Followers

Monday, July 11, 2022

MAKALAH IJARAH

 

1.      Pengertian Ijarah

Ijarah berasal dari kata al-ajru (upah) yang berarti al-iwadh (kompensasi).[1]  Sayyid Sabiq, mengatakan bahwa secara syara’, ijarah merupakan akad pemindahan hak guna dari benda ataupun jasa yang diiringi dengan pembayaran upah ataupun bayaran sewa tanpa diiringi dengan perpindahan hak kepunyaan.[2]  Ijarah dalam makna lughat merupakan balasan, tebusan, ataupun pahala. Bagi syara berarti melaksanakan akad mengambil khasiat dari suatu yang ia terima dari orang lain dengan membayar selaras dengan apa yang diperjanjikan. Karena sudah ditetetapkan dengan syarat- syarat tertentu pula[3].

Ulama Syafi’iyah berkomentar ijarah merupakan akad atas sesuatu kemanfaatan yang memiliki iktikad tertentu serta mubah, dan menerima pengganti ataupun kebolehan dengan pengganti tertentu. Ada pula ulama Malikiyyah serta Hanabilah mengumakakan kalau ijarah merupakan menjadikan kepunyaan sesuatu kemanfaatan yang mubah dalam waktu tertentu dengan pengganti. Secara terminologi, terdapat sebagian definisi al-ijarah yang dikemukakan para ulama fiqih.

Bagi ulama Syafi’iyah, ijarah merupakan akad atas sesuatu kemanfaatan dengan pengganti. Bagi Syafi’i Antonio, ijarah merupakan akad pemindahan hak guna atas benda ataupun jasa, lewat sewa tanpa diiringi dengan pemindahan kepemilikan atas benda itu sendiri.[4]

Helmi Karim menemukakan bahwa ijarah secara bahasa berarti upah ataupun imbalan, karena itu lafadz ijarah memiliki penafsiran universal yang meliputi upah atas kemanfaatan sesuatu barang ataupun imbalan atas suatu aktivitas ataupun upah sebab melaksanakan suatu.[5]

Sehingga dengan demikian Ijarah merupakan sesuatu wujud muamalah yang mengaitkan kedua belahpihak, yakni orang yang menyerahkan benda yang bisa dimanfaatkan kepada orang yang bekerja guna diambil faedahnya dengan penggantian ataupun suatu penukaran yang sudah ditetetapkan oleh syara’ tanpa diakhiri dengan kepemilikan. Ada dua jenis Ijarah dalam hukum islam yang terdiri dari Ijarah yang berhubungan dengan sewa jasa, ialah mempekerjakan jasa seorang dengan upah yang berupa imbalan jasa yang disewa dan ijarah yang berhubungan dengan sewa asset ataupun properti, ialah memindahkan hak buat mengenakan dari asset tertentu kepada orang lain dengan imbalan bayaran sewa.[6]

2.      Dasar Hukum Ijarah

Al-Ijarah merupakan akad yang di perbolehkan, hal ini berlandaskan dalil-dalil yang terdapat pada Al-qur‟an, Hadits maupun ijma ulama. Namun demikian terdapat ulama yang tidak membolehkannya, diantaranya Abu Bakar Al Ashamm, Ismail bin‟Aliyah, Hasan Basri dan lainnya, dengan alasan, jika di gunakan qiyas (analog) akad al-Ijarah identik dengn ba‟i al ma‟dum yang dilarang, manfaat sebagai objek tidak bisa dihadirkan ketika akad, akan tetapi pendapat ini disanggah Ibnu Rusyd dengan mengatakan bahwa walaupun manfaat tidak bisa dihadirkan ketika akad, namun akan bisa terpenuhi ketika akad telah berjalan.[7]

Dasar-dasar hukum atau rujukan Ijarah yang lazim digunakan para ulama adalah berdasarkan pada Al-Qur‟an, Hadis dan Ijma’ sebagai berikut:

a)      Surat Az-Zukhruf: 32

أَهُمْ يَقْسِمُونَ رَحْمَتَ رَبِّكَ ۚ نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُم مَّعِيشَتَهُمْ فِى ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا ۚ وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَٰتٍ لِّيَتَّخِذَ بَعْضُهُم بَعْضًا سُخْرِيًّا ۗ وَرَحْمَتُ رَبِّكَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُونَ

