A.
Pengertian
Jual-Beli
Jual beli
ialah suatu perjanjian tukar-menukar benda atau barang yang mempunyai nilai
secara sukarela di antara kedua belah pihak, pihak yang satu menjual
benda-benda (penjual) sedangkan pihak yang lain menerimanya (pembeli) sesuai
dengan perjanjian atau ketentuan dalam syara’ yang telah disepakati.Sesuai
dengan ketetapan hukum maksudnya ialah memenuhi persyaratan-persyaratan,
rukun-rukun, dan hal-hal lain yang ada kaitannya dengan jual beli sehingga bila
syarat-syarat dan rukunnya tidak terpenuhi berarti tidak sesuai dengan kehendak
syara’.[1]
B.
Dasar
Hukum Jual-Beli
Sebagaimana firman Allah SWT dalam Q.S An-Nisa ayat 29
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَأۡكُلُوٓاْ أَمۡوَٰلَكُم بَيۡنَكُم بِٱلۡبَٰطِلِ
إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً عَن تَرَاضٖ مِّنكُمۡۚ وَلَا تَقۡتُلُوٓاْ
أَنفُسَكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُمۡ رَحِيمٗا
Artinya: “Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang btil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka
sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya
Allah adalah Maha Penyayang kepadamu” (Q.S An-Nis’(4): 29)[2].
Dalam firman
Allah SWT QS. Al-Baqarah ayat 173:
إِنَّمَا
حَرَّمَ عَلَيۡكُمُ ٱلۡمَيۡتَةَ وَٱلدَّمَ وَلَحۡمَ ٱلۡخِنزِيرِ وَمَآ أُهِلَّ
بِهِۦ لِغَيۡرِ ٱللَّهِۖ فَمَنِ ٱضۡطُرَّ غَيۡرَ بَاغٖ وَلَا عَادٖ فَلَآ إِثۡمَ
عَلَيۡهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٞ رَّحِيمٌ
Artinya:
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan
binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya)
sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak
ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS.
Al-Baqarah (2) :173)[3]
C.
Macam-Macam
Jual-Beli
Jual
beli menurut ulama Malikiyah ada 2 (dua) macam, yaitu jual beli yang bersifat
umum dan jual beli bersifat khusus.
1.
Jual beli dalam arti umum ialah suatu perikatan
tukar-menukar sesuatu yang bukan kemanfaatan dan kenikmatan. Perikatan adalah
akad yang mengikat dua belah pihak. Tukar-menukar yaitu salah satu pihak
menyerahkan ganti penukaran atas seuatu yang ditukarkan oleh pihak lain. Dan
sesuatu yang bukan manfaat ialah bahwa benda yang ditukarkan adalah dzat
(berbentuk), ia berfungsi sebagai objek penjualan, jadi bukan manfaatnya atau
bukan hasilnya.
2.
Jual beli dalam arti khusus ialah ikatan
tukar-menukar sesuatu yang bukan kemanfaatan dan bukan pula kelezatan yang
mempunyai daya tarik, penukarannya bukan emas dan bukan pula perak, bendanya
dapat direalisir dan ada seketika (tidak ditangguhkan), tidak merupakan utang
baik barang itu ada di hadapan si pembeli maupun tidak, barang yang sudah
diketahui sifat-sifatnya atau sudah diketahui terlebih dahulu.[4]
D. Rukun dan Syarat Jual-Beli
1. Rukun Jual Beli
Dalam menetapkan rukun jual beli, diantara para ulama terjadi perbedaan
pendapat. Menurut ulama hanafiyah, rukun jualbeli adalah ijab dan qabul yang
menunjukkan pertukaran barang secara ridha, baik dengan ucapan ataupun
perbuatan. Adapun rukun jual beli menurut jumhur ulama ada empat, yaitu Orang
yang berakad (penjual dan pembeli), Sighat (lafal ijab dan kabul), Ada barang
yang dibeli, Ada Nilai Tukar Pengganti Barang[5]
2.
Syarat
Jual-Beli
Agar jual beli dapat dilaksanakan secara sah dan memberi pengaruh yang
tepat, harus direalisasikan beberapa syaratnya terlebih dahulu. Ada yang
berkaitan dengan pihak penjual dan pembeli, dan ada kaitan dengan objek yang
diperjualbelikan. Pertama, yang berkaitan dengan pihak-pihak pelaku, harus
memiliki kompetensi dalam melakukan aktivitas itu, yakni dengan kondisi yang
sudah akilbaligh serta berkemampuan
memilih. Tidak sah transaksi yang dilakukan anak kecil yang belum mumayyiz, orang gila atau orang yang
dipaksa. Maka dalam hal ini syarat jual beli dapat kita lihat dari segi subjek
dan objeknya. Adapun dari subjeknya adalah :
a.
