1.
Pengertian
Akad
Istilah
“perjanjian” dalam hukum Indonesia, disebut “akad” dalam hukum Islam. Kata akad
berasal dari kata al-„aqad, yang berarti mengikat, menyambung atau
menghubungkan (ar-rabth). Sebagai
suatu istilah hukum Islam, ada beberapa definisi yang diberikan kepada akad
(perjanjian).[1]
Adapun secara terminologi ulama fiqh melihat akad dari dua sisi yakni secara
umum dan secara khusus.
Pengertian akad
dalam arti luas hampir sama dengan pengertian akad dari segi bahasa menurut
pendapat ulama Syafi’iyah, Malikiyah, dan Hanabilah, yaitu segala sesuatu yang
dikerjakan oleh seseorang berdasarkan keinginannya sendiri, seperti waqaf,
talak, pembebasan, atau sesuatu yang pembentukannya membutuhkan keinginan dua
orang seperti jual beli, perwakilan, dan gadai.[2]
Sedangkan
pengertian akad dalam arti khusus yang dikemukakan oleh ulama fiqh adalah
Perikatan yang ditetapkan dengan ijab qobul berdasarkan ketentuan syara’ yang berdampak pada objeknya.
Dengan demikian, Ijab-qabul adalah suatu perbuatan atau pernyataan untuk
menunjukan suatu keridaan dalam berakad diantara dua orang atau lebih, sehingga
terhindar atau keluar dari suatu ikatan yang tidak berdasarkan syara’.
2.
Rukun
Akad
Rukun-Rukun Akad sebagai berikut:
a)
Aqid,
adalah orang yang berakad (subjek akad); terkadang masingmasing pihak terdiri
dari salah satu orang, terkadang terdiri dari beberapa orang. Misalnya, penjual
dan pembeli beras di pasar biasanya masing-masing pihak satu orang; ahli waris
sepakat untuk memberikan sesuatu kepada pihak yang lain yang terdiri dari
beberapa orang.
b)
Ma’qūd
alaih, adalah benda-benda yang akan diakadkan (objek akad), seperti
benda-benda yang dijual dalam akad jual beli, dalam akad hibah atau pemberian,
gadai, utang yang dijaminkan seseorang dalam akad kafalah.[3] Ma’qūd alaih harus memenuhi beberapa
persyaratan sebagai berikut:
1) Obyek
transaksi harus ada ketika akad atau kontrak sedang dilakukan.
2) Obyek
transaksi harus berupa harta yang diperbolehkan syara’ untuk ditransaksikan dan dimiliki penuh oleh pemiliknya.
3) Obyek
transaksi bisa diserah terimakan saat terjadinya akad, atau dimungkinkan
dikemudian hari.
4) Adanya
kejelasan tentang obyek transaksi. Obyek transaksi harus suci, tidak terkena
najis dan bukan barang najis.
c)
Maudhū
al-aqd adalah tujuan atau maksud mengadakan akad. Berbeda akad maka
berbedalah tujuan pokok akad. Dalam akad jual beli misalnya, tujuan pokoknya
yaitu memindahkan barang dari penjual kepada pembeli dengan di beri ganti.
d)
Shighat
al-aqd, yaitu ijab kabul. Ijab adalah ungkapan yang pertama kali
dilontarkan oleh salah satu dari pihak yang akan melakukan akad, sedangkan
kabul adalah peryataan pihak kedua untuk menerimanya. Pengertian ijab kabul
dalam pengalaman dewasa ini ialah bertukarnya sesuatu dengan yang lain sehingga
penjual dan pembeli dalam membeli sesuatu terkadang tidak berhadapan atau
ungkapan yang menunjukan kesepakatan dua pihak yang melakukan akad, misalnya
yang berlangganan majalah, pembeli mengirim uang melalui pos wesel dan pembeli
menerima majalah tersebut dari kantor pos.[4]
3.
Syarat
Akad
Beberapa syarat tersebut meliputi:
a)
Syarat terbentuknya akad, dalam hukum Islam
syarat ini dikenal dengan nama Syurūth
In`iqād. Syarat ini terkait dengan
sesuatu yang harus dipenuhi oleh rukun-rukun akad,ialah:
1) Pihak
yang berakad.
2) Shighat
akad (pertanyaan kehendak) adanya kesesuaian ijab dan kabul (munculnya
kesepakatan) dan dilakukan dalam satu majlis akad.