Artinya : “Apakah mereka yang membagi-bagikan rahmat tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dankami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat,agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”. (QS. Az-Zukhruf: 32).[8]

 

            Lafadz “Sukhriyyan” yang tepat dalam ayat di atas bermakna saling menggunakan. Namun pendapat Ibnu Katsir dalam buku Pengantar Fiqih Muamalah karangan Diyamuddin Djuwaini , lafadz ini diartikan dengan supaya kalian saling mempergunakan satu sama lain dalam hal pekerjaan atau yang lain. Terkadang manusia membutuhkan sesuatu yang berada dalam kepemilikan orang lain, dengan demikian orang tersebut bisa mempergunakan sesuatu itu dengan cara melakukan transaksi, salah satunya adalah dengan Ijārah atau upah-mengupah.

 

b)      Surat An-Naẖl ayat 97 yang berbunyi;

 

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً ۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Artinya : :“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yangtelah mereka kerjakan.(QS An-Naẖl :97)”[9]

 

            Di dalam ayat ini menegaskan bahwa tidak ada diskriminasi upah dalam Islam, jika mereka mengerjakan pekerjaan yang sama, dan Allah SWT akan memberikan imbalan yang setimpal dan lebih baik dari apa yang mereka kerjakan.

c)      Surat Al-Qashash ayat 26 yang berbunyi :

قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَا أَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ ۖ إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ

Artinya:“Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.”(Q.S Al-Qashash ayat 26 )[10]

 

            Ayat-ayat ini berkisah tentang perjalanan Nabi Musa As bertemu dengan putri Nabi Ishaq, salah seorang putrinya meminta Nabi Musa As untuk di sewa tenaganya guna mengembala domba. Kemudian Nabi Ishaq mengatakan bahwa Nabi Musa As mampu mengangkat batu yang hanya bisa diangkat oleh sepuluh orang, dan mengatakan “karna sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya”. Cara ini menggambarkan proses penyewaan jasa sesorang dan bagaimana pembiayaan upah itu dilakukan.

b.      Hadis

            Hadis adalah segala sesuatau yang diberitakan dari Nabi SAW, baik berupa sabda, perbuatan, taqrir, sifat-sifat maupun hal ihwal Nabi.[11] Hadis adalah sumber kedua setelah Al- Qur‟an, dalam Hadis juga menyebutkan sebutkan mengenai perihal yang berhubungan dengan dasar-dasar hukum Islam yang dijadikan pedoman dalam berkegiatan bermuamalah yang salah satunya sewa-menyewa manfaat atau (Ijārah) diantaranya sebagia berikut ini:

أ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلمَعْطُوا الأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ (رواُ ابن ماِه)

Artinya : ”Dari Abdillah bin Umar ia berkata: Berkata Rasulullah SAW :
Berikan upah kepada pekerja sebelum keringatnya kering” (H.R Ibnu
Majah).[12]

c.       Ijma’

            Ulama telah sepakat tentang kebolehan melakukan akad sewamenyewa. Para ulama sepakat bahwa Ijārah itu dibolehkan dan tidak ada seorang ulama pun yang membantah kesepakatan (ijma’) ini. Jelaslah bahwa Allah SWT telah mensyariatkan Ijārah ini yang tujuannya untuk kemaslahatan umat, dan tidak ada larangan untuk melakukan kegiatan Ijārah. Jadi, berdasarkan Al-Qur‟an, Sunnah (hadis) dan ijma’ tersebut di atas dapat ditegaskan bahwa hukum Ijārah atau sewa-menyewa boleh dilakukan dalam Islam jika kegiatan tersebut sesuai dengan syara’.

d.      Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN)

            Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional No. 09/DSN-MUI/IV/2000 Tanggal 13 April 2000 yang menetapkan bahwasanya :[13]

Pertama: Rukun dan Syarat Ijārah:

1)      Sighat Ijārah, yaitu ijab dan qabul berupa pernyataan dari kedua belah pihak yang berakad (berkontrak), baik secara verbal atau dalam bentuk lain.

2)      Pihak-pihak yang berakad: terdiri atas pemberi sewa/pemberi jasa dan penyewa/pengguna jasa.

3)      Obyek akad Ijārah adalah

a)      manfaat barang dan sewa; atau

b)      manfaat jasa dan upah.

Kedua : Ketentuan Obyek Ijārah:

1)      Obyek Ijārah adalah manfaat dari penggunaan barang dan/atau jasa.

