Followers

Showing posts with label Hukum Islam. Show all posts
Showing posts with label Hukum Islam. Show all posts

Monday, July 11, 2022

MAKALAH JUAL-BELI (BA'I)

 

A.    Pengertian Jual-Beli

Jual beli ialah suatu perjanjian tukar-menukar benda atau barang yang mempunyai nilai secara sukarela di antara kedua belah pihak, pihak yang satu menjual benda-benda (penjual) sedangkan pihak yang lain menerimanya (pembeli) sesuai dengan perjanjian atau ketentuan dalam syara’ yang telah disepakati.Sesuai dengan ketetapan hukum maksudnya ialah memenuhi persyaratan-persyaratan, rukun-rukun, dan hal-hal lain yang ada kaitannya dengan jual beli sehingga bila syarat-syarat dan rukunnya tidak terpenuhi berarti tidak sesuai dengan kehendak syara’.[1]

B.     Dasar Hukum Jual-Beli

     Sebagaimana firman Allah SWT dalam Q.S An-Nisa ayat 29

 

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَأۡكُلُوٓاْ أَمۡوَٰلَكُم بَيۡنَكُم بِٱلۡبَٰطِلِ إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً عَن تَرَاضٖ مِّنكُمۡۚ وَلَا تَقۡتُلُوٓاْ أَنفُسَكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُمۡ رَحِيمٗا 

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang btil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu” (Q.S An-Nis(4): 29)[2].

Dalam firman Allah SWT QS. Al-Baqarah ayat 173:

 

إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيۡكُمُ ٱلۡمَيۡتَةَ وَٱلدَّمَ وَلَحۡمَ ٱلۡخِنزِيرِ وَمَآ أُهِلَّ بِهِۦ لِغَيۡرِ ٱللَّهِۖ فَمَنِ ٱضۡطُرَّ غَيۡرَ بَاغٖ وَلَا عَادٖ فَلَآ إِثۡمَ عَلَيۡهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٞ رَّحِيمٌ 

Artinya: “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah (2) :173)[3]

C.    Macam-Macam Jual-Beli

Jual beli menurut ulama Malikiyah ada 2 (dua) macam, yaitu jual beli yang bersifat umum dan jual beli bersifat khusus.

1.      Jual beli dalam arti umum ialah suatu perikatan tukar-menukar sesuatu yang bukan kemanfaatan dan kenikmatan. Perikatan adalah akad yang mengikat dua belah pihak. Tukar-menukar yaitu salah satu pihak menyerahkan ganti penukaran atas seuatu yang ditukarkan oleh pihak lain. Dan sesuatu yang bukan manfaat ialah bahwa benda yang ditukarkan adalah dzat (berbentuk), ia berfungsi sebagai objek penjualan, jadi bukan manfaatnya atau bukan hasilnya.

2.      Jual beli dalam arti khusus ialah ikatan tukar-menukar sesuatu yang bukan kemanfaatan dan bukan pula kelezatan yang mempunyai daya tarik, penukarannya bukan emas dan bukan pula perak, bendanya dapat direalisir dan ada seketika (tidak ditangguhkan), tidak merupakan utang baik barang itu ada di hadapan si pembeli maupun tidak, barang yang sudah diketahui sifat-sifatnya atau sudah diketahui terlebih dahulu.[4]

D.    Rukun dan Syarat Jual-Beli

1.      Rukun Jual Beli

Dalam menetapkan rukun jual beli, diantara para ulama terjadi perbedaan pendapat. Menurut ulama hanafiyah, rukun jualbeli adalah ijab dan qabul yang menunjukkan pertukaran barang secara ridha, baik dengan ucapan ataupun perbuatan. Adapun rukun jual beli menurut jumhur ulama ada empat, yaitu Orang yang berakad (penjual dan pembeli), Sighat (lafal ijab dan kabul), Ada barang yang dibeli, Ada Nilai Tukar Pengganti Barang[5]

2.      Syarat Jual-Beli

Agar jual beli dapat dilaksanakan secara sah dan memberi pengaruh yang tepat, harus direalisasikan beberapa syaratnya terlebih dahulu. Ada yang berkaitan dengan pihak penjual dan pembeli, dan ada kaitan dengan objek yang diperjualbelikan. Pertama, yang berkaitan dengan pihak-pihak pelaku, harus memiliki kompetensi dalam melakukan aktivitas itu, yakni dengan kondisi yang sudah akilbaligh serta berkemampuan memilih. Tidak sah transaksi yang dilakukan anak kecil yang belum mumayyiz, orang gila atau orang yang dipaksa. Maka dalam hal ini syarat jual beli dapat kita lihat dari segi subjek dan objeknya. Adapun dari subjeknya adalah :

a.      Syarat Yang Terkait Subjek Akad (qid)

