1.
Pengertian
Ijarah
Ijarah berasal dari kata al-ajru (upah) yang berarti al-iwadh (kompensasi).[1] Sayyid Sabiq, mengatakan bahwa secara syara’, ijarah merupakan akad pemindahan hak guna dari benda ataupun jasa
yang diiringi dengan pembayaran upah ataupun bayaran sewa tanpa diiringi dengan
perpindahan hak kepunyaan.[2] Ijarah
dalam makna lughat merupakan balasan,
tebusan, ataupun pahala. Bagi syara berarti melaksanakan akad mengambil khasiat
dari suatu yang ia terima dari orang lain dengan membayar selaras dengan apa
yang diperjanjikan. Karena sudah ditetetapkan dengan syarat- syarat tertentu
pula[3].
Ulama Syafi’iyah
berkomentar ijarah merupakan akad
atas sesuatu kemanfaatan yang memiliki iktikad tertentu serta mubah, dan menerima pengganti ataupun
kebolehan dengan pengganti tertentu. Ada pula ulama Malikiyyah serta Hanabilah
mengumakakan kalau ijarah merupakan
menjadikan kepunyaan sesuatu kemanfaatan yang mubah dalam waktu tertentu dengan
pengganti. Secara terminologi, terdapat sebagian definisi al-ijarah yang dikemukakan para ulama fiqih.
Bagi ulama
Syafi’iyah, ijarah merupakan akad atas sesuatu kemanfaatan dengan pengganti.
Bagi Syafi’i Antonio, ijarah
merupakan akad pemindahan hak guna atas benda ataupun jasa, lewat sewa tanpa
diiringi dengan pemindahan kepemilikan atas benda itu sendiri.[4]
Helmi Karim
menemukakan bahwa ijarah secara bahasa
berarti upah ataupun imbalan, karena itu lafadz
ijarah memiliki penafsiran universal
yang meliputi upah atas kemanfaatan sesuatu barang ataupun imbalan atas suatu
aktivitas ataupun upah sebab melaksanakan suatu.[5]
Sehingga dengan
demikian Ijarah merupakan sesuatu wujud muamalah yang mengaitkan kedua
belahpihak, yakni orang yang menyerahkan benda yang bisa dimanfaatkan kepada
orang yang bekerja guna diambil faedahnya dengan penggantian ataupun suatu
penukaran yang sudah ditetetapkan oleh syara’
tanpa diakhiri dengan kepemilikan. Ada dua jenis Ijarah dalam hukum islam yang
terdiri dari Ijarah yang berhubungan
dengan sewa jasa, ialah mempekerjakan jasa seorang dengan upah yang berupa
imbalan jasa yang disewa dan ijarah
yang berhubungan dengan sewa asset ataupun properti, ialah memindahkan hak buat
mengenakan dari asset tertentu kepada orang lain dengan imbalan bayaran sewa.[6]
2.
Dasar
Hukum Ijarah
Al-Ijarah merupakan akad yang di
perbolehkan, hal ini berlandaskan dalil-dalil yang terdapat pada Al-qur‟an,
Hadits maupun ijma ulama. Namun demikian terdapat ulama yang tidak
membolehkannya, diantaranya Abu Bakar Al Ashamm, Ismail bin‟Aliyah, Hasan Basri
dan lainnya, dengan alasan, jika di gunakan qiyas
(analog) akad al-Ijarah identik dengn ba‟i
al ma‟dum yang dilarang, manfaat sebagai objek tidak bisa dihadirkan ketika
akad, akan tetapi pendapat ini disanggah Ibnu Rusyd dengan mengatakan bahwa
walaupun manfaat tidak bisa dihadirkan ketika akad, namun akan bisa terpenuhi
ketika akad telah berjalan.[7]
Dasar-dasar
hukum atau rujukan Ijarah yang lazim digunakan para ulama adalah berdasarkan
pada Al-Qur‟an, Hadis dan Ijma’ sebagai
berikut:
a) Surat
Az-Zukhruf: 32
أَهُمْ يَقْسِمُونَ
رَحْمَتَ رَبِّكَ ۚ نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُم مَّعِيشَتَهُمْ فِى ٱلْحَيَوٰةِ
ٱلدُّنْيَا ۚ وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَٰتٍ لِّيَتَّخِذَ
بَعْضُهُم بَعْضًا سُخْرِيًّا ۗ وَرَحْمَتُ رَبِّكَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُونَ
Artinya : “Apakah mereka yang membagi-bagikan rahmat
tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan
dunia, dankami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain
beberapa derajat,agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain.
