Followers

Monday, July 11, 2022

MAKALAH JUAL-BELI (BA'I)

 

A.    Pengertian Jual-Beli

Jual beli ialah suatu perjanjian tukar-menukar benda atau barang yang mempunyai nilai secara sukarela di antara kedua belah pihak, pihak yang satu menjual benda-benda (penjual) sedangkan pihak yang lain menerimanya (pembeli) sesuai dengan perjanjian atau ketentuan dalam syara’ yang telah disepakati.Sesuai dengan ketetapan hukum maksudnya ialah memenuhi persyaratan-persyaratan, rukun-rukun, dan hal-hal lain yang ada kaitannya dengan jual beli sehingga bila syarat-syarat dan rukunnya tidak terpenuhi berarti tidak sesuai dengan kehendak syara’.[1]

B.     Dasar Hukum Jual-Beli

     Sebagaimana firman Allah SWT dalam Q.S An-Nisa ayat 29

 

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَأۡكُلُوٓاْ أَمۡوَٰلَكُم بَيۡنَكُم بِٱلۡبَٰطِلِ إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً عَن تَرَاضٖ مِّنكُمۡۚ وَلَا تَقۡتُلُوٓاْ أَنفُسَكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُمۡ رَحِيمٗا 

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang btil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu” (Q.S An-Nis(4): 29)[2].

Dalam firman Allah SWT QS. Al-Baqarah ayat 173:

 

إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيۡكُمُ ٱلۡمَيۡتَةَ وَٱلدَّمَ وَلَحۡمَ ٱلۡخِنزِيرِ وَمَآ أُهِلَّ بِهِۦ لِغَيۡرِ ٱللَّهِۖ فَمَنِ ٱضۡطُرَّ غَيۡرَ بَاغٖ وَلَا عَادٖ فَلَآ إِثۡمَ عَلَيۡهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٞ رَّحِيمٌ 

Artinya: “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah (2) :173)[3]

C.    Macam-Macam Jual-Beli

Jual beli menurut ulama Malikiyah ada 2 (dua) macam, yaitu jual beli yang bersifat umum dan jual beli bersifat khusus.

1.      Jual beli dalam arti umum ialah suatu perikatan tukar-menukar sesuatu yang bukan kemanfaatan dan kenikmatan. Perikatan adalah akad yang mengikat dua belah pihak. Tukar-menukar yaitu salah satu pihak menyerahkan ganti penukaran atas seuatu yang ditukarkan oleh pihak lain. Dan sesuatu yang bukan manfaat ialah bahwa benda yang ditukarkan adalah dzat (berbentuk), ia berfungsi sebagai objek penjualan, jadi bukan manfaatnya atau bukan hasilnya.

2.      Jual beli dalam arti khusus ialah ikatan tukar-menukar sesuatu yang bukan kemanfaatan dan bukan pula kelezatan yang mempunyai daya tarik, penukarannya bukan emas dan bukan pula perak, bendanya dapat direalisir dan ada seketika (tidak ditangguhkan), tidak merupakan utang baik barang itu ada di hadapan si pembeli maupun tidak, barang yang sudah diketahui sifat-sifatnya atau sudah diketahui terlebih dahulu.[4]

D.    Rukun dan Syarat Jual-Beli

1.      Rukun Jual Beli

Dalam menetapkan rukun jual beli, diantara para ulama terjadi perbedaan pendapat. Menurut ulama hanafiyah, rukun jualbeli adalah ijab dan qabul yang menunjukkan pertukaran barang secara ridha, baik dengan ucapan ataupun perbuatan. Adapun rukun jual beli menurut jumhur ulama ada empat, yaitu Orang yang berakad (penjual dan pembeli), Sighat (lafal ijab dan kabul), Ada barang yang dibeli, Ada Nilai Tukar Pengganti Barang[5]

2.      Syarat Jual-Beli

Agar jual beli dapat dilaksanakan secara sah dan memberi pengaruh yang tepat, harus direalisasikan beberapa syaratnya terlebih dahulu. Ada yang berkaitan dengan pihak penjual dan pembeli, dan ada kaitan dengan objek yang diperjualbelikan. Pertama, yang berkaitan dengan pihak-pihak pelaku, harus memiliki kompetensi dalam melakukan aktivitas itu, yakni dengan kondisi yang sudah akilbaligh serta berkemampuan memilih. Tidak sah transaksi yang dilakukan anak kecil yang belum mumayyiz, orang gila atau orang yang dipaksa. Maka dalam hal ini syarat jual beli dapat kita lihat dari segi subjek dan objeknya. Adapun dari subjeknya adalah :

a.      Syarat Yang Terkait Subjek Akad (qid)

Aqid atau orang yang melakukan perikatan yaitu penjual (pedagang) dan pembeli, transaksi jual beli tidak mungkin terlaksana tanpa kedua belah pihak tersebut. Seseorang yangberaada terkadang orang yang memiliki hak dan terkadang wakil dari yang memiliki hak. Ulama fiqih sepakat bahwa orang yang melakukan jual-beli harus memenuhi syarat sebagai berikut:

