Followers

Monday, July 11, 2022

MAKALAH AKAD

 

1.      Pengertian Akad

Istilah “perjanjian” dalam hukum Indonesia, disebut “akad” dalam hukum Islam. Kata akad berasal dari kata al-„aqad, yang berarti mengikat, menyambung atau menghubungkan (ar-rabth). Sebagai suatu istilah hukum Islam, ada beberapa definisi yang diberikan kepada akad (perjanjian).[1] Adapun secara terminologi ulama fiqh melihat akad dari dua sisi yakni secara umum dan secara khusus.

Pengertian akad dalam arti luas hampir sama dengan pengertian akad dari segi bahasa menurut pendapat ulama Syafi’iyah, Malikiyah, dan Hanabilah, yaitu segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang berdasarkan keinginannya sendiri, seperti waqaf, talak, pembebasan, atau sesuatu yang pembentukannya membutuhkan keinginan dua orang seperti jual beli, perwakilan, dan gadai.[2]

Sedangkan pengertian akad dalam arti khusus yang dikemukakan oleh ulama fiqh adalah Perikatan yang ditetapkan dengan ijab qobul berdasarkan ketentuan syara’ yang berdampak pada objeknya. Dengan demikian, Ijab-qabul adalah suatu perbuatan atau pernyataan untuk menunjukan suatu keridaan dalam berakad diantara dua orang atau lebih, sehingga terhindar atau keluar dari suatu ikatan yang tidak berdasarkan syara’.

2.      Rukun Akad

Rukun-Rukun Akad sebagai berikut:

a)      Aqid, adalah orang yang berakad (subjek akad); terkadang masingmasing pihak terdiri dari salah satu orang, terkadang terdiri dari beberapa orang. Misalnya, penjual dan pembeli beras di pasar biasanya masing-masing pihak satu orang; ahli waris sepakat untuk memberikan sesuatu kepada pihak yang lain yang terdiri dari beberapa orang.

b)      Ma’qūd alaih, adalah benda-benda yang akan diakadkan (objek akad), seperti benda-benda yang dijual dalam akad jual beli, dalam akad hibah atau pemberian, gadai, utang yang dijaminkan seseorang dalam akad kafalah.[3] Ma’qūd alaih harus memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut:

1)      Obyek transaksi harus ada ketika akad atau kontrak sedang dilakukan.

2)      Obyek transaksi harus berupa harta yang diperbolehkan syara’ untuk ditransaksikan dan dimiliki penuh oleh pemiliknya.

3)      Obyek transaksi bisa diserah terimakan saat terjadinya akad, atau dimungkinkan dikemudian hari.

4)      Adanya kejelasan tentang obyek transaksi. Obyek transaksi harus suci, tidak terkena najis dan bukan barang najis.

c)      Maudhū al-aqd adalah tujuan atau maksud mengadakan akad. Berbeda akad maka berbedalah tujuan pokok akad. Dalam akad jual beli misalnya, tujuan pokoknya yaitu memindahkan barang dari penjual kepada pembeli dengan di beri ganti.

d)     Shighat al-aqd, yaitu ijab kabul. Ijab adalah ungkapan yang pertama kali dilontarkan oleh salah satu dari pihak yang akan melakukan akad, sedangkan kabul adalah peryataan pihak kedua untuk menerimanya. Pengertian ijab kabul dalam pengalaman dewasa ini ialah bertukarnya sesuatu dengan yang lain sehingga penjual dan pembeli dalam membeli sesuatu terkadang tidak berhadapan atau ungkapan yang menunjukan kesepakatan dua pihak yang melakukan akad, misalnya yang berlangganan majalah, pembeli mengirim uang melalui pos wesel dan pembeli menerima majalah tersebut dari kantor pos.[4]

3.      Syarat Akad

Beberapa syarat tersebut meliputi:

a)      Syarat terbentuknya akad, dalam hukum Islam syarat ini dikenal dengan nama Syurūth In`iqād. Syarat ini terkait dengan sesuatu yang harus dipenuhi oleh rukun-rukun akad,ialah:

1)      Pihak yang berakad.

2)      Shighat akad (pertanyaan kehendak) adanya kesesuaian ijab dan kabul (munculnya kesepakatan) dan dilakukan dalam satu majlis akad.

3)      Objek akad, dapat diserahkan, dapat ditentukan dan dapat ditransaksikan (benda yang bernilai dan dimiliki).