Dan rahmat tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”. (QS. Az-Zukhruf: 32).[8]
Lafadz “Sukhriyyan” yang tepat dalam
ayat di atas bermakna saling menggunakan. Namun pendapat Ibnu Katsir dalam buku
Pengantar Fiqih Muamalah karangan Diyamuddin Djuwaini , lafadz ini diartikan dengan supaya kalian saling mempergunakan satu
sama lain dalam hal pekerjaan atau yang lain. Terkadang manusia membutuhkan
sesuatu yang berada dalam kepemilikan orang lain, dengan demikian orang
tersebut bisa mempergunakan sesuatu itu dengan cara melakukan transaksi, salah
satunya adalah dengan Ijārah atau
upah-mengupah.
b)
Surat An-Naẖl
ayat 97 yang berbunyi;
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ
أُنْثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً ۖ
وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Artinya
: :“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan
dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan
yang baik dan Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala
yang lebih baik dari apa yangtelah mereka kerjakan.(QS An-Naẖl :97)”[9]
Di
dalam ayat ini menegaskan bahwa tidak ada diskriminasi upah dalam Islam, jika
mereka mengerjakan pekerjaan yang sama, dan Allah SWT akan memberikan imbalan
yang setimpal dan lebih baik dari apa yang mereka kerjakan.
c)
Surat Al-Qashash
ayat 26 yang berbunyi :
قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَا أَبَتِ
اسْتَأْجِرْهُ ۖ إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ
Artinya:“Salah seorang dari kedua wanita itu berkata:
"Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena
Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita)
ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.”(Q.S Al-Qashash ayat 26 )[10]
Ayat-ayat
ini berkisah tentang perjalanan Nabi Musa As bertemu dengan putri Nabi Ishaq,
salah seorang putrinya meminta Nabi Musa As untuk di sewa tenaganya guna
mengembala domba. Kemudian Nabi Ishaq mengatakan bahwa Nabi Musa As mampu
mengangkat batu yang hanya bisa diangkat oleh sepuluh orang, dan mengatakan
“karna sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil bekerja (pada kita)
ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya”. Cara ini menggambarkan proses
penyewaan jasa sesorang dan bagaimana pembiayaan upah itu dilakukan.
b.
Hadis
Hadis
adalah segala sesuatau yang diberitakan dari Nabi SAW, baik berupa sabda,
perbuatan, taqrir, sifat-sifat maupun
hal ihwal Nabi.[11]
Hadis adalah sumber kedua setelah Al- Qur‟an, dalam Hadis juga menyebutkan
sebutkan mengenai perihal yang berhubungan dengan dasar-dasar hukum Islam yang
dijadikan pedoman dalam berkegiatan bermuamalah yang salah satunya sewa-menyewa
manfaat atau (Ijārah) diantaranya
sebagia berikut ini:
أ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صلى الله عليه وسلمَعْطُوا الأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ
عَرَقُهُ (رواُ ابن ماِه)
Artinya : ”Dari Abdillah bin Umar ia berkata: Berkata Rasulullah SAW :
Berikan upah kepada pekerja sebelum keringatnya kering” (H.R Ibnu
Majah).[12]
c. Ijma’
Ulama telah sepakat tentang
kebolehan melakukan akad sewamenyewa. Para ulama sepakat bahwa Ijārah itu dibolehkan dan tidak ada
seorang ulama pun yang membantah kesepakatan (ijma’) ini. Jelaslah bahwa Allah SWT telah mensyariatkan Ijārah ini yang tujuannya untuk
kemaslahatan umat, dan tidak ada larangan untuk melakukan kegiatan Ijārah. Jadi, berdasarkan Al-Qur‟an, Sunnah (hadis) dan ijma’ tersebut di atas dapat ditegaskan bahwa hukum Ijārah atau sewa-menyewa boleh dilakukan
dalam Islam jika kegiatan tersebut sesuai dengan syara’.
d.
Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN)
Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional No.