3) Objek
akad, dapat diserahkan, dapat ditentukan dan dapat ditransaksikan (benda yang
bernilai dan dimiliki).
4) Tujuan
akad tidak bertentangan dengan syara’.
b.
Syarat keabsahan akad, adalah syarat tambahan
yang dapat mengabsahkan akad setelah syarat terbentuknya akad (Syurūth In`iqād) tersebut dipenuhi
antara lain:
1) Pernyataan
kehendak harus dilaksanakan secara bebas. Maka jika pertanyaan kehendak
tersebut dilakukan dengan terpaksa,maka akad dianggap batal.
2) Penyerahan
objek tidak menimbulkan mudarat.
3) Bebas
dari Gharar, yaitu tidak adanya tipuan yang dilakukan oleh para pihak yang
berakad.
4) Bebas
dari riba
c)
Syarat-syarat berlakunya akibat hukum (Syurūth an-nafādz) adalah syarat yang
diperlukan bagi akad agar akad tersebut dapat dilaksanakan akibat hukumnya.
Syarat-syarat tersebut adalah :
1) Adanya
kewenangan sempurna atas objek akad, kewenangan ini terpenuhi jika para pihak
memiliki kewenangan sempurna atas objek akad,atau para pihak merupakan wakil
dari pemilik objek yang mendapatkan kuasa dari pemiliknya atau pada objek
tersebut tidak tersangkut hak orang lain.
2) Adanya
kewenangan atas tindakan hukum yang dilakukan, persyaratan ini terpenuhi dengan
para pihak yang melakukan akad adalah mereka yang dipandang mencapai tingkat
kecakapan bertindak hukum yang dibutuhkan.
3) Syarat
mengikat (Syurūth al-luzūm) sebuah
akad yang sudah memenuhi rukun-rukunnya dan beberapa macam syarat sebagaimana
yang dijelaskan diatas,belum tentu membuat akad tersebut dapat mengikat
pihak-pihak yang telah melakukan akad.
4.
Macam-Macam
Akad
a)
Aqad
Munjiz yaitu akad yang dilaksanakan langsung pada waktu selesanya akad.
Pernyataan akad akan diikuti dengan pelaksanaan akad ialah pernyataan yang
tidak disertai dengan syarat-syarat dan tidak pula dikuti pula ditentukanya
waktu pelaksanaan setelah adanya akad.
b)
ʻAqad
Muʻalaq ialah akad yang didalamnya pelaksanaannya terdapat syarat-syarat
yang telah ditentukan dalam akad, misalnya penentuan penyerahan barang-barang
yang diakadkan setelah adanya pembayaran.
c)
ʻAqad
Mudhāf ialah akad yang didalam pelaksanaanya terdapat syaratsyarat mengenai
penanggulangan pelaksanaan akad, penyataan yang pelaksanaannya ditangguhkan
hingga waktu yang ditentukan. Perkataan ini sah dilakukan pada akad, tetapi
belum mempunyai akibat hukum sebelum tibanya waktu yang ditentukan.
5.
Sah
dan Batalnya Akad
Ditinjau dari
segi ini Para ulama fiqh mengemukakan bahwa akad itu dapat di bagi dan di lihat
dari beberapa aspek. Jika di lihat dari ke absahannya menurut syara‟, akad di
bagi menjadi dua, yakni :[5]
a)
Akad Shahīh
Akad Shahīh yakni akad yang telah memenuhi
rukun-rukun dan syarat-syaratnya. Hukum dari akad Shahīh ini, berlakunya seluruh akibat hukum yang di timbulkan akad
itu dan mengikat pada pihak-pihak yang berakad
b)
Akad tidak Shahīh
[1]Syamsul
Anwar, Hukum Perjanjian Syariah (
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), h. 68.
[2]Ibn
Abidin, Radd Al-Mukhtar „Ala Dar
Al-Mukhtar, Juz II, h. 355
[3]Hendi
Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada , 2018, h.30
[4]Academia,”Makalah
Fiqh Muamalah 1 Teori Akad dalam Perspektif Fiqh
Muamalah”,diakseshttp://www.academia.edu/25949554/Makalah_Fiqih_Muamalah_1_Teori_Akad_dalam_Perspek
tif_Fiqh_Muamalah, pada tanggal 23 Oktober
pukul 15:05 WIB.
[5]Ahmad
Azhar Basyir, Asas-Asas Hukum Muamalat,
(Yogyakarta : UII Pres, 1982), h. .65.
No comments:
Post a Comment