4)      Tujuan akad tidak bertentangan dengan syara’.

b.      Syarat keabsahan akad, adalah syarat tambahan yang dapat mengabsahkan akad setelah syarat terbentuknya akad (Syurūth In`iqād) tersebut dipenuhi antara lain:

1)      Pernyataan kehendak harus dilaksanakan secara bebas. Maka jika pertanyaan kehendak tersebut dilakukan dengan terpaksa,maka akad dianggap batal.

2)      Penyerahan objek tidak menimbulkan mudarat.

3)      Bebas dari Gharar, yaitu tidak adanya tipuan yang dilakukan oleh para pihak yang berakad.

4)      Bebas dari riba

c)      Syarat-syarat berlakunya akibat hukum (Syurūth an-nafādz) adalah syarat yang diperlukan bagi akad agar akad tersebut dapat dilaksanakan akibat hukumnya. Syarat-syarat tersebut adalah :

1)      Adanya kewenangan sempurna atas objek akad, kewenangan ini terpenuhi jika para pihak memiliki kewenangan sempurna atas objek akad,atau para pihak merupakan wakil dari pemilik objek yang mendapatkan kuasa dari pemiliknya atau pada objek tersebut tidak tersangkut hak orang lain.

2)      Adanya kewenangan atas tindakan hukum yang dilakukan, persyaratan ini terpenuhi dengan para pihak yang melakukan akad adalah mereka yang dipandang mencapai tingkat kecakapan bertindak hukum yang dibutuhkan.

3)      Syarat mengikat (Syurūth al-luzūm) sebuah akad yang sudah memenuhi rukun-rukunnya dan beberapa macam syarat sebagaimana yang dijelaskan diatas,belum tentu membuat akad tersebut dapat mengikat pihak-pihak yang telah melakukan akad.

4.      Macam-Macam Akad

a)      Aqad Munjiz yaitu akad yang dilaksanakan langsung pada waktu selesanya akad. Pernyataan akad akan diikuti dengan pelaksanaan akad ialah pernyataan yang tidak disertai dengan syarat-syarat dan tidak pula dikuti pula ditentukanya waktu pelaksanaan setelah adanya akad.

b)      ʻAqad Muʻalaq ialah akad yang didalamnya pelaksanaannya terdapat syarat-syarat yang telah ditentukan dalam akad, misalnya penentuan penyerahan barang-barang yang diakadkan setelah adanya pembayaran.

c)      ʻAqad Mudhāf ialah akad yang didalam pelaksanaanya terdapat syaratsyarat mengenai penanggulangan pelaksanaan akad, penyataan yang pelaksanaannya ditangguhkan hingga waktu yang ditentukan. Perkataan ini sah dilakukan pada akad, tetapi belum mempunyai akibat hukum sebelum tibanya waktu yang ditentukan.

 

5.      Sah dan Batalnya Akad

Ditinjau dari segi ini Para ulama fiqh mengemukakan bahwa akad itu dapat di bagi dan di lihat dari beberapa aspek. Jika di lihat dari ke absahannya menurut syara‟, akad di bagi menjadi dua, yakni :[5]

a)      Akad Shahīh

Akad Shahīh yakni akad yang telah memenuhi rukun-rukun dan syarat-syaratnya. Hukum dari akad Shahīh ini, berlakunya seluruh akibat hukum yang di timbulkan akad itu dan mengikat pada pihak-pihak yang berakad

b)      Akad tidak Shahīh

Akad yang tidak Shahīh yakni akad yang terdapat kekurangan pada rukun atau syarat-syaratnya, sehingga seluruh akibat hukum dalam akad itu tidak berlaku dan tidak mengikat pihak-pihak yang berakad


[1]Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), h. 68.

[2]Ibn Abidin, Radd Al-Mukhtar „Ala Dar Al-Mukhtar, Juz II, h. 355

[3]Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada , 2018, h.30

[4]Academia,”Makalah Fiqh Muamalah 1 Teori Akad dalam Perspektif Fiqh Muamalah”,diakseshttp://www.academia.edu/25949554/Makalah_Fiqih_Muamalah_1_Teori_Akad_dalam_Perspek tif_Fiqh_Muamalah, pada tanggal 23 Oktober  pukul 15:05 WIB.

[5]Ahmad Azhar Basyir, Asas-Asas Hukum Muamalat, (Yogyakarta : UII Pres, 1982), h. .65.

No comments:

Post a Comment

MAKALAH RIBA

  1.       Pengertian Riba Riba berasal dari bahasa arab yang artinya tambahan (زيادة ,(yang berarti tambahan pembayaran atas uang pokok ...