2)      Manfaat barang atau jasa harus bisa dinilai dan dapat dilaksanakan dalam kontrak.

3)      Manfaat barang atau jasa harus yang bersifat dibolehkan (tidak diharamkan).

4)      Kesanggupan memenuhi manfaat harus nyata dan sesuai dengan syari’ah.

5)      Manfaat harus dikenali secara spesifik sedemikian rupa untuk menghilangkan jahalah (ketidaktahuan) yang akan mengakibatkan sengketa.

6)      Spesifikasi manfaat harus dinyatakan dengan jelas, termasuk jangka waktunya. Bisa juga dikenali dengan spesifikasi atau identifikasi fisik.

7)      Sewa atau upah adalah sesuatu yang dijanjikan dan dibayar nasabah kepada LKS sebagai pembayaran manfaat. Sesuatu yang dapat dijadikan harga dalam jual beli dapat pula dijadikan sewa atau upah dalam Ijārah.

8)      Pembayaran sewa atau upah boleh berbentuk jasa (manfaat lain) dari jenis yang sama dengan obyek kontrak.

9)      Kelenturan (flexibility) dalam menentukan sewa atau upah dapat diwujudkan dalam ukuran waktu, tempat dan jarak.

Ketiga : Kewajiban LKS dan Nasabah dalam Pembiayaan Ijārah

1)      Kewajiban LKS sebagai pemberi manfaat barang atau jasa: a

a)      Menyediakan barang yang disewakan atau jasa yang diberikan.

b)      Menanggung biaya pemeliharaan barang.

c)      Menjamin bila terdapat cacat pada barang yang disewakan.

2)      Kewajiban nasabah sebagai penerima manfaat barang atau jasa:

a)      Membayar sewa atau upah dan bertanggung jawab untuk menjaga keutuhan barang serta menggunakannya sesuai kontrak.

b)      Menanggung biaya pemeliharaan barang yang sifatnya ringan (tidak materiil).

c)      Jika barang yang disewa rusak, bukan karena pelanggaran dari penggunaan yang dibolehkan, juga bukan karena kelalaian pihak penerima manfaat dalam menjaganya, ia tidak bertanggung jawab atas kerusakan tersebut.

Keempat : Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.[14]

3.      Rukun dan Syarat Ijarah

a.       Rukun Ijarah

Rukun Ijarah adalah adanya pihak yang menyewa (musta’jir), pihak yang menyewakan (mu’jir), ijab dan qabul (sighat), manfaat barang yang disewakan dan upah. KHES menyebutkan dalam pasal 251 bahwa rukun Ijarah adalah : pihak yang menyewa, pihak yang menyewakan, benda yang di Ijarahkan dan akad. Masing-masing rukun ini mempunyai syarat tertentu yang akan dijelaskan dalam masalah syarat Ijarah.

Rukun merupakan sesuatu yang mesti ada dalam sebuah akad atau transaksi. Tanpa rukun akad atau transaksi tidak sah. Rukun sebagaimana yang telah dijelaskan Abdul Karim Zaidan dalam bukunya ‘al-Waiju fi Ushul Fiqh” bahwa rukun adalah bagian dari Rukun merupakan sesuatu yang mesti ada dalam sebuah akad atau transaksi. Tanpa rukun akad atau transaksi tidak sah. Rukun sebagaimana yang telah dijelaskan Abdul Karim Zaidan dalam bukunya ‘al-Waiju fi Ushul Fiqh” bahwa rukun adalah bagian dari hakikat sesuatu atau zatnya.[15]

Dalam melaksanakan suatu perjanjian terdapat rukun dan syarat yang harus dipenuhi, dan jika rukun dan syarat tersebut tidak terpenuhi maka perjanjian itu tidak sah hukumnya atau batal. Sama halnya dengan sewa-menyewa (Ijārah) harus memenuhi rukun dan syaratnya. Rukun dan syarat sewa-menyewa (Ijārah) telah diatur dalam hukum Islam. Jumhur ulama mengatakan bahwa rukun Ijārah itu ada empat, yakni, sebagai berikut:

1)      Aqid (orang yang berakad) yang terdiri dari mu’jir dan musta’jir. Mu’jir adalah yang mempunyai jasa, musta’jir adalah orang yang menyewa jasa.

