MATERI TENTANG PERJANJIAN
A.
Perjanjian
Istilah
perjanjian sering disebut juga dengan persetujuan, yang berasal dari bahasa
Belanda yakni overeenkomst. Menurut
Subekti “Suatu perjanjian dinamakan juga persetujuan karena kedua pihak itu
setuju untuk melakukan sesuatu, dapat dikatakan bahwa dua perkataan (perjanjian
dan persetujuan) itu adalah sama artinya”.[1]
Istilah
kontrak merupakan istilah yang dipakai dalam praktek bisnis selain istilah
perjanjian dan persetujuan. Kerancuan akan istilah kontrak atau perjanjian
masih sering diketemukan dalam praktek bisnis. Pelaku bisnis memahami bahwa
kedua istilah antara perjanjian dan kontrak mempunyai pengertian yang berbeda.
Menurut Muhammad Syaifuddin pengertian antara perjanjian dan kontrak adalah
sama, jika dilihat dari pengertian yang terdapat dalam KUH-Perdata sebagai
produk warisan kolonial Belanda, maka ditemukan istilah “overeenkomst” dan “contract”
untuk pengertian yang sama, sebagaimana dicermati dalam Buku III Titel Kedua
Tentang Perikatan-Perikatan yang Lahir dari Kontrak atau Persetujuan, yang
dalam bahasa Belanda ditulis “Van
verbintenissen die uit contract of overeenkomst geboren worden”
Definisi
dari perjanjian diatur dalam Pasal 1313 KUH-Perdatadata yang menentukan bahwa
“Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih
mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih”. Dari definisi tersebut
beberapa sarjana kurang menyetujui karena mengandung beberapa kelemahan.
Menurut Abdulkadir Muhammad, rumusan Pasal 1313 KUH-Perdata mengandung
kelemahan karena :[2]
a. Hanya
Menyangkut Sepihak Saja.
Dapat dilihat dari rumusan “satu
orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”.
Kata “mengikat” sifatnya sepihak, sehingga perlu dirumuskan “kedua belah pihak
saling mengikatkan diri”, dengan demikian terlihat adanya konsensus antara
pihak-pihak, agar meliputi perjanjian timbal balik.
b. Kata
“Perbuatan” Termasuk Di Dalamnya Konsensus.
Pengertian perbuatan termasuk juga
tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa atau tindakan melawan hukum yang tidak
mengandung consensus. Seharusnya digunakan kata persetujuan.
c. Pengertian
Perjanjian Terlalu Luas
Luas lingkupnya juga mencangkup
mengenai urusan janji kawin yang termasuk dalam lingkup hukum keluarga,
seharusnya yang diatur adalah hubungan antara debitur dan kreditur dalam
lapangan harta kekayaan. Perjanjian yang dimaksudkan di dalam Pasal 1313
KUH-Perdata adalah perjanijan yang berakibat di dalam lapangan harta kekayaan,
sehingga perjanjian di luar lapangan hukum tersebut bukan merupakan lingkup
perjanjian yang dimaksudkan.
d. Tanpa
Menyebutkan Tujuan.
Rumusan Pasal 1313 KUH-Perdata tidak
mencantumkan tujuan dilaksanakannya suatu perjanjian, sehingga pihak-pihak yang
mengikatkan diri tidak memiliki kejelasan untuk maksud apa diadakan perjanjian.
Pendapat dari Abdul Kadir Muhamad
didukung oleh pendapat R. Setiawan. Menurutnya bahwa “Pengertian perjanjian
tersebut terlalu luas, karena istilah perbuatan yang dipakai dapat mencakup
juga perbuatan melawan hukum dan perwalian sukarela, padahal yang dimaksud
adalah perbuatan melawan hukum”[3]
e. Unsur-Unsur
Perjanjian
Unsur-unsur perjanjian diperlukan
untuk mengetahui apakah yang dihadapi adalah suatu perjanjian atau bukan,
memiliki akibat hukum atau tidak. Unsur-unsur
yang terdapat dalam suatu perjanjian diuraikan oleh Abdulkadir Muhammad
sebagai berikut;[4]
1) Ada
Pihak-Pihak.
Pihak yang dimaksud adalah subyek
perjanjian yang paling sedikit terdiri dari dua orang atau badan hukum dan
mempunyai wewenang untuk melakukan perbuatan hukum berdasarkan undang-undang.
2) Ada
Persetujuan.
Persetujuan dilakukan antara
pihak-pihak yang bersifat tetap dan bukan suatu perundingan.
3) Ada
Tujuan Yang Hendak Dicapai.
Hal ini dimaksudkan bahwa tujuan
dari pihak kehendaknya tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan
dan undang-undang.
4) Ada
Prestasi Yang Akan Dilaksanakan
Hal itu dimaksudkan bahwa prestasi
merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh pihak-pihak sesuai dengan
syarat-syarat perjanjian.
5) Ada
Bentuk Tertentu, Lisan Atau Tulisan.
