“KAUSALITAS MANUSIA DAN TUHAN”
Oleh : Faizurrahman Keraf Ainussyamsi
Interpretasi
dan pemahaman banyak orang dari dulu hingga sekarang banyak sekali membahas
tentang hak otoriter Tuhan dan hak otoriternya manusia. Mereka rela melimitkan
waktu untuk membahas Tuhan dan manusia, dengan alasan supaya bisa bersatu
dengan Tuhannya atau kalau istilah lainnya para mistikus Jawa menyebutnya “Tankeno kinoyo ngopo”. Kerelaan mereka
ini secara de facto mengilusikan betapa esensialnya pemahaman kita tentang hal
ini. Bahkan Ibnu Rusyd pernah mengatakan. Bentuk ibadah yang paling mulia adalah
mempelajari Tuhan melalui ciptaannya melalui fakultas akal.(Verves Hodboy ;1996
hal 196). Karena hal inilah maka jelas bahwa kalau sudah menjadi ibadah mengapa
tidak kita harus mempelajari Tuhan kita apalagi ciptaanya (kosmos,
mikroskopis).
Perputaran
historis ini terlihat sekali pada diri dan pemahaman para “Mutakallimin”(teolog) artinya tentang Tuhan dan manusia, apakah itu
berasal dari orang Islam itu sendiri atau berasal dari orang non-muslim.
Aktualita
dari keesensialnya ini, maka penulis bermaksud ingin menjabarkan tentang Tuhan
dan manusia yang keduanya mempunyai korelasi yang amat erat bagaikan dua
belahan dada, apakah Tuhan untuk manusia? Ataukah manusia untuk Tuhan?
Tuhan dan Manusia merupakan Kedua Unsur Bagaikan
“Sebelas Duabelas”
Bukan
merupakan rahasia lagi, jika kita mulai berpersepsi bahwa Tuhan untuk manusia
dan Manusia untuk Tuhan. Sebab kedua hal tersebut bagaikan kedua belah dada,
yang satu menyusui dan yang satu menyusu. Tuhan menyusui manusia sedangkan
manusia menyusu pada Tuhan.
Secara
syari’at Tuhan mengeksiskan manusia tidak lain ialah mengkonstruksikan. Kepada
manusia mengabdi hanyalah pada Tuhan semata. ”Dan Aku tidak menciptakan Jin dan
Manusia melainkan untuk beribadah kepadaku (Q.S Adz-Zariyat;6). Ayat ini secara
eksoteris mengilusikan seolah-olah Tuhan adalah suatu zat yang butuh akan
pengabdian sesuatu yang dieksiskan-Nya, Bagaimana tidak? Sebab jika Tuhan
tidak disembahkan, bagaimana ia mempromosikan materi-materi yang ia miliki,
Al-Qur’an mau diapakan? Siksa akhirat
untuk siapa? Dan kenikmatan Surgawi mau diapakan? Jadi, supaya materi-materi
itu memiliki nilai guna bagi manusia. Maka jelas Tuhan butuh akan keberadaan
manusia. Untuk mengaplikasikannya demi tidak terjadinya kekecewaan pada Tuhan. Terhadap
manusia yang baong.
Ditempat
lain Tuhan juga rela mengusir makhluk “Muqarrabin”
yang dekat dengan dirinya, lantaran tidak ingin patuh kepadanya, yaitu Iblis. (Ini
semua adalah bukti kebutuhan Tuhan kepada manusia dan makhluk lainnya).
Kalau
Tuhan sudah butuh kepada manusia, bagaimana dengan manusia itu sendiri, apakah
ia butuh kepada Tuhannya sendiri atau tidak? Jawabannya sudah jelas. Bahwa
manusia butuh akan Tuhannya. Karena secara alamiah pun manusia eksis karena
keberadaan akan Tuhannya. Dan setelah ada manusia pasti butuh kepada Tuhan yang
mengadakannya. Al-Kindi pernah mengatakan bahwa mereka yang tersusun ini
memerlukan penyusun dan yang tersusun itu termasuk kedalam kategori al-Mudhaf
(rangkaian), kalau begitu, bagi pelaku itu haruslah ada pelaku yang lain (Irwan
S Sastro, 1996 ; 3)
Ditempat
lain pula kita bisa mengatakan bahwa manusia butuh kepada Tuhannya, karena Tuhan
yang ada tanpa pencipta sekalipun butuh kepada yang diciptakannya, diantaranya
manusia. Apalagi kita sebagai makhluk
yang diadakannya yang sudah barang tentu perlu kepada yang mengatakannya sang
anak bayi yang butuh kepada tetek ibunya yang telah melahirkannya.
Kebutuhan
manusia kepada penciptanya ini adalah salah satu indikator dari sifat manusia
sebagai makhluk yang dhaif, yang
sekaligus membedakannya antara kebutuhan Tuhannya terhadap makhluknya yang
bukan mentawosurkan karena kelemahan Tuhan.
Aktualita
dari keurgensian antara Tuhan bagi manusia terlihat dari kasih sayangnya Tuhan
terhadap makhluknya, ketika kita menciptakan akal dan hati manusia yang mampu
membimbing dan membina manusia untuk mengabdi kepada Tuhannya supaya bisa
bertemu dengannya yang telah mengatakannya. Keunggulan akal dan hati ini
terlihat didalam sebuah hadits Nabi yang mengatakan :
“Pada suatu hari
datang seorang Badui kepada Nabi dan menanyakan kepada Nabi , hai Nabi; ikutlah
pada kehendak hatimu “. (Al-Hadits).
Kalau
sudah begitu, maka jelaslah bagi kita bahwa Tuhan dan manusia merupakan dua
unsur yang saling membutuhkan satu sama lainnya, karena hanya Tuhan-Tuhanlah
yang tidak butuh kepada manusia dan hanya manusia yang angkuh lagi
hipokriterlah yang tidak butuh kepada Tuhannya yang telah mengadaknnya .
No comments:
Post a Comment