09/DSN-MUI/IV/2000 Tanggal 13 April 2000 yang menetapkan bahwasanya :[13]
Pertama:
Rukun dan Syarat Ijārah:
1)
Sighat Ijārah,
yaitu ijab dan qabul berupa pernyataan dari kedua belah pihak yang berakad
(berkontrak), baik secara verbal atau dalam bentuk lain.
2)
Pihak-pihak yang berakad: terdiri atas pemberi
sewa/pemberi jasa dan penyewa/pengguna jasa.
3)
Obyek akad Ijārah
adalah
a)
manfaat barang dan sewa; atau
b)
manfaat jasa dan upah.
Kedua : Ketentuan Obyek Ijārah:
1)
Obyek Ijārah
adalah manfaat dari penggunaan barang dan/atau jasa.
2)
Manfaat barang atau jasa harus bisa dinilai dan
dapat dilaksanakan dalam kontrak.
3)
Manfaat barang atau jasa harus yang bersifat
dibolehkan (tidak diharamkan).
4)
Kesanggupan memenuhi manfaat harus nyata dan sesuai
dengan syari’ah.
5)
Manfaat harus dikenali secara spesifik
sedemikian rupa untuk menghilangkan jahalah (ketidaktahuan) yang akan
mengakibatkan sengketa.
6)
Spesifikasi manfaat harus dinyatakan dengan
jelas, termasuk jangka waktunya. Bisa juga dikenali dengan spesifikasi atau
identifikasi fisik.
7)
Sewa atau upah adalah sesuatu yang dijanjikan
dan dibayar nasabah kepada LKS sebagai pembayaran manfaat. Sesuatu yang dapat
dijadikan harga dalam jual beli dapat pula dijadikan sewa atau upah dalam Ijārah.
8)
Pembayaran sewa atau upah boleh berbentuk jasa
(manfaat lain) dari jenis yang sama dengan obyek kontrak.
9)
Kelenturan (flexibility)
dalam menentukan sewa atau upah dapat diwujudkan dalam ukuran waktu, tempat dan
jarak.
Ketiga : Kewajiban LKS dan
Nasabah dalam Pembiayaan Ijārah
1)
Kewajiban LKS sebagai pemberi manfaat barang
atau jasa: a
a)
Menyediakan barang yang disewakan atau jasa yang
diberikan.
b)
Menanggung biaya pemeliharaan barang.
c)
Menjamin bila terdapat cacat pada barang yang disewakan.
2)
Kewajiban nasabah sebagai penerima manfaat
barang atau jasa:
a)
Membayar sewa atau upah dan bertanggung jawab
untuk menjaga keutuhan barang serta menggunakannya sesuai kontrak.
b)
Menanggung biaya pemeliharaan barang yang
sifatnya ringan (tidak materiil).
c)
Jika barang yang disewa rusak, bukan karena
pelanggaran dari penggunaan yang dibolehkan, juga bukan karena kelalaian pihak
penerima manfaat dalam menjaganya, ia tidak bertanggung jawab atas kerusakan
tersebut.
Keempat : Jika salah satu pihak
tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para
pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah
tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.[14]
3.
Rukun dan Syarat Ijarah
a. Rukun Ijarah
Rukun Ijarah adalah adanya pihak yang menyewa (musta’jir), pihak yang menyewakan (mu’jir), ijab dan qabul (sighat), manfaat barang yang disewakan
dan upah. KHES menyebutkan dalam pasal 251 bahwa rukun Ijarah adalah : pihak yang menyewa, pihak yang menyewakan, benda
yang di Ijarahkan dan akad. Masing-masing rukun ini mempunyai syarat tertentu
yang akan dijelaskan dalam masalah syarat Ijarah.
Rukun merupakan sesuatu yang mesti ada dalam sebuah
akad atau transaksi. Tanpa rukun akad atau transaksi tidak sah. Rukun
sebagaimana yang telah dijelaskan Abdul Karim Zaidan dalam bukunya ‘al-Waiju fi Ushul Fiqh” bahwa rukun
adalah bagian dari Rukun merupakan sesuatu yang mesti ada dalam sebuah akad
atau transaksi. Tanpa rukun akad atau transaksi tidak sah. Rukun sebagaimana
yang telah dijelaskan Abdul Karim Zaidan dalam bukunya ‘al-Waiju fi Ushul Fiqh” bahwa rukun adalah bagian dari hakikat
sesuatu atau zatnya.[15]
Dalam melaksanakan suatu perjanjian terdapat rukun
dan syarat yang harus dipenuhi, dan jika rukun dan syarat tersebut tidak terpenuhi
maka perjanjian itu tidak sah hukumnya atau batal. Sama halnya dengan
sewa-menyewa (Ijārah) harus memenuhi
rukun dan syaratnya. Rukun dan syarat sewa-menyewa (Ijārah) telah diatur dalam hukum Islam. Jumhur ulama mengatakan
bahwa rukun Ijārah itu ada empat,
yakni, sebagai berikut:
1)
‘Aqid
(orang yang berakad) yang terdiri dari mu’jir
dan musta’jir. Mu’jir adalah yang mempunyai jasa, musta’jir adalah orang yang
menyewa jasa.