Hal ini berarti bahwa perjanjian
bisa dituangkan secara lisan atau tertulis. Hal ini sesuai ketentuan
undang-undang yang menyebutkan bahwa hanya dengan bentuk tertentu suatu
perjanjian mempunyai kekuatan mengikat dan bukti yang kuat.
6) Ada
Syarat-Syarat Tertentu
Syarat menurut undang-undang, agar
suatu perjanjian atau kontrak menjadi sah.
7)
Syarat
Sahnya Perjanjian
Perjanjian agar dapat dikatakan sah
dan memiliki akibat hukum haruslah memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh
undang-undang. Perjanjian agar dapat dikatakan sah, harus dipenuhi 4 (empat)
syarat yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata yakni kata sepakat, kecakapan, suatu hal tertentu,
dan klausa yang halal.[5]
8)
Asas-asas
Perjanjian
Asas hukum berfungsi sebagai pondasi
yang memberikan arah, tujuan, serta penilaian fundamental, mengandung
nilai-nilai dan tuntutan etis.
Di dalam KUH-Perdata dikenal
beberapa asas penting, diantaranya dapat disebutkan sebagai berikut; [6]
a)
Asas Konsensualisme
Asas konsensualisme berasal dari kata
latin ”consensus” yang artinya sepakat. Di dalam asas ini terkandung
kehendak para pihak untuk saling mengikatkan dirinya dan menimbulkan
kepercayaan diantara para pihak terhadap pemenuhan perjanjian. Setiap
perjanjian mengikat para pihak yang membuatnya jika sudah tercapai kata sepakat
mengenai prestasi atau hal pokok dari suatu perjanjian. Para pihak sepakat atau
setuju mengenai prestasi yang diperjanjikan. Apabila dikaitkan dengan kalimat
pertama Pasal 1338 KUH-Perdata yang menyatakan bahwa ”Semua persetujuan yang
dibuat sesuai dengan undangundang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya”. Kata “sesuai dengan undang-undang” berarti bahwa pembuatan
perjanjian yang sesuai dengan undang-undang/hukum adalah mengikat.
Berdasarkan bunyi kalimat kedua Pasal
1338 KUH-Perdata mengandung sifat kekuatan memaksa. Sifat kekuatan memaksa
artinya jika salah satu pihak ingin menarik kembali (memutuskan) perjanjian,
maka harus memperoleh persetujuan dari pihak lainnya sebagai wujud adanya
kesepakatan dari para pihak dalam pemutusan perjanjian tersebut. Jika para
pihak tidak mencapai kesepakatan, sehingga menimbulkan sengketa dalam arti
berbeda pendapat atau penafsiran tentang hukum dan faktanya, maka sengketanya
akan diselesaikan oleh pengadilan atau arbitrse jika diperjanjikan terlebih
dahulu.
Dengan demikan asas konsensualisme ini tidak harus ada pada saat pembuatan perjanjian (Pasal 1320 KUH-Perdata), tetapi juga harus ada pada saat pelaksanaan perjanjian, bahkan harus pula ada pada saat pemutusan perjanjian.
b)
Asas Kebebasan Berkontrak.
Asas kebebasan berkontrak menurut
hukum perjanjian Indonesia meliputi ruang lingkup: Kebebasan untuk membuat atau
tidak membuat perjanjian, kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin
membuat perjanjian, kebebasan untuk menentukan atau memilih kausa dari
perjanjian yang akan dibuatnya. kebebasan untuk menentukan objek perjanjian.
kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian. kebebasan untuk menerima
atau menyimpangi ketentuan undang-undang yang bersifat opsional (aanvullend
optional).
c)
Asas Pacta Sunt Servada (Kekuatan Mengikat
Perjanjian).
Istilah “pacta sunt servada” adalah merupakan suatu perjanjian yang telah
dibuat secara sah oleh para pihak, mengikat para pihak secara penuh sesuai
dengan isi perjanjian. Mengikat secara penuh artinya kekuatannya sama dengan
undang undang, sehingga apabila salah satu pihak tidak memenuhi kewajiban yang
telah disepakati dan dituangkan dalam perjanjian, maka oleh hukum disediakan
sarana ganti rugi atau dapat dipaksakan berlakunya.
Hukum perjanjian menganut sistem
terbuka dalam buku III KUH-Perdata berdasarkan Pasal 1338 kalimat pertama
menentukan “Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Pasal 1339 KUH-Perdata memperluas
kekuatan mengikat ini dengan menentukan “Persetujuan tidak hanya mengikat apa
yang dengan tegas ditentukan di dalamnya, melainkan juga segala sesuatu yang
menurut sifat persetujuan dituntut berdasarkan keadilan, kebiasaan, atau
undang-undang.”
d) Asas
Itikad Baik
Asas itikad baik tertuang dalam
kalimat ketiga Pasal 1338 KUH-Perdata yang menyatakan bahwa ”Persetujuan harus
dilaksanakan dengan itikad baik.” Artinya bahwa perjanjian harus dilaksanakan
menurut kepatutan dan keadilan. Itikad baik meliputi segala tahapan hubungan
perjanjian, baik dari fase pra perjanjian, fase perjanjian, dan fase pasca
perjanjian.
B.
No comments:
Post a Comment