2)      Shighat (ijab kabul) berupa pernyataan dari kedua belah pihak yang berakad baik secara verbal atau dalam bentuk lain, atau akad perjanjian antara mu’jir dan musta’jir.

3)      Ma’uqūd ‘alaih yakni barang atau benda yang disewakan.

4)      Ujrah adalah upah atau imbalan sebagai bayaran (uang sewa).[16]

Sedangkan menurut hanafiyah rukun al-Ijarah hanya satu ijab dan qabul dari kedua belah pihak yang bertansaksi.

b.      Syarat Ijarah

Sebagai sebuah transaksi umum, Ijārah baru dianggap sah apabila telah memenuhi rukun dan syaratnya, sebagaimana yang berlaku secara umum dalam transaksi lainnya, dari rukun Ijarah yang sudah dijelaskan di atas, masing-masing rukun itu memiliki syarat-syarat sebagai berikut : [17]

1)      Mu’jir dan Mustajir adalah dua orang yang melakukan akad sewa-menyewa atau upah-mengupah. Mu’jir adalah yang memberikan upah dan yang menyewakan, Musta’jir adalah orang yang menerima upah untuk melakukan sesuatu dan menyewa sesuatu, di syaratkan pada mujir dan mustajir adalah baligh, berakal, cakap, melakukan tasharuf, (mengendalikan harta), dan saling meridhai Allah SWT. Syarat ini didasarkan pada firman Allah SWT:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ ۚ وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”(Q.S. An-Nisᾱ’ (4); 29).[18]

 

            Bagi ‘Aqid (orang yang berakad Ijārah) juga disyaratkan mengetahui manfaat barang yang diakadkan dengan sempurna sehingga dapat mencegah terjadinya perselisihan.

2)      Shighat ijab kabul antara mu’jir dan musta’jir, ijab kabul sewa-menyewa dan upah mengupah, ijab kabul sewamenyewa. Disyaratkan pada Shighat (ijab kabul) adalah :[19]

a)      Akad (perjanjian) harus dilakukan sebelum barang yang disewa itu dipergunakan atau dimanfaatkan.

b)      Ijab kabul itu tidak disangkut pautkan dengan urusan lain yakni antara penyewa dan yang menyewakan.

c)      Dalam Akad atau ijab kabul harus ditentukan waktu sewanya, apakah seminggu atau sebulan atau setahun, dan seterusnya.

d)     Shighat, disyaratkan berkesesuaian dan menyatunya majelis akad. Maka akad Ijārah tidak sah apabila antara ijab dan kabul tidak berkesesuaian, seperti tidak berkesesuaian antara objek akad atau batas waktu.

            Misalnya : “aku sewakan mobil ini kepadamu setiap hari Rp. 5.000,00”. maka musta’jir menjawab “aku terima sewa mobil tersebut dengan harga demikian setiap hari”. Adapun ijab kabul upah-mengupah, misalnya : seseorang berkata, “kuserahkan kebun ini kepadamu untuk dicangkuli dengan upah setiap hari Rp. 5.000.00”, kemudian musta’jir menjawab “akan aku kerjakan pekerjaan itu sesuai dengan apa yang engkau ucapkan”. Manfaat yang menjadi objek al-Ijarah harus diketahui, sehingga tidak muncul perselisihan dikemudian hari. Apabila manfaat yang menjadi objek yang tidak jelas, maka akadnya tidak sah.

3)      Disyaratkan pada ma’uqūd ‘alaih (benda yang disewakan) adalah:[20]

a)      Objek yang disewakan harus dapat dimanfaatkan kegunaanya.

b)      Barang yang disewakan harus diketahui jenis, kadar dan sifatnya.

c)      Barang yang disewakan disyaratkan kekal ‘ain (zat)-nya hingga waktu yang telah ditentukan menurut perjanjian dalam akad.

d)     Kesanggupan memenuhi manfaat harus nyata dan sesuai dengan syariah.

e)      Objek yang disewakan dapat diserah terimakan baik manfaat maupun bendanya.

f)       Diketahui jelas ukuran dan batas waktu Ijārah oleh kedua belah pihak agar terhindar dari peselisihan.

g)      Benda dan Manfaat dari objek yang disewakan harus sesuatu yang diperbolehkan agama.

h)      Perbuatan yang diupahkan bukan perbuatan yang fardhu atau diwajibkan kepada mu’jir (penyewa), seperti shalat, puasa, haji, imamah sholat, azan dan Iqamah.