2)
Shighat
(ijab kabul) berupa pernyataan dari kedua belah pihak yang berakad baik secara
verbal atau dalam bentuk lain, atau akad perjanjian antara mu’jir dan
musta’jir.
3)
Ma’uqūd
‘alaih yakni barang atau benda yang disewakan.
4)
Ujrah
adalah upah atau imbalan sebagai bayaran (uang sewa).[16]
Sedangkan menurut hanafiyah rukun al-Ijarah hanya satu ijab dan qabul dari
kedua belah pihak yang bertansaksi.
b.
Syarat Ijarah
Sebagai sebuah transaksi umum, Ijārah baru dianggap sah apabila telah memenuhi rukun dan
syaratnya, sebagaimana yang berlaku secara umum dalam transaksi lainnya, dari
rukun Ijarah yang sudah dijelaskan di
atas, masing-masing rukun itu memiliki syarat-syarat sebagai berikut : [17]
1) Mu’jir dan Mustajir adalah dua orang yang melakukan akad sewa-menyewa atau
upah-mengupah. Mu’jir adalah yang
memberikan upah dan yang menyewakan, Musta’jir
adalah orang yang menerima upah untuk melakukan sesuatu dan menyewa sesuatu, di
syaratkan pada mujir dan mustajir adalah baligh, berakal, cakap,
melakukan tasharuf, (mengendalikan harta), dan saling meridhai Allah SWT.
Syarat ini didasarkan pada firman Allah SWT:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا
تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً
عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ ۚ وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ
بِكُمْ رَحِيمًا
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan
perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah
kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”(Q.S.
An-Nisᾱ’ (4); 29).[18]
Bagi
‘Aqid (orang yang berakad Ijārah) juga disyaratkan mengetahui
manfaat barang yang diakadkan dengan sempurna sehingga dapat mencegah
terjadinya perselisihan.
2) Shighat ijab kabul antara mu’jir dan musta’jir, ijab kabul sewa-menyewa dan upah mengupah, ijab kabul
sewamenyewa. Disyaratkan pada Shighat (ijab kabul) adalah :[19]
a)
Akad (perjanjian) harus dilakukan sebelum barang
yang disewa itu dipergunakan atau dimanfaatkan.
b)
Ijab kabul itu tidak disangkut pautkan dengan
urusan lain yakni antara penyewa dan yang menyewakan.
c)
Dalam Akad atau ijab kabul harus ditentukan
waktu sewanya, apakah seminggu atau sebulan atau setahun, dan seterusnya.
d)
Shighat,
disyaratkan berkesesuaian dan menyatunya majelis akad. Maka akad Ijārah tidak sah apabila antara ijab dan
kabul tidak berkesesuaian, seperti tidak berkesesuaian antara objek akad atau
batas waktu.
Misalnya
: “aku sewakan mobil ini kepadamu setiap hari Rp. 5.000,00”. maka musta’jir menjawab “aku terima sewa
mobil tersebut dengan harga demikian setiap hari”. Adapun ijab kabul
upah-mengupah, misalnya : seseorang berkata, “kuserahkan kebun ini kepadamu
untuk dicangkuli dengan upah setiap hari Rp. 5.000.00”, kemudian musta’jir menjawab “akan aku kerjakan
pekerjaan itu sesuai dengan apa yang engkau ucapkan”. Manfaat yang menjadi
objek al-Ijarah harus diketahui, sehingga tidak muncul perselisihan dikemudian
hari. Apabila manfaat yang menjadi objek yang tidak jelas, maka akadnya tidak
sah.