1)      Berakal

Hendaknya dilakukan oleh orang yang berakal atau tidak hilang kesadarannya, karena hanya orang yang sadar dan sehat akalnya yang sanggup melangsungkan transaksi jual-beli secara sempurna, ia mampu berfikir logis. Oleh karena itu,anak kecil yang belum tahu apa-apa dan orang gila tidak dibenarkan melakukan transaksi jual-beli tanpa pengawasan dari walinya, dikarenakan akan menimbulkan berbagai kesulitan dan akibat-akibat buruk seperti penipuan dan sebagainya dalam firman Allah SWT dalam Q.S An-Nisayat 5:

وَلَا تُؤۡتُواْ ٱلسُّفَهَآءَ أَمۡوَٰلَكُمُ ٱلَّتِي جَعَلَ ٱللَّهُ لَكُمۡ قِيَٰمٗا وَٱرۡزُقُوهُمۡ فِيهَا وَٱكۡسُوهُمۡ وَقُولُواْ لَهُمۡ قَوۡلٗا مَّعۡرُوفٗا 

Artinya: “Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.” (QS.An-Nis(4): 5)[6]

2)      Bukan Paksaan

Hendaknya transaksi ini didasarkan pada prinsip-prinsip rela sama rela yang didalamnya tersirat makna muhtar, yakni bebas melakukan transaksi jual-beli dan terbebas dari paksaan dan tekanan, jual-beli yang dilakukan bukan atas dasar hendaknya sendiri adalah tidak sah.[7] Prinsip ini menjadi pegangan para fuqaha, Allah SWT berfirman dalam Surah An-Nisayat 29:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَأۡكُلُوٓاْ أَمۡوَٰلَكُم بَيۡنَكُم بِٱلۡبَٰطِلِ إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً عَن تَرَاضٖ مِّنكُمۡۚ وَلَا تَقۡتُلُوٓاْ أَنفُسَكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُمۡ رَحِيمٗا 

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesame mu dengan jalan yang btil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. An-Nis(4): 29)[8].

 

Berdasarkan isi kandungan ayat di atas menjelaskan bahwa larangan memakan harta yang berada ditengah mereka dengan bthil itu mengandung makna larangan melakukan transaksi atau perpindahan harta yang tidak mengantar masyarakat kepada konsekuen bahkan mengantarkannya kepada kebejatan dan kehancuran, seperti praktik-praktik riba, perjudian, jual-beli yang mengandung penipuan, dan lain-lain.  Penghalalan Allah SWT terhadap jual-beli itu mengandung dua makna, salah satu nya adalah bahwa Allah SWT menghalalkan setiap jual-beli yang dilakukan oleh dua orang pada barang yang diperbolehkan untuk diperjual belikan atas dasar suka sama suka.[9] Maka dari itu, Allah SWT menganjurkan kita untuk melakukan perniagaan atas dasar suka sama suka.

3)      Tidak Pemboros

Tidak pemboros di sini adalah para pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian jual-beli tersebut bukanlah manusia yang boros (mubazir), sebab orang yang boros di dalam hukum Islam dikategorikan sebagai orang yang tidak cakap bertindak, maksudnya dia tidak dapat melakukan sendiri suatu perbuatan hukum walaupun kepentingan hukum itu menyangkut kepentingannya sendiri.

Orang boros (mubazir) di dalam perbuatan hukum berada di bawah pengampuan atau perwalian, setiap yang melakukan perbuatan hukum untuk keperluannya adalah pengampunya atau walinya.[10] Sebagai mana terdapat dalam firman Allah SWT dalam QS. Al-Isra’ Ayat 27:

إِنَّ ٱلۡمُبَذِّرِينَ كَانُوٓاْ إِخۡوَٰنَ ٱلشَّيَٰطِينِۖ وَكَانَ ٱلشَّيۡطَٰنُ لِرَبِّهِۦ كَفُورٗا 

Artinya: “Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” (Q.S. Al-Isra’ : 27)[11]

Berdasarkan isi kandungan dari ayat di atas yaitu sebab orang-orang yang meghambur-hamburkan harta secara berlebihan (boros) adalah saudara-saudara setan. Mereka menerima godaan manakala setan-setan memperdaya mereka agar terjerumus dalam kerusakan dan membelanjakan harta secara tidak benar. Kebiasaan setan adalah selalu kufur terhadap nikmat Tuhan. Demikian pula kawannya, akan sama seperti sifat setan.