4)      Disyaratkan pada ujrah (upah) adalah:[21]

a)      Upah/imbalan berupa benda yang diketahui yang dibolehkan memanfaatkannya (Mal Mutaqawwim). Dalam hadis Nabi SAW dijelaskan:

Artinya: Dari Abu Hurairah dan Abu Said keduanya berkata:“siapa yang melakukan upah mengupah maka hendaklah ia ketahui upahnya.”

 

b)      Upah/imbalan tidak disyaratkan dari jenis yang diakadkan. Misalnya sewa rumah dengan sebuah rumah. Upah mengerjakan sawah dengan sebidang sawah. Syarat seperti ini sama dengan riba.

c)      Bisa membawa manfaat yang jelas. Seperti menempati rumah, melayani seseorang mengajarkan suatu ilmu, dan lain sebagainya.

d)     Tidak berkurang nilainya berupa harta tetap yang dapat diketahui.

e)      Kelenturan (fexibility) dalam menentukan sewa atau upah dapat diwujudkan dalam ukuran waktu, tempat dan jarak.

4.      Macam-macam Ijarah

Akad Ijarah dilihat dari segi objeknya menurut ulama fikih dibagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu : [22]

a)      Ijarah yang bersifat manfaat, pada Ijarah ini benda atau barang yang disewakan harus memiliki manfaat. Misalnya, sewa-menyewa rumah tanah pertanian, kendaraan, pakaian, perhiasan, lahan kosong yang di bangun pertokoan dan sebagainya. Dalam hal ini Musta’jir mempunyai benda-benda tertentu dan Musta’jir butuh benda tersebut dan terjadi kesepakatan antara keduanya, dimana Mu’jir mendapat imbalan tertentu dari Musta’jir, dan Musta’jir mendapat manfaat dari benda tersebut. Apabila manfaat itu dibolehkan Syara’ untuk dipergunakan, maka para ulama fiqih sepakat menyatakan boleh dijadikan akad sewa-menyewa.

b)      Ijarah yang bersifat pekerjaan, pada Ijarah ini seseorang mempekerjakan untuk melakukan suatu pekerjaan, dan hukumnya boleh apabila jenis pekerjaannya jelas dan tidak mengundang unsur tipuan. Seperti tukang jahit, tukang dan kuli bangunan, buruh pabrik, dan sebagainya. Ijarah seperti ini ada yang bersifat pribadi, seperti menggaji guru mengaji Al-Qur‟an, pembantu rumah tangga, dan ada yang bersifat kerjsama, yaitu seseorang atau sekelompok orang yang menjualkan jasanya untuk kepentingan orang banyak., seperti buruh pabrik, tukang sepatu dan tukang jahit. Ijarah ada dua jenis yaitu Ijarah atas manfaat yaitu Ijarah yang objek akadnya (ma‟qud alaih) adalah manfaat, dan Ijarah atas pekerjaan yaitu objek akadnya adalah pekerjaan.

            Adapun pada saat ini perkembangan dalam bidang muamalah, maka jenisnya pun sanga beragam, diantaranya:

1)      Mengajarkan Al-Qur’an

Pada saat ini para fuqaha menyatakan bahwa boleh mengambil upah dari pengajaran Al-Qur‟an dan ilmu-ilmu syari‟ah lainnya, karena para guru membutuhkan penunjang kehidupan mereka dan meringkan beban tanggungannya, karena tenaga dan waktunya sudah diluangkan untuk mengajarkan kepada muridnya, maka dari itu diperbolehkan memberikan kepada mereka suatu imbalan dari pengajaran ini.

2)      Menyewakan tanah

Menyewakan tanah diperbolehkan dan disyariatkan menjelaskan kegunaan tanah yang disewa, jenis tanaman yang ditanam diatas tanah tersebut. Terkecuali yang tidak dikehendaki oleh pemilih tanah, contohnya ada tanaman tertentu yang tidak diperbolehkan. Hal ini berdasarkan dengan dikesepakatan diawal perjanjian.