Syarat
Yang Terkait Subjek Akad (qid)
Aqid atau orang yang melakukan perikatan yaitu penjual (pedagang) dan pembeli, transaksi jual beli tidak mungkin terlaksana tanpa kedua belah pihak tersebut. Seseorang yangberaada terkadang
orang yang memiliki hak dan terkadang
wakil dari yang memiliki hak. Ulama fiqih sepakat bahwa orang yang melakukan jual-beli harus memenuhi syarat sebagai berikut:
1)
Berakal
Hendaknya dilakukan oleh orang
yang berakal atau tidak hilang kesadarannya, karena hanya orang yang sadar dan sehat akalnya yang sanggup melangsungkan transaksi jual-beli secara sempurna,
ia mampu berfikir logis. Oleh
karena itu,anak kecil yang belum tahu apa-apa dan orang
gila tidak dibenarkan melakukan transaksi jual-beli tanpa pengawasan dari walinya,
dikarenakan akan menimbulkan berbagai kesulitan dan
akibat-akibat buruk seperti penipuan dan sebagainya dalam firman
Allah SWT dalam Q.S An-Nis’ayat 5:
وَلَا
تُؤۡتُواْ ٱلسُّفَهَآءَ أَمۡوَٰلَكُمُ ٱلَّتِي جَعَلَ ٱللَّهُ لَكُمۡ قِيَٰمٗا
وَٱرۡزُقُوهُمۡ فِيهَا وَٱكۡسُوهُمۡ وَقُولُواْ لَهُمۡ قَوۡلٗا مَّعۡرُوفٗا
Artinya: “Dan
janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya harta
(mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok
kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan
ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.” (QS.An-Nis’(4):
5)[6]
2)
Bukan
Paksaan
Hendaknya transaksi ini didasarkan
pada prinsip-prinsip rela sama rela yang didalamnya tersirat makna muhtar,
yakni bebas melakukan transaksi jual-beli dan terbebas dari paksaan dan tekanan, jual-beli yang dilakukan bukan atas dasar hendaknya sendiri adalah tidak sah.[7] Prinsip ini menjadi pegangan para fuqaha, Allah SWT berfirman dalam Surah An-Nis’ ayat 29:
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَأۡكُلُوٓاْ أَمۡوَٰلَكُم بَيۡنَكُم بِٱلۡبَٰطِلِ
إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً عَن تَرَاضٖ مِّنكُمۡۚ وَلَا تَقۡتُلُوٓاْ
أَنفُسَكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُمۡ رَحِيمٗا
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
saling memakan harta sesame mu dengan jalan yang btil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka
sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu Sesungguhnya Allah
adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. An-Nis’ (4): 29)[8].
Berdasarkan isi kandungan ayat di atas menjelaskan bahwa larangan memakan harta yang berada ditengah mereka dengan bthil itu mengandung makna larangan melakukan transaksi atau perpindahan harta yang
tidak mengantar masyarakat kepada konsekuen bahkan mengantarkannya kepada kebejatan
dan kehancuran, seperti praktik-praktik riba, perjudian, jual-beli yang mengandung penipuan, dan lain-lain. Penghalalan Allah SWT terhadap jual-beli itu mengandung dua makna,
salah satu nya adalah bahwa Allah SWT menghalalkan setiap jual-beli yang dilakukan oleh dua orang pada
barang yang diperbolehkan untuk diperjual belikan atas dasar suka sama suka.[9]
Maka dari itu, Allah SWT menganjurkan kita untuk melakukan perniagaan atas
dasar suka sama suka.
3)
Tidak
Pemboros
Tidak pemboros di sini adalah
para pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian jual-beli tersebut bukanlah manusia yang boros
(mubazir), sebab orang yang boros di dalam
hukum Islam dikategorikan sebagai orang yang tidak cakap bertindak, maksudnya
dia tidak dapat melakukan sendiri suatu perbuatan hukum walaupun kepentingan hukum itu menyangkut kepentingannya sendiri.
Orang boros (mubazir) di dalam perbuatan hukum berada di bawah pengampuan atau
perwalian, setiap yang melakukan perbuatan hukum untuk keperluannya adalah
pengampunya atau walinya.[10]
Sebagai mana terdapat dalam firman
Allah SWT dalam QS. Al-Isra’ Ayat 27:
إِنَّ
ٱلۡمُبَذِّرِينَ كَانُوٓاْ إِخۡوَٰنَ ٱلشَّيَٰطِينِۖ وَكَانَ ٱلشَّيۡطَٰنُ
لِرَبِّهِۦ كَفُورٗا
Artinya:
“Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” (Q.S. Al-Isra’ :
27)[11]
Berdasarkan isi kandungan dari ayat di atas yaitu sebab orang-orang yang
meghambur-hamburkan harta secara berlebihan (boros) adalah saudara-saudara
setan. Mereka menerima godaan manakala setan-setan memperdaya mereka agar
terjerumus dalam kerusakan dan membelanjakan harta secara tidak benar.
Kebiasaan setan adalah selalu kufur terhadap
nikmat Tuhan. Demikian pula kawannya, akan sama seperti sifat setan.