3)
Disyaratkan pada ma’uqūd ‘alaih (benda yang disewakan) adalah:[20]
a)
Objek yang disewakan harus dapat dimanfaatkan
kegunaanya.
b)
Barang yang disewakan harus diketahui jenis,
kadar dan sifatnya.
c)
Barang yang disewakan disyaratkan kekal ‘ain (zat)-nya hingga waktu yang
telah ditentukan menurut perjanjian dalam akad.
d)
Kesanggupan memenuhi manfaat harus nyata dan
sesuai dengan syariah.
e)
Objek yang disewakan dapat diserah terimakan
baik manfaat maupun bendanya.
f)
Diketahui jelas ukuran dan batas waktu Ijārah oleh kedua belah pihak agar
terhindar dari peselisihan.
g)
Benda dan Manfaat dari objek yang disewakan
harus sesuatu yang diperbolehkan agama.
h)
Perbuatan yang diupahkan bukan perbuatan yang
fardhu atau diwajibkan kepada mu’jir
(penyewa), seperti shalat, puasa, haji, imamah
sholat, azan dan Iqamah.
4)
Disyaratkan pada ujrah (upah) adalah:[21]
a)
Upah/imbalan berupa benda yang diketahui yang
dibolehkan memanfaatkannya (Mal
Mutaqawwim). Dalam hadis Nabi SAW dijelaskan:
Artinya:
Dari Abu Hurairah dan Abu Said keduanya berkata:“siapa yang melakukan upah
mengupah maka hendaklah ia ketahui upahnya.”
b)
Upah/imbalan tidak disyaratkan dari jenis yang
diakadkan. Misalnya sewa rumah dengan sebuah rumah. Upah mengerjakan sawah
dengan sebidang sawah. Syarat seperti ini sama dengan riba.
c)
Bisa membawa manfaat yang jelas. Seperti
menempati rumah, melayani seseorang mengajarkan suatu ilmu, dan lain
sebagainya.
d)
Tidak berkurang nilainya berupa harta tetap yang
dapat diketahui.
e)
Kelenturan (fexibility)
dalam menentukan sewa atau upah dapat diwujudkan dalam ukuran waktu, tempat dan
jarak.
4.
Macam-macam Ijarah
Akad Ijarah dilihat dari segi objeknya menurut ulama
fikih dibagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu : [22]
a) Ijarah yang bersifat manfaat, pada Ijarah ini benda atau barang yang
disewakan harus memiliki manfaat. Misalnya, sewa-menyewa rumah tanah pertanian,
kendaraan, pakaian, perhiasan, lahan kosong yang di bangun pertokoan dan
sebagainya. Dalam hal ini Musta’jir
mempunyai benda-benda tertentu dan Musta’jir
butuh benda tersebut dan terjadi kesepakatan antara keduanya, dimana Mu’jir mendapat imbalan tertentu dari Musta’jir, dan Musta’jir mendapat manfaat dari benda tersebut. Apabila manfaat itu
dibolehkan Syara’ untuk dipergunakan,
maka para ulama fiqih sepakat
menyatakan boleh dijadikan akad sewa-menyewa.
b) Ijarah
yang bersifat pekerjaan, pada Ijarah
ini seseorang mempekerjakan untuk melakukan suatu pekerjaan, dan hukumnya boleh
apabila jenis pekerjaannya jelas dan tidak mengundang unsur tipuan. Seperti
tukang jahit, tukang dan kuli bangunan, buruh pabrik, dan sebagainya. Ijarah
seperti ini ada yang bersifat pribadi, seperti menggaji guru mengaji Al-Qur‟an,
pembantu rumah tangga, dan ada yang bersifat kerjsama, yaitu seseorang atau
sekelompok orang yang menjualkan jasanya untuk kepentingan orang banyak.,
seperti buruh pabrik, tukang sepatu dan tukang jahit. Ijarah ada dua jenis yaitu Ijarah atas manfaat yaitu Ijarah yang objek akadnya (ma‟qud alaih) adalah manfaat, dan Ijarah atas pekerjaan yaitu objek
akadnya adalah pekerjaan.