3)      Sewa-menyewa kendaraan

Menyewakan kendaraan diperbolehkan dengan syarat yang jelas waktu tempo yang telah disepakati oleh kedua belah pihak yang bersangkutan. Disyaratkan pula keguanaan kendaraan tersebut akan dipergunakan untuk mengangkut barang atau digunakan hanya sekedar untuk melakukan aktivitas sehari-hari si penyewa

4)      Sewa-menyewa rumah

Rumah yang menjadi objek sewaan adalah untuk tempat tinggal oleh penyewa, atau si penyewa menyuruh orang lain untuk menempatinya dengan cara meminjamkan atau menyewakan kembali, diperbolehkan dengan syarat pihak penyewa tidak merusak. Selain itu pihak penyewa mempunyai kewajiban untuk memelihara rumah tersebut, sesuai sebagaimana rumah tersebut dihuni.

5)      Pemburuan

Selain sewa-menyewa barang, sebagai mana yang telah diutarakan diatas, maka ada pula persewaan tenaga yang lazim disebut perburuhan. Buruh adalah orang yang menyewakan tenaganya kepada orang lain untuk dikaryakan berdasarkan kemampuannnya dalam suatu pekerjaan.

5.      Kewajiban dan Hak Masing-masing Pihak

a.       Kewajiban pemberian kerja dan buruh

Pada dasarnya semua yang dipekerjakan untuk pribadi dan kelompok harus mempertanggung jawabkan pekerjaan masing-masing apabila terjadi kerusakan atau kehilangan, maka dilihat dari permasalahannya. Apakah ada unsur-unsur kelalaian atau disengaja maka ia harus bertanggungjawab atas kerusakan yang disebabkan atas kelalaian baik di dengan cara mengganti atau dengan kebijakan lain.

Pemberi kerja berkewajiban untuk memberikan upah kepada pekerja atas apa yang telah ia kerjakan, sesuai dengan apa yang telah disepakati sebelumnya. Selain itu ada hal yang tidak boleh dikesampingkan yakni, memperlakukan pekerja dangan baik serta berbuat adil dalam pemberian upah. Begitu juga dengan buruh pekerja yang harus bertanggung jawab atas pekerjaan yang telah diberikan oleh pemberi kerja kepada dirinya dan menyeselasaikan perkerjaanya dengan baik sesuai dengan apa yang diperintahkan menjual jasa untuk kepentingan orang banyak seperti tukang jahit dan kuli Angkut Barang ,maka ulama berbeda pendapat.

Imam Abu Hanifah, Zufar Bin Huzail dan Safi’i berpendapat, bahwa apabila kerusaka itu bukan karena unsur kesenghajaandan kelalaian, maka pekerja itu dituntut ganti rugi. Abu Yusuf dan Muhammad Bin Hasan Asy-Syaibani (murit abu hanifah), berpendapat bahwa pekerja itu ikut bertanggung jawab atas kerusakan tersebut, baik sengaja maupun tidak. Berbeda dengan kerusakan itu diluar batas kemampuanya seperti banjir besar atau kebakaran.

Menurut mazhab Maliki apabila sifat pekerjaan itu membekas pada barang itu seperti barang binatu, juru masak, buruh angkut (kuli), maka baik senghaja atau tidak senghaja segla kerusakan menjadi tanggnga jawab pekerja itu wajib ganti rugi.[23]

b.      Hak pemberi kerja dan buruh

Setiap orang melakukan perikatan dengan pihak lain itu harus berdasarkan ketentuan dan memenuhi hak masing-masing, yakni

1)      Pemberi kerja haru memberikan upah dan buru berhak menerima upah.

2)      Pemberi kerja berhak menuntut buruh apabila pekerja tidak menyelesaikan perkerjaanya yang seharusnya ia kerjakan sesuai dengan yang diharapkan oleh pemberi kerja, sedangkan upahnya sudah ia terima dan pekerja (buruh) wajib menyelesaikan pekerjanya.

3)      Pemberi kerja harus adil dalam memperkerjakan buruh dan memenuhi hak-hak antara kedua belah pihak.

4)      Memungkinkan manfaat jika masanya berlangsung, ia memungkinkan mendatangkan manfaat pada masa itu sekalipun tidak terpenuhi keseluruhanya.

5)      Mengalirnya manfaat jika Ijārah untuk barang apabila terdapat kerusakan pada barang sebelum dimanfaatkan dan sedikitpun belum ada waktu yang berlalu, maka Ijārah tersebut batal.

