangundang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Kata “sesuai dengan undang-undang” berarti bahwa pembuatan perjanjian yang sesuai dengan undang-undang/hukum adalah mengikat.

Berdasarkan bunyi kalimat kedua Pasal 1338 KUH-Perdata mengandung sifat kekuatan memaksa. Sifat kekuatan memaksa artinya jika salah satu pihak ingin menarik kembali (memutuskan) perjanjian, maka harus memperoleh persetujuan dari pihak lainnya sebagai wujud adanya kesepakatan dari para pihak dalam pemutusan perjanjian tersebut. Jika para pihak tidak mencapai kesepakatan, sehingga menimbulkan sengketa dalam arti berbeda pendapat atau penafsiran tentang hukum dan faktanya, maka sengketanya akan diselesaikan oleh pengadilan atau arbitrse jika diperjanjikan terlebih dahulu.

Dengan demikan asas konsensualisme ini tidak harus ada pada saat pembuatan perjanjian (Pasal 1320 KUH-Perdata), tetapi juga harus ada pada saat pelaksanaan perjanjian, bahkan harus pula ada pada saat pemutusan perjanjian.

b)      Asas Kebebasan Berkontrak.

Asas kebebasan berkontrak menurut hukum perjanjian Indonesia meliputi ruang lingkup: Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian, kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat perjanjian, kebebasan untuk menentukan atau memilih kausa dari perjanjian yang akan dibuatnya. kebebasan untuk menentukan objek perjanjian. kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian. kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang yang bersifat opsional (aanvullend optional).

c)      Asas Pacta Sunt Servada (Kekuatan Mengikat Perjanjian).

Istilah “pacta sunt servada” adalah merupakan suatu perjanjian yang telah dibuat secara sah oleh para pihak, mengikat para pihak secara penuh sesuai dengan isi perjanjian. Mengikat secara penuh artinya kekuatannya sama dengan undang undang, sehingga apabila salah satu pihak tidak memenuhi kewajiban yang telah disepakati dan dituangkan dalam perjanjian, maka oleh hukum disediakan sarana ganti rugi atau dapat dipaksakan berlakunya.

Hukum perjanjian menganut sistem terbuka dalam buku III KUH-Perdata berdasarkan Pasal 1338 kalimat pertama menentukan “Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Pasal 1339 KUH-Perdata memperluas kekuatan mengikat ini dengan menentukan “Persetujuan tidak hanya mengikat apa yang dengan tegas ditentukan di dalamnya, melainkan juga segala sesuatu yang menurut sifat persetujuan dituntut berdasarkan keadilan, kebiasaan, atau undang-undang.”

d)     Asas Itikad Baik

Asas itikad baik tertuang dalam kalimat ketiga Pasal 1338 KUH-Perdata yang menyatakan bahwa ”Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Artinya bahwa perjanjian harus dilaksanakan menurut kepatutan dan keadilan. Itikad baik meliputi segala tahapan hubungan perjanjian, baik dari fase pra perjanjian, fase perjanjian, dan fase pasca perjanjian.

B.    

No comments:

Post a Comment

MAKALAH RIBA

  1.       Pengertian Riba Riba berasal dari bahasa arab yang artinya tambahan (زيادة ,(yang berarti tambahan pembayaran atas uang pokok ...