Adapun
pada saat ini perkembangan dalam bidang muamalah, maka jenisnya pun sanga beragam,
diantaranya:
1)
Mengajarkan Al-Qur’an
Pada saat ini para fuqaha menyatakan bahwa boleh mengambil
upah dari pengajaran Al-Qur‟an dan ilmu-ilmu syari‟ah lainnya, karena para guru
membutuhkan penunjang kehidupan mereka dan meringkan beban tanggungannya,
karena tenaga dan waktunya sudah diluangkan untuk mengajarkan kepada muridnya,
maka dari itu diperbolehkan memberikan kepada mereka suatu imbalan dari
pengajaran ini.
2)
Menyewakan tanah
Menyewakan tanah diperbolehkan dan disyariatkan
menjelaskan kegunaan tanah yang disewa, jenis tanaman yang ditanam diatas tanah
tersebut. Terkecuali yang tidak dikehendaki oleh pemilih tanah, contohnya ada
tanaman tertentu yang tidak diperbolehkan. Hal ini berdasarkan dengan
dikesepakatan diawal perjanjian.
3)
Sewa-menyewa kendaraan
Menyewakan kendaraan diperbolehkan dengan syarat yang
jelas waktu tempo yang telah disepakati oleh kedua belah pihak yang
bersangkutan. Disyaratkan pula keguanaan kendaraan tersebut akan dipergunakan
untuk mengangkut barang atau digunakan hanya sekedar untuk melakukan aktivitas
sehari-hari si penyewa
4)
Sewa-menyewa rumah
Rumah yang menjadi objek sewaan adalah untuk tempat
tinggal oleh penyewa, atau si penyewa menyuruh orang lain untuk menempatinya
dengan cara meminjamkan atau menyewakan kembali, diperbolehkan dengan syarat
pihak penyewa tidak merusak. Selain itu pihak penyewa mempunyai kewajiban untuk
memelihara rumah tersebut, sesuai sebagaimana rumah tersebut dihuni.
5)
Pemburuan
Selain sewa-menyewa barang, sebagai mana yang telah
diutarakan diatas, maka ada pula persewaan tenaga yang lazim disebut
perburuhan. Buruh adalah orang yang menyewakan tenaganya kepada orang lain
untuk dikaryakan berdasarkan kemampuannnya dalam suatu pekerjaan.
5.
Kewajiban
dan Hak Masing-masing Pihak
a.
Kewajiban pemberian kerja dan buruh
Pada dasarnya semua yang dipekerjakan untuk pribadi dan
kelompok harus mempertanggung jawabkan pekerjaan masing-masing apabila terjadi
kerusakan atau kehilangan, maka dilihat dari permasalahannya. Apakah ada
unsur-unsur kelalaian atau disengaja maka ia harus bertanggungjawab atas
kerusakan yang disebabkan atas kelalaian baik di dengan cara mengganti atau
dengan kebijakan lain.
Pemberi kerja berkewajiban untuk memberikan upah kepada
pekerja atas apa yang telah ia kerjakan, sesuai dengan apa yang telah
disepakati sebelumnya. Selain itu ada hal yang tidak boleh dikesampingkan
yakni, memperlakukan pekerja dangan baik serta berbuat adil dalam pemberian
upah. Begitu juga dengan buruh pekerja yang harus bertanggung jawab atas
pekerjaan yang telah diberikan oleh pemberi kerja kepada dirinya dan
menyeselasaikan perkerjaanya dengan baik sesuai dengan apa yang diperintahkan
menjual jasa untuk kepentingan orang banyak seperti tukang jahit dan kuli
Angkut Barang ,maka ulama berbeda pendapat.
Imam Abu Hanifah, Zufar Bin Huzail dan Safi’i berpendapat,
bahwa apabila kerusaka itu bukan karena unsur kesenghajaandan kelalaian, maka
pekerja itu dituntut ganti rugi. Abu Yusuf dan Muhammad Bin Hasan Asy-Syaibani
(murit abu hanifah), berpendapat bahwa pekerja itu ikut bertanggung jawab atas
kerusakan tersebut, baik sengaja maupun tidak. Berbeda dengan kerusakan itu
diluar batas kemampuanya seperti banjir besar atau kebakaran.
Menurut mazhab Maliki apabila sifat pekerjaan itu membekas
pada barang itu seperti barang binatu, juru masak, buruh angkut (kuli), maka
baik senghaja atau tidak senghaja segla kerusakan menjadi tanggnga jawab
pekerja itu wajib ganti rugi.[23]
b.