6)      Mempercepat dalam bentuk pelayanan atau kesepakatan kedua belah pihak sesuai dengan syarat, seperti mempercepat bayaran.[24]

6.      Ijarah Dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES)

Pandangan Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah (KHES) Pasal 20 (9) terhadap Ijārah, bahwa Ijārah adalah suatu bentuk kegiatan sewa menyewa barang yang telah ditentukan jangka waktunya dengan sistem pembayaran yang ditangguhkan.[25]

Dengan demikian al-Ijārah merupakan suatu kegiatan muamalah untuk memenuhi kebutuhan manusia dalam bentuk sewa menyewa barang atau jasa yang diambil manfaatnya yang nanti akan mendapatkan ganti atau upah dari hasil manfaat tersebut tanpa berpindah kepemilikan. Dalam sebuah Negara Islam, prinsip sewa tanah harus berdasarkan prinsip “keadilan” dan “kemurahan hati”. Penentu dasar atas sewa tanah ini harus dimiliki agar tidak merugikan satu sama lain. Keadilan pada prinsip ini adalah sewa yang dibebankan kepada petani penggarap sesuai dengan kemampuan mereka untuk membayar sehingga mereka merasa bahagia dan puas, dengan demikian harus bekerja dengan sungguh-sungguh untuk meningkatkan produktivitas tanah tersebut. Sedangkan kemurahan hati yaitu sewa yang hanya akan dipungut ketika yang mereka hasilkan melebihi di atas kebutuhan mereka.[26]

Dari pernyataan di atas, prinsip sewa ini sangat dasar untuk melakukan kegiatan sewa menyewa. Keadilan dan kemurahan hati yang dimiliki satu sama lain akan memberikan kebebasan tanpa keluar dari kesepakatan bersama. Akan tetapi, kurang setuju dengan apa yang terjadi sekarang dalam kegiatan bermuamalah. Mereka kadang tidak melihat sisi dari pihak penyewa sehingga keadilan masih jauh.


[1]Rachmat Syafe’i, Fiqh Muamalah, CV.Pustaka Setia : Bandung, 2001, h 121

[2]Suhrawardi K Lubis, Farid Wadji, Hukum Ekonomi Islam, PT. Sinar Grafika : 2014, h. 156

[3]Nasrun Haroen, Fiqih Muamalah, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2000, h. 228

[4]Rachmat Syafe’i, Fiqh Muamalah,..., h.121-122

[5]Gufron A.Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, h. 181

[6]Acara, Akad Dan Produk Bank Syariah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008, h.99.

[7]Syifa Kamilatussholihah, (Praktek Ijarah Studi di Koperasi Syari’ah Bina Muamalah Ta’awun Kota Bekasi),UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten,2018. h. 45

[8]Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an, Mushaf Al-Qur’an ....., h.491

                [9]Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an, Mushaf Al-Qur’an ....., h.278

                [10]Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemah, …, h. 388

                [11]M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis (Bandung: CV Pustaka Setia), h. 15.

[12]Al-„Asqalani, Al-Hafidz bin Hajar, Bulughul Maram, Indonesia: Darul Ahya Al-Kitab Al-Arabiyah, h. 301.

                [13]Fatwa DSN-MUI No.09/DSN-MUI/VI/2000 Pembiayaan Ijarah

                [14]Fatwa DSN-MUI No.09/DSN-MUI/VI/2000 Pembiayaan Ijarah

                                [15]Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah (Jakarta: Gramedia Pratama, 2007), h. 231

                                [16]Rahchmad Syafe’i, Fiqh Muamalah (Bandung: CV Pustaka Setia, 2001), hlm. 178.

[17]Nasrun Haroen, Fiqih Muamalah, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2000, h. 228

                                [18]Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemah,... h. 83.

[19]Mardani, Hukum Perikatan Syariah di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 155.

[20]Rozalinda, Fikih Syariah Ekonomi (Pripsip dan Implementasinya Pada Sektor Keuangan Syariah), (Jakarta: PT Grafindo Persada, 2016), h. 132.

                                [21]Mardani, Hukum Perikatan Syariah di Indonesia, …, h. 155

[22]Gufron A.Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, h. 181

                [23]Mardani, Hukum Perikatan Syariah di Indonesia, …, h. 155

                [24]Mardani, Hukum Perikatan Syariah di Indonesia, …, h. 155

[25]Pasal 20 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES), h. 65

[26]Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam (Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf, 1995), 178.

No comments:

Post a Comment

MAKALAH RIBA

  1.       Pengertian Riba Riba berasal dari bahasa arab yang artinya tambahan (زيادة ,(yang berarti tambahan pembayaran atas uang pokok ...