Followers

Saturday, April 4, 2020

KAUSALITAS MANUSIA DAN TUHAN


“KAUSALITAS MANUSIA DAN TUHAN”
Oleh : Faizurrahman Keraf Ainussyamsi

Interpretasi dan pemahaman banyak orang dari dulu hingga sekarang banyak sekali membahas tentang hak otoriter Tuhan dan hak otoriternya manusia. Mereka rela melimitkan waktu untuk membahas Tuhan dan manusia, dengan alasan supaya bisa bersatu dengan Tuhannya atau kalau istilah lainnya para mistikus Jawa menyebutnya “Tankeno kinoyo ngopo”. Kerelaan mereka ini secara de facto mengilusikan betapa esensialnya pemahaman kita tentang hal ini. Bahkan Ibnu Rusyd pernah mengatakan. Bentuk ibadah yang paling mulia adalah mempelajari Tuhan melalui ciptaannya melalui fakultas akal.(Verves Hodboy ;1996 hal 196). Karena hal inilah maka jelas bahwa kalau sudah menjadi ibadah mengapa tidak kita harus mempelajari Tuhan kita apalagi ciptaanya (kosmos, mikroskopis).
Perputaran historis ini terlihat sekali pada diri dan pemahaman para “Mutakallimin”(teolog) artinya tentang Tuhan dan manusia, apakah itu berasal dari orang Islam itu sendiri atau berasal dari orang non-muslim.
Aktualita dari keesensialnya ini, maka penulis bermaksud ingin menjabarkan tentang Tuhan dan manusia yang keduanya mempunyai korelasi yang amat erat bagaikan dua belahan dada, apakah Tuhan untuk manusia? Ataukah manusia untuk Tuhan?
Tuhan dan Manusia merupakan Kedua Unsur Bagaikan “Sebelas Duabelas”
Bukan merupakan rahasia lagi, jika kita mulai berpersepsi bahwa Tuhan untuk manusia dan Manusia untuk Tuhan. Sebab kedua hal tersebut bagaikan kedua belah dada, yang satu menyusui dan yang satu menyusu. Tuhan menyusui manusia sedangkan manusia menyusu pada Tuhan.
Secara syari’at Tuhan mengeksiskan manusia tidak lain ialah mengkonstruksikan. Kepada manusia mengabdi hanyalah pada Tuhan semata. ”Dan Aku tidak menciptakan Jin dan Manusia melainkan untuk beribadah kepadaku (Q.S Adz-Zariyat;6).  Ayat ini secara eksoteris mengilusikan seolah-olah Tuhan adalah suatu zat yang butuh akan pengabdian sesuatu yang dieksiskan-Nya, Bagaimana tidak? Sebab jika Tuhan tidak disembahkan, bagaimana ia mempromosikan materi-materi yang ia miliki, Al-Qur’an  mau diapakan? Siksa akhirat untuk siapa? Dan kenikmatan Surgawi mau diapakan? Jadi, supaya materi-materi itu memiliki nilai guna bagi manusia. Maka jelas Tuhan butuh akan keberadaan manusia. Untuk mengaplikasikannya demi tidak terjadinya kekecewaan pada Tuhan. Terhadap manusia yang baong.
Ditempat lain Tuhan juga rela mengusir makhluk “Muqarrabin” yang dekat dengan dirinya, lantaran tidak ingin patuh kepadanya, yaitu Iblis. (Ini semua adalah bukti kebutuhan Tuhan kepada manusia dan makhluk lainnya).
Kalau Tuhan sudah butuh kepada manusia, bagaimana dengan manusia itu sendiri, apakah ia butuh kepada Tuhannya sendiri atau tidak? Jawabannya sudah jelas. Bahwa manusia butuh akan Tuhannya. Karena secara alamiah pun manusia eksis karena keberadaan akan Tuhannya. Dan setelah ada manusia pasti butuh kepada Tuhan yang mengadakannya. Al-Kindi pernah mengatakan bahwa mereka yang tersusun ini memerlukan penyusun dan yang tersusun itu termasuk kedalam kategori al-Mudhaf (rangkaian), kalau begitu, bagi pelaku itu haruslah ada pelaku yang lain (Irwan S Sastro, 1996 ; 3)
Ditempat lain pula kita bisa mengatakan bahwa manusia butuh kepada Tuhannya, karena Tuhan yang ada tanpa pencipta sekalipun butuh kepada yang diciptakannya, diantaranya manusia. Apalagi kita sebagai makhluk yang diadakannya yang sudah barang tentu perlu kepada yang mengatakannya sang anak bayi yang butuh kepada tetek ibunya yang telah melahirkannya.
Kebutuhan manusia kepada penciptanya ini adalah salah satu indikator dari sifat manusia sebagai makhluk yang dhaif, yang sekaligus membedakannya antara kebutuhan Tuhannya terhadap makhluknya yang bukan mentawosurkan karena kelemahan Tuhan.
Aktualita dari keurgensian antara Tuhan bagi manusia terlihat dari kasih sayangnya Tuhan terhadap makhluknya, ketika kita menciptakan akal dan hati manusia yang mampu membimbing dan membina manusia untuk mengabdi kepada Tuhannya supaya bisa bertemu dengannya yang telah mengatakannya. Keunggulan akal dan hati ini terlihat didalam sebuah hadits Nabi yang mengatakan :
“Pada suatu hari datang seorang Badui kepada Nabi dan menanyakan kepada Nabi , hai Nabi; ikutlah pada kehendak hatimu “. (Al-Hadits).
Kalau sudah begitu, maka jelaslah bagi kita bahwa Tuhan dan manusia merupakan dua unsur yang saling membutuhkan satu sama lainnya, karena hanya Tuhan-Tuhanlah yang tidak butuh kepada manusia dan hanya manusia yang angkuh lagi hipokriterlah yang tidak butuh kepada Tuhannya yang telah mengadaknnya .

No comments:

Post a Comment

MAKALAH RIBA

  1.       Pengertian Riba Riba berasal dari bahasa arab yang artinya tambahan (زيادة ,(yang berarti tambahan pembayaran atas uang pokok ...