Aqid atau orang yang melakukan perikatan yaitu penjual (pedagang) dan pembeli, transaksi jual beli tidak mungkin terlaksana tanpa kedua belah pihak tersebut. Seseorang yangberaada terkadang orang yang memiliki hak dan terkadang wakil dari yang memiliki hak. Ulama fiqih sepakat bahwa orang yang melakukan jual-beli harus memenuhi syarat sebagai berikut:

1)      Berakal

Hendaknya dilakukan oleh orang yang berakal atau tidak hilang kesadarannya, karena hanya orang yang sadar dan sehat akalnya yang sanggup melangsungkan transaksi jual-beli secara sempurna, ia mampu berfikir logis. Oleh karena itu,anak kecil yang belum tahu apa-apa dan orang gila tidak dibenarkan melakukan transaksi jual-beli tanpa pengawasan dari walinya, dikarenakan akan menimbulkan berbagai kesulitan dan akibat-akibat buruk seperti penipuan dan sebagainya dalam firman Allah SWT dalam Q.S An-Nisayat 5:

وَلَا تُؤۡتُواْ ٱلسُّفَهَآءَ أَمۡوَٰلَكُمُ ٱلَّتِي جَعَلَ ٱللَّهُ لَكُمۡ قِيَٰمٗا وَٱرۡزُقُوهُمۡ فِيهَا وَٱكۡسُوهُمۡ وَقُولُواْ لَهُمۡ قَوۡلٗا مَّعۡرُوفٗا 

Artinya: “Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.” (QS.An-Nis(4): 5)[6]

2)      Bukan Paksaan

Hendaknya transaksi ini didasarkan pada prinsip-prinsip rela sama rela yang didalamnya tersirat makna muhtar, yakni bebas melakukan transaksi jual-beli dan terbebas dari paksaan dan tekanan, jual-beli yang dilakukan bukan atas dasar hendaknya sendiri adalah tidak sah.[7] Prinsip ini menjadi pegangan para fuqaha, Allah SWT berfirman dalam Surah An-Nisayat 29:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَأۡكُلُوٓاْ أَمۡوَٰلَكُم بَيۡنَكُم بِٱلۡبَٰطِلِ إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً عَن تَرَاضٖ مِّنكُمۡۚ وَلَا تَقۡتُلُوٓاْ أَنفُسَكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُمۡ رَحِيمٗا 

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesame mu dengan jalan yang btil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. An-Nis(4): 29)[8].

 

Berdasarkan isi kandungan ayat di atas menjelaskan bahwa larangan memakan harta yang berada ditengah mereka dengan bthil itu mengandung makna larangan melakukan transaksi atau perpindahan harta yang tidak mengantar masyarakat kepada konsekuen bahkan mengantarkannya kepada kebejatan dan kehancuran, seperti praktik-praktik riba, perjudian, jual-beli yang mengandung penipuan, dan lain-lain.  Penghalalan Allah SWT terhadap jual-beli itu mengandung dua makna, salah satu nya adalah bahwa Allah SWT menghalalkan setiap jual-beli yang dilakukan oleh dua orang pada barang yang diperbolehkan untuk diperjual belikan atas dasar suka sama suka.[9] Maka dari itu, Allah SWT menganjurkan kita untuk melakukan perniagaan atas dasar suka sama suka.

3)      Tidak Pemboros

Tidak pemboros di sini adalah para pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian jual-beli tersebut bukanlah manusia yang boros (mubazir), sebab orang yang boros di dalam hukum Islam dikategorikan sebagai orang yang tidak cakap bertindak, maksudnya dia tidak dapat melakukan sendiri suatu perbuatan hukum walaupun kepentingan hukum itu menyangkut kepentingannya sendiri.