Hak pemberi kerja dan buruh
Setiap orang melakukan perikatan dengan pihak lain itu
harus berdasarkan ketentuan dan memenuhi hak masing-masing, yakni
1)
Pemberi kerja haru memberikan upah dan buru
berhak menerima upah.
2)
Pemberi kerja berhak menuntut buruh apabila
pekerja tidak menyelesaikan perkerjaanya yang seharusnya ia kerjakan sesuai
dengan yang diharapkan oleh pemberi kerja, sedangkan upahnya sudah ia terima
dan pekerja (buruh) wajib menyelesaikan pekerjanya.
3)
Pemberi kerja harus adil dalam memperkerjakan
buruh dan memenuhi hak-hak antara kedua belah pihak.
4)
Memungkinkan manfaat jika masanya berlangsung,
ia memungkinkan mendatangkan manfaat pada masa itu sekalipun tidak terpenuhi
keseluruhanya.
5)
Mengalirnya manfaat jika Ijārah untuk barang apabila terdapat kerusakan pada barang sebelum
dimanfaatkan dan sedikitpun belum ada waktu yang berlalu, maka Ijārah tersebut batal.
6)
Mempercepat dalam bentuk pelayanan atau
kesepakatan kedua belah pihak sesuai dengan syarat, seperti mempercepat
bayaran.[24]
6.
Ijarah Dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES)
Pandangan Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah (KHES)
Pasal 20 (9) terhadap Ijārah, bahwa Ijārah adalah suatu bentuk kegiatan sewa
menyewa barang yang telah ditentukan jangka waktunya dengan sistem pembayaran
yang ditangguhkan.[25]
Dengan demikian al-Ijārah merupakan suatu kegiatan muamalah untuk memenuhi kebutuhan
manusia dalam bentuk sewa menyewa barang atau jasa yang diambil manfaatnya yang
nanti akan mendapatkan ganti atau upah dari hasil manfaat tersebut tanpa
berpindah kepemilikan. Dalam sebuah Negara Islam, prinsip sewa tanah harus berdasarkan
prinsip “keadilan” dan “kemurahan hati”. Penentu dasar atas sewa tanah ini
harus dimiliki agar tidak merugikan satu sama lain. Keadilan pada prinsip ini
adalah sewa yang dibebankan kepada petani penggarap sesuai dengan kemampuan
mereka untuk membayar sehingga mereka merasa bahagia dan puas, dengan demikian
harus bekerja dengan sungguh-sungguh untuk meningkatkan produktivitas tanah
tersebut. Sedangkan kemurahan hati yaitu sewa yang hanya akan dipungut ketika
yang mereka hasilkan melebihi di atas kebutuhan mereka.[26]
[1]Rachmat
Syafe’i, Fiqh Muamalah, CV.Pustaka
Setia : Bandung, 2001, h 121
[2]Suhrawardi
K Lubis, Farid Wadji, Hukum Ekonomi
Islam, PT. Sinar Grafika : 2014, h. 156
[3]Nasrun
Haroen, Fiqih Muamalah, Gaya Media
Pratama, Jakarta, 2000, h. 228
[4]Rachmat
Syafe’i, Fiqh Muamalah,..., h.121-122
[5]Gufron
A.Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual,
PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, h. 181
[6]Acara,
Akad Dan Produk Bank Syariah,
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008, h.99.
[7]Syifa
Kamilatussholihah, (Praktek Ijarah Studi di Koperasi Syari’ah Bina Muamalah
Ta’awun Kota Bekasi),UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten,2018. h. 45
[8]Yayasan
Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an, Mushaf Al-Qur’an ....., h.491
[12]Al-„Asqalani, Al-Hafidz bin Hajar, Bulughul Maram, Indonesia: Darul Ahya Al-Kitab Al-Arabiyah, h. 301.
[17]Nasrun
Haroen, Fiqih Muamalah, Gaya Media
Pratama, Jakarta, 2000, h. 228
[19]Mardani,
Hukum Perikatan Syariah di Indonesia
(Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 155.
[20]Rozalinda,
Fikih Syariah Ekonomi (Pripsip dan
Implementasinya Pada Sektor Keuangan Syariah), (Jakarta: PT Grafindo
Persada, 2016), h. 132.
[22]Gufron
A.Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual,
PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, h. 181
[25]Pasal
20 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES), h. 65
[26]Afzalur
Rahman, Doktrin Ekonomi Islam
(Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf, 1995), 178.
No comments:
Post a Comment