4)
Baligh
Menurut hukum Islam,
dikatakan bliqh atau dewasa
apabila telah berusia 15 tahun bagi laki-laki dan telah datang (haid) bagian
hak perempuan, karena itu transaksi jual beli yang dilakukan anak kecil adalah
tidak sah. Dengan
demikian, bagi anak-anak yang
sudah dapat membedakan mana yang baik dan yang buruk, akan tetapi ia belum
dewasa (belum mencapai usia 15 tahun dan belum bermimpi atau belum haid),
menurut sebagian ulama bahwa anak tersebut diperbolehkan untuk melakukan
perbuatan jual beli, khususnya untuk barang-barang kecil dan tidak bernilai
lagi.[12]
b.
Syarat
Yang Terkait Objek Akad (Ma’qd ‘Alaih)
Objek atau benda yang menjadi sebab terjadinya transaksi jual beli, dalam
hal ini harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut Suci atau bersih barangnya
artinya objek atau barang yang diperjual belikan bukan lah barang yang
dikategorikan barang yang najis atau barang yang diharam kan oleh syara‟.
Barang yang diharamkan seperti minuman keras, dan kulit binatang yang belum disamak
(menyucikan kulit hewan).
Kedua, dapat
dimanfaatkan, Imam Syafi’i menyatakan bahwa setiap binatang buas yang tidak
dapat diambil manfaatnya, seperti burung rajawali, burung nasar (burung pemakan
bangkai), dan burung bughats (sejenis burung kecil), atau pun beberapa jenis
burung yang tidak dapat diburu dan tidak dapat dimakan dagingnya tidak boleh
diperjual belikan.[13]Para
fuqaha lainnya, seperti yang dikemukakan Ibnu Wahb dari kalangan Malikiyah
mempunyai pendapat yang sama dengan Imam Syafi‟i.[14]
Ketiga, milik
orang yang melakukan akad, maksudnya adalah bahwa orang yang melakukan
transaksi jual beli atas suatu barang adalah pemilik sah dari barang tersebut
atau orang yang telah mendapatkan izin dari pemilik sah nya barang tersebut.
Dengan demikian, jual beli barang oleh seseorang yang bukan pemilik sah atau
berhak berdasarkan kuasa si pemilik sah sebagai jual beli yang batal.
Keempat, dapat di serah
terimakan, maksudnya adalah bawaan barang yang ditransaksikan dapat diserahkan
pada waktu akad terjadi, tetapi hak itu tidak berarti bahwa harus diserahkan
seketika.Maksudnya adalah objek jual beli harus dapat dihitung pada waktu
penyerahan secara syara’ dan rasa.
Kelima, barang yang
diketahui barangnya, maksudnya adalah barang yang diketahui setelah penjual dan
pembeli, yaitu mengenai bentuk, takaran, sifat, dan kualitas barang. Apabila
dalam suatu transaksi keadaan barang dan jumlah harganya tidak diketahui, maka
perjanjian tersebut tidak sah karena perjanjian tersebut mengandung unsur
penipuan (ghrar). Oleh sebab itu, penjual harus
menerangkan barang yang hendak diperjual belikan. Keenam barang yang
ditransaksikan ada ditangan, maksudnya adalah bahwa objek akad harus telah
wujud pada waktu akad di adakan penjualan atas barang yang tidak berada dalam
penguasaan penjual adalah dilarang, karena ada kemungkinan kualitas barang
sudah rusak atau tidak dapat diserahkan sebagaimana perjanjian.
[2]Departemen
Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an Al-Karim Tajwid Dan Terjemahan Edisi
Wanita, (Surabaya: Halim Publishing Dan Distributing, 2013), 83.
[3]Departemen
Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an Al-Karim Tajwid Dan Terjemahan Edisi
Wanita., 26.
[4] Hendi
Suhendi, Fiqh Muamalah ..., h. 69.
[5]M.
Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam
Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), h. 118.
[6]Departemen
Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an Al-Karim Tajwid Dan TerjemahanEdisi
Wanita.,76.
[7]Hamzah
Ya’qub, Kode Etik Dagang Menurut Hukum Islam, (Bandung: Diponegoro,
1992), 81.
[8]Departemen
Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an Al-Karim Tajwid Dan Terjemahan Edisi
Wanita., 83.
[9]Imam
Syafi’i Abu Abdullah Muhammad bin Idris, Ringkasan Kitab Al-Umm, Penerjemah
Imron Rosadi, Amiruddin dan Iman Awaluddin Jilid 2, (Jakarta: Pustaka Azzam,
2013),1.
[10]Chairuman
Pasaribu, Hukum Perjanjian Dalam Islam, Cet-2, (Jakarta: Sinar Grafika,
1996), 36
[11]Departemen
Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an Al-Karim Tajwid Dan Terjemahan Edisi
Wanita.,284.
[12]Khumedi
Ja’far, Hukum Perdata Islam Indonesia (Aspek Hukum Keluarga Dan Bisnis).,143.
[13]Imam
Syafi’i, Abdullah Muhammad bin Idris, Ringkssan Kitab All Umm, Penerjemah:
Imron Rosadi, Amiruddin dan Imam Awaluddin, Jilid 2.,1.
[14]Ibnu
Rusyd, Bidayatu’l Mujatahid, Terjemah
oleh M.A. Abdurrahman dan A. Haris Abdullah, Juz III, Semarang: Asy-Syifa‟,
1990, h. 7