Orang boros (mubazir) di dalam perbuatan hukum berada di bawah pengampuan atau perwalian, setiap yang melakukan perbuatan hukum untuk keperluannya adalah pengampunya atau walinya.[10] Sebagai mana terdapat dalam firman Allah SWT dalam QS. Al-Isra’ Ayat 27:

إِنَّ ٱلۡمُبَذِّرِينَ كَانُوٓاْ إِخۡوَٰنَ ٱلشَّيَٰطِينِۖ وَكَانَ ٱلشَّيۡطَٰنُ لِرَبِّهِۦ كَفُورٗا 

Artinya: “Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” (Q.S. Al-Isra’ : 27)[11]

Berdasarkan isi kandungan dari ayat di atas yaitu sebab orang-orang yang meghambur-hamburkan harta secara berlebihan (boros) adalah saudara-saudara setan. Mereka menerima godaan manakala setan-setan memperdaya mereka agar terjerumus dalam kerusakan dan membelanjakan harta secara tidak benar. Kebiasaan setan adalah selalu kufur terhadap nikmat Tuhan. Demikian pula kawannya, akan sama seperti sifat setan.

 

 

4)      Baligh

Menurut hukum Islam, dikatakan bliqh atau dewasa apabila telah berusia 15 tahun bagi laki-laki dan telah datang (haid) bagian hak perempuan, karena itu transaksi jual beli yang dilakukan anak kecil adalah tidak sah. Dengan demikian, bagi anak-anak yang sudah dapat membedakan mana yang baik dan yang buruk, akan tetapi ia belum dewasa (belum mencapai usia 15 tahun dan belum bermimpi atau belum haid), menurut sebagian ulama bahwa anak tersebut diperbolehkan untuk melakukan perbuatan jual beli, khususnya untuk barang-barang kecil dan tidak bernilai lagi.[12]

b.      Syarat Yang Terkait Objek Akad (Ma’qd ‘Alaih)

Objek atau benda yang menjadi sebab terjadinya transaksi jual beli, dalam hal ini harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut Suci atau bersih barangnya artinya objek atau barang yang diperjual belikan bukan lah barang yang dikategorikan barang yang najis atau barang yang diharam kan oleh syara‟. Barang yang diharamkan seperti minuman keras, dan kulit binatang yang belum disamak (menyucikan kulit hewan).

Kedua, dapat dimanfaatkan, Imam Syafi’i menyatakan bahwa setiap binatang buas yang tidak dapat diambil manfaatnya, seperti burung rajawali, burung nasar (burung pemakan bangkai), dan burung bughats (sejenis burung kecil), atau pun beberapa jenis burung yang tidak dapat diburu dan tidak dapat dimakan dagingnya tidak boleh diperjual belikan.[13]Para fuqaha lainnya, seperti yang dikemukakan Ibnu Wahb dari kalangan Malikiyah mempunyai pendapat yang sama dengan Imam Syafi‟i.[14]

Ketiga, milik orang yang melakukan akad, maksudnya adalah bahwa orang yang melakukan transaksi jual beli atas suatu barang adalah pemilik sah dari barang tersebut atau orang yang telah mendapatkan izin dari pemilik sah nya barang tersebut. Dengan demikian, jual beli barang oleh seseorang yang bukan pemilik sah atau berhak berdasarkan kuasa si pemilik sah  sebagai jual beli yang batal.

Keempat, dapat di serah terimakan, maksudnya adalah bawaan barang yang ditransaksikan dapat diserahkan pada waktu akad terjadi, tetapi hak itu tidak berarti bahwa harus diserahkan seketika.Maksudnya adalah objek jual beli harus dapat dihitung pada waktu penyerahan secara syara’ dan rasa.

Kelima, barang yang diketahui barangnya, maksudnya adalah barang yang diketahui setelah penjual dan pembeli, yaitu mengenai bentuk, takaran, sifat, dan kualitas barang. Apabila dalam suatu transaksi keadaan barang dan jumlah harganya tidak diketahui, maka perjanjian tersebut tidak sah karena perjanjian tersebut mengandung unsur penipuan (ghrar). Oleh sebab itu, penjual harus menerangkan barang yang hendak diperjual belikan. Keenam barang yang ditransaksikan ada ditangan, maksudnya adalah bahwa objek akad harus telah wujud pada waktu akad di adakan penjualan atas barang yang tidak berada dalam penguasaan penjual adalah dilarang, karena ada kemungkinan kualitas barang sudah rusak atau tidak dapat diserahkan sebagaimana perjanjian.

ighat dalam jual-beli merupakan suatu yang sangat penting dalam jual-beli, sebab tanpa adanya sghat ( dan qabl) maka jual-beli itu tidak sah.


                [1]Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2010), h. 67.

[2]Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an Al-Karim Tajwid Dan Terjemahan Edisi Wanita, (Surabaya: Halim Publishing Dan Distributing, 2013), 83.