 

 

4)      Baligh

Menurut hukum Islam, dikatakan bliqh atau dewasa apabila telah berusia 15 tahun bagi laki-laki dan telah datang (haid) bagian hak perempuan, karena itu transaksi jual beli yang dilakukan anak kecil adalah tidak sah. Dengan demikian, bagi anak-anak yang sudah dapat membedakan mana yang baik dan yang buruk, akan tetapi ia belum dewasa (belum mencapai usia 15 tahun dan belum bermimpi atau belum haid), menurut sebagian ulama bahwa anak tersebut diperbolehkan untuk melakukan perbuatan jual beli, khususnya untuk barang-barang kecil dan tidak bernilai lagi.[12]

b.      Syarat Yang Terkait Objek Akad (Ma’qd ‘Alaih)

Objek atau benda yang menjadi sebab terjadinya transaksi jual beli, dalam hal ini harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut Suci atau bersih barangnya artinya objek atau barang yang diperjual belikan bukan lah barang yang dikategorikan barang yang najis atau barang yang diharam kan oleh syara‟. Barang yang diharamkan seperti minuman keras, dan kulit binatang yang belum disamak (menyucikan kulit hewan).

Kedua, dapat dimanfaatkan, Imam Syafi’i menyatakan bahwa setiap binatang buas yang tidak dapat diambil manfaatnya, seperti burung rajawali, burung nasar (burung pemakan bangkai), dan burung bughats (sejenis burung kecil), atau pun beberapa jenis burung yang tidak dapat diburu dan tidak dapat dimakan dagingnya tidak boleh diperjual belikan.[13]Para fuqaha lainnya, seperti yang dikemukakan Ibnu Wahb dari kalangan Malikiyah mempunyai pendapat yang sama dengan Imam Syafi‟i.[14]

Ketiga, milik orang yang melakukan akad, maksudnya adalah bahwa orang yang melakukan transaksi jual beli atas suatu barang adalah pemilik sah dari barang tersebut atau orang yang telah mendapatkan izin dari pemilik sah nya barang tersebut. Dengan demikian, jual beli barang oleh seseorang yang bukan pemilik sah atau berhak berdasarkan kuasa si pemilik sah  sebagai jual beli yang batal.

Keempat, dapat di serah terimakan, maksudnya adalah bawaan barang yang ditransaksikan dapat diserahkan pada waktu akad terjadi, tetapi hak itu tidak berarti bahwa harus diserahkan seketika.Maksudnya adalah objek jual beli harus dapat dihitung pada waktu penyerahan secara syara’ dan rasa.

Kelima, barang yang diketahui barangnya, maksudnya adalah barang yang diketahui setelah penjual dan pembeli, yaitu mengenai bentuk, takaran, sifat, dan kualitas barang. Apabila dalam suatu transaksi keadaan barang dan jumlah harganya tidak diketahui, maka perjanjian tersebut tidak sah karena perjanjian tersebut mengandung unsur penipuan (ghrar). Oleh sebab itu, penjual harus menerangkan barang yang hendak diperjual belikan. Keenam barang yang ditransaksikan ada ditangan, maksudnya adalah bahwa objek akad harus telah wujud pada waktu akad di adakan penjualan atas barang yang tidak berada dalam penguasaan penjual adalah dilarang, karena ada kemungkinan kualitas barang sudah rusak atau tidak dapat diserahkan sebagaimana perjanjian.

ighat dalam jual-beli merupakan suatu yang sangat penting dalam jual-beli, sebab tanpa adanya sghat ( dan qabl) maka jual-beli itu tidak sah.


                [1]Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2010), h. 67.

[2]Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an Al-Karim Tajwid Dan Terjemahan Edisi Wanita, (Surabaya: Halim Publishing Dan Distributing, 2013), 83.

[3]Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an Al-Karim Tajwid Dan Terjemahan Edisi Wanita., 26.

[4] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah ..., h. 69.

[5]M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), h. 118.

[6]Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an Al-Karim Tajwid Dan TerjemahanEdisi Wanita.,76.

[7]Hamzah Ya’qub, Kode Etik Dagang Menurut Hukum Islam, (Bandung: Diponegoro,
1992), 81.

[8]Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an Al-Karim Tajwid Dan Terjemahan Edisi Wanita., 83.

[9]Imam Syafi’i Abu Abdullah Muhammad bin Idris, Ringkasan Kitab Al-Umm, Penerjemah Imron Rosadi, Amiruddin dan Iman Awaluddin Jilid 2, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2013),1.

[10]Chairuman Pasaribu, Hukum Perjanjian Dalam Islam, Cet-2, (Jakarta: Sinar Grafika,
1996), 36

[11]Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an Al-Karim Tajwid Dan Terjemahan Edisi Wanita.,284.

[12]Khumedi Ja’far, Hukum Perdata Islam Indonesia (Aspek Hukum Keluarga Dan Bisnis).,143.

[13]Imam Syafi’i, Abdullah Muhammad bin Idris, Ringkssan Kitab All Umm, Penerjemah:
Imron Rosadi, Amiruddin dan Imam Awaluddin, Jilid 2.,1.

[14]Ibnu Rusyd, Bidayatu’l Mujatahid, Terjemah oleh M.A. Abdurrahman dan A. Haris Abdullah, Juz III, Semarang: Asy-Syifa‟, 1990, h. 7

No comments:

Post a Comment

MAKALAH RIBA

  1.       Pengertian Riba Riba berasal dari bahasa arab yang artinya tambahan (زيادة ,(yang berarti tambahan pembayaran atas uang pokok ...