[3]Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an Al-Karim Tajwid Dan Terjemahan Edisi Wanita., 26.

[4] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah ..., h. 69.

[5]M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), h. 118.

[6]Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an Al-Karim Tajwid Dan TerjemahanEdisi Wanita.,76.

[7]Hamzah Ya’qub, Kode Etik Dagang Menurut Hukum Islam, (Bandung: Diponegoro,
1992), 81.

[8]Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an Al-Karim Tajwid Dan Terjemahan Edisi Wanita., 83.

[9]Imam Syafi’i Abu Abdullah Muhammad bin Idris, Ringkasan Kitab Al-Umm, Penerjemah Imron Rosadi, Amiruddin dan Iman Awaluddin Jilid 2, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2013),1.

[10]Chairuman Pasaribu, Hukum Perjanjian Dalam Islam, Cet-2, (Jakarta: Sinar Grafika,
1996), 36

[11]Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an Al-Karim Tajwid Dan Terjemahan Edisi Wanita.,284.

[12]Khumedi Ja’far, Hukum Perdata Islam Indonesia (Aspek Hukum Keluarga Dan Bisnis).,143.

[13]Imam Syafi’i, Abdullah Muhammad bin Idris, Ringkssan Kitab All Umm, Penerjemah:
Imron Rosadi, Amiruddin dan Imam Awaluddin, Jilid 2.,1.

[14]Ibnu Rusyd, Bidayatu’l Mujatahid, Terjemah oleh M.A. Abdurrahman dan A. Haris Abdullah, Juz III, Semarang: Asy-Syifa‟, 1990, h. 7

MAKALAH EKONOMI SYARIAH

 

1.      Pengertian Ekonomi Syariah

Dalam Bahasa Arab, kata ekonomi diistilahkan dengan kata “iqtisad” yang berasal dari akar kata Qasd yang mempunyai magna dasar sederhana, hemat, sedang, lurus dan tengah-tengah. Sedang kata “iqtisad”mempunyai magna sederhana, penghematan dan kelurusan. Istilah ini kemudian mashur digunakan sebagai istilah ekonomi dalam Bahasa Indonesia.[1]

Ekonomi Islam adalah ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi rakyat yang diilhami oleh nilai-nilai Islam. Ada banyak pendapat di seputar pengertian dan ruang lingkup ekonomi Islam. Dawan Rahardjo, memilah istilah ekonomi Islam ke dalam tiga kemungkinan pemaknaan, pertama, yang dimagsud ekonomi Islam adalah ilmu ekonomi yang berdasarkan nilai atau ajaran Islam. Kedua yang dimagsud ekonomi Islam adalah sistem. Sistem menyangkut pengaturan yaitu pengaturan kegiatan ekonomi dalam suatu masyarakat atau negara berdasarkan suatu cara atau metode tertentu. Sedangkan pilihan ketiga. adalah ekonomi Islam dalam pengertian perekonomian umat Islam. Dalam tulisan ini ekonomi Islam menyangkut ketiganya dengan penekanan pada ekonomi Islam sebagai konsep dan sistem ekonomi. Ketiga wilayah tersebut, yakni teori, sistem, dan kegiatan ekonomi umat Islam merupakan tiga pilar yang harus membentuk sebuah sinergi.[2]

Menurut Adi Warman Karim, tiga wilayah level (teori, sistem dan aktivitas) tersebut menjadi basis dalam upaya penegakan syariah dalam bidang ekonomi Islam yang harus dilakukan secara akumulatif. Dengan demikian diperlukan adanya upaya yang sinergi dengan melibatkan seluruh komponen dalam rangka menegakkan Syari’ah dalam bidang ekonomi.[3]

2.      Dasar Hukum Ekonomi Syariah

Adapun sumber-sumber hukum dalam ekonomi Islam adalah:

a.      Al-Quran

Alquran adalah sumber utama, asli, abadi, dan pokok dalam hukum ekonomi Islam yang Allah SWT turunkan kepada Rasul Saw guna memperbaiki, meluruskan dan membimbing Umat manusia kepada jalan yang benar. Didalam Alquran banyak tedapat ayat-ayat yang melandasi hukum ekonomi Islam, salah satunya dalam surat An-Nahl ayat 90 yang mengemukakan tentang peningkatan kesejahteraan Umat Islam dalam segala bidang termasuk ekonomi.

b.      Hadis

Setelah Alquran, sumber hukum ekonomi adalah Hadis dan Sunnah. Yang mana para pelaku ekonomi akan mengikuti sumber hukum ini apabila didalam Alquran tidak terperinci secara lengkap tentang hukum ekonomi tersebut.

c.       Ijma’

Ijma' adalah sumber hukum yang ketiga, yang mana merupakan konsensus baik dari masyarakat maupun cara cendekiawan Agama, yang tidak terlepas dari Alquran dan Hadis.

d.      Qiyas

Qiyas merupakan usaha meneruskan setiap usaha untuk menemukan sedikit banyaknya kemungkinan suatu persoalan syariat. Sedangkan qiyas adalah pendapat yang merupakan alat pokok ijtihad yang dihasilkan melalui penalaran analogi.

e.       Istihsan, Istislah dan Istishab

 Bagian dari pada sumber hukum yang lainnya dan telah diterima oleh sebahagian kecil oleh keempat mazhab.[4]

 

2.      Prinsip Dasar Ekonomi Syariah

a.      Pengaturan Atas Kepemilikan

Kepemilikan dalam ekonomi Islam dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu:

1)      Kepemilikan Umum

Kepemilikan umum meliputi semua sumber, baik yang keras, cair maupun gas, minyak bumi, besi, tembaga, emas, dan temasuk yang tersimpan di perut bumi dan semua bentuk energi, juga industri berat yang menjadikan energi sebagai komponen utamanya

2)      Kepemilikan Negara

Kepemilikan Negara meliputi semua kekayaan yang diambil Negara seperti pajak dengan segala bentuknya serta perdagangan, industri, dan pertanian yang diupayakan Negara diluar kepemilikan umum, yang semuanya dibiayai oleh Negara sesuai dengan kepentingan Negara.

3)      Kepemilikan Individu

Kepemilikan ini dapat dikelola oleh setiap individu atau setiap orang sesuai dengan hukum atau norma syariat.[5]

 

b.      Penghapusan Sistem Perbankan Ribawi

Sistem ekonomi dalam Islam mengharamkan segala bentuk riba, baik riba nasiah maupun fadhal. Yang keduanya memiliki unsur merugikan pihak lain yang termasuk di dalam aktifitas ekonomi tersebut.[6]

c.       Pengharaman Sistem Perdagangan Di Pasar Non-Riil

Sistem ekonomi Islam melarang penjualan komoditi sebelum barang menjadi milik dan dikuasai oleh penjualnya, haram hukumnya menjual barang yang tidak menjadi milik seseorang seperti perdagangan dipasar non-riil (vitual market).[7]

3.      Ciri Sistem Ekonomi Syariah

a.       Multitype Ownership (kepemilikan multijenis). Merupakan turunan dari nilai tauhid dan adil. Prinsip ini adalah terjemahan dari nilai tauhid: pemilik primer langit, bumi dan seisinya adalah Allah, sedangkan manusia diberi amanah untuk mengelolanya. Jadi manusia dianggap sebagai pemilik sekunder. Dengan demikian kepemilikan swasta diakui. Namun untuk menjamin keadilan, yakni supaya tidak ada penzaliman segolongan orang terhadap segolongan yang lain, maka cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Dengan demikian, kepemilikan negara dan nasionalisasi juga diakui.

b.      Freedom to Act (kebebasan bertindak/berusaha). Merupakan turunan dari nubuwwah, adil, dan khilafah. Freedom to act akan menciptakan mekanisme pasar dalam perekonomian karena setiap individu bebas untuk bermuamalah. Dengan demikian pemerintah bertindak sebagai wasit yang mengawasi interaksi (mu’amalah) pelaku-pelaku ekonomi serta memastikan bahwa tidak terjadi distorsi dalam pasar dan menjamin tidak dilanggarnya syari’ah.

c.       Social Justice (keadilan sosial). Merupakan turunan dari nilai khilafah dan ma’ad. Dalam Islam, pemerintah bertanggung jawab menjamin pemenuhan kebutuhan dasar rakyatnya dan menciptakan keseimbangan sosial antara yang kaya dan yang miskin.[8]

4.      Ruang Lingkup Ekonomi Syariah

Dalam ruang lingkup ekonomi Islam terdapat tantangan dan tugas ekonomi Islam, Salah satu hambatan terbesar yang merupakan tantangan bagi pembangunan ekonomi Islam adalah karena tidak adanya contoh aktual/empiris dari praktek ekonomi Islam. Pada saat ini tidak ada masyarakat atau negara di dunia ini termasuk negara-negara muslim sekalipun yang mempraktekkan ekonomi Islam secara ideal.

Pada saat ini belum ada praktek ekonomi Islam secara komperehensif, yang ada hanyalah praktek-praktek parsial dalam beberapa aspek mu’amalah seperti jual beli, sistem perbankan, kontrak dan lain-lain. Tugas ekonomi Islam memang Nampak lebih besar daripada ilmu ekonomi konvensional. Tugas pertama dari ekonomi Islam yaitu mempelajari perilaku aktual dari para individu maupun kelompok, perusahaan, pasar, pemerintah, dan pelaku ekonomi lainnya.

Aspek inilah yang sebenarnya mendapat banyak pembahasan dalam ilmu ekonomi konvensional, namun nampaknya belum memuaskan karena adanya asumsi-asumsi perilaku yang tidak realistis dan komperehensif. Asumsi ini misalnya tentang kecenderungan manusia untuk hanya mementingkan diri sendiri dengan cara maksimasi material dan maksimasi kepuasan (utility).

Tugas kedua ekonomi Islam adalah menunjukkan jenis asumsi perilaku dan perilaku yang dibutuhkan untuk merealisasikan tujuan pembangunan ekonomi. Karena nilai-nilai moral berorientasi kepada tujuan, maka ekonomi Islam perlu perlu mempertimbangkan nilai-nilai dan lembaga Islam, dan kemudian secara ilmiah menganalisis dampaknya terhadap pencapaian tujuan tersebut.

Tugas ketiga, karena perbedan antara perilaku aktual dan perilaku ideal, maka ekonomi Islam harus menjelaskan mengapa para pelaku ekonomi tidak bertindak menurut jalan yang seharusnya.

Tugas keempat, karena tujuan utama pencarian ilmu adalah membantu peningkatan kesejahteraan manusia, maka ekonomi Islam harus menganjurkan cara yang bagaimana sehingga dapat membawa perilaku seluruh pelaku ekonomi, yang mempengaruhi alokasi dan distribusi sumber daya ekonomi, sedekat mungkin tatanan yang ideal.[9]

Selain itu, secara komprehensif ruang lingkup dalam ekonomi Islam adalah bermuamalah, dalam bermuamalah harus ada nilai-nilai universal, yang terkandung antara lain, Nilai-nilai tauhid (keesaan Tuhan), ‘adl (keadilan), nubuwwah (kenabian), khilafah (pemerintahan), dan ma’ad (hasil). Muamalah adalah aturan-aturan Allah yang wajib ditaati yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam kaitannya dengan cara memperoleh dan mengembangkan harta benda.[10]

Dan secara umum ruang lingkup ekonomi syariah adalah meliputi aspek ekonomi, antara lain shirkah dan mudharabah, murabahah, khiyar, istisna, ijarah, salam, kafalah, hawalah, dan lain-lain. Tetapi dalam aspek kerjasama yang paling banyak dilakukan adalah bagi hasil, yaitu shirkah dan mudharabah.


[1]Abdul Qodir Al-Kalifi, Sahara Ramadhani, Laela Nur Afuwah, Kamus besar bahasa Arab : Arab-Indonesia Indonesia-Arab, Yogyakarta : PustakaBaruPress, [tahun terbit tidak teridentifikasi], h. 322

[2]Muhammad Abdul Manan, Teori Dan Prakteik Ekonomi Islam (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1997), h. 19.

[3]M Nur Ariyanto Al Arif, Dasar-Dasar Pemasaran Bank Syariah (Bandung: Alfabeta, 2012), h. 1-2

[4]M. Abdul Manan, Teori dan Praktek, ..... h.  28-38.

`               [5]Mustafa Edwin Nasution, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam (Jakarta: Kencana, 2006), h. 12.

[6]Muhammad Saddam, Ekonomi Islam (Jakarta: Taramedia, 2003), h. 15.

[7]Azhari Akmal Tarigan, Pergumulan Ekonomi Syariah di Indonesia (Bandung: Cita Pustaka Media, 2007), h. 48.

[8]Mustafa Edwin Nasution, Pengenalan Eksklusif, ..., h. 23

[9]M.B Hendrie Anto, Pengantar Ekonomika Islami (Yogyakarta: Ekonisia, 2003), h. 20-21.

[10]Adiwarman A. Karim, Ekonomi Mikro Islami (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), h. 18

MAKALAH RIBA

  1.       Pengertian Riba Riba berasal dari bahasa arab yang artinya tambahan (زيادة ,(yang berarti tambahan pembayaran atas uang pokok ...