Followers

Monday, July 11, 2022

MAKALAH PERSAMAAN MAKNA KONSTITUSI DENGAN UNDANG UNDANG DASAR TAHUN 1945 DI DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA

MAKALAH 

PERSAMAAN MAKNA KONSTITUSI DENGAN UNDANG UNDANG DASAR TAHUN 1945 DI DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA

KATA PENGANTAR 

Segala puja dan puji bagi Allah SWT yang selalu mencurahkan limpahan rahmat, taufik dan hidayah-Nya, shalawat serta salam kita sampaikan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW, juga untuk keluarganya, sahabatnya dan umatnya sampai akhir zaman. Berkat taufik dan petunjuk dari Allah SWT, alhamdulillah penulis dapat menyelesaikan tulisan ini yang berjudul: “Persamaan Makna Konstitusi Dengan Undang Undang Dasar Tahun 1945 Di Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia”. Walaupun telah berusaha semaksimal mungkin, penulis menyadari bahwa penulisan ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu kritik, saran, dan perbaikan dari Dosen pengampu sangat penulis harapkan, agar bisa dijadikan pedoman untuk penulisan yang lebih sempurna. 

                                                                                                         Bengkulu, 05 Januari 2021 

                                                                                                         

                                                                                                         Penulis


A.    Latar Belakang

            Perkembangan sejarah ketatanegaraan modern menyamakan pengertian Konstitusi dengan Undang-Undang Dasar tidak hanya semata-mata akibat aliran kodifikasi tetapi jauh sebelumnya sejak Oliver Crom Well menjadi Lord Protectorat tahun 1660 Grundgezetz (Undang-Undang Dasar) telah disamakan dengan Instrumens of Government yaitu pegangan/acuan untuk memerintah, sejak itulah timbul identifikasi tentang pengertian Undang-Undang Dasar dan Konstitusi ternyata memiliki prinsipprinsip dasar yang sama, sehingga pada tahun 1687 pengertian Konstitusi yang dikemukakan Crom Well diambil alih oleh Amerika Serikat. Kemudian dimasukkan ke Perancis oleh Lafayette pada tahun 1789.[1]

            Untuk perkembangan berikutnya di Indonesia juga mengadopsi pengertian Konstitusi disamakan dengan Undang-Undang Dasar, hal ini dapat dijumpai dalam penyebutan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat (Konstitusi RIS), sedangkan yang lain di samping adanya UUD 1945 ada juga sebutan UUDS Tahun 1950. Dengan demikian dalam sistem ketatanegaraan Indonesia terdapat beberapa istilah dalam penjelasan UUD Negara Republik Indonesia yang perlu mendapat penegasan dalam pengertiannya adalah Undang-Undang Dasar, Konstitusi dan Hukum Dasar.[2]

            Lain halnya dalam ilmu politik para ahli menafsirkan bahwa Konstitusi (Constitution) dalam arti yang lebih luas yakni sebagai keseluruhan aturan baik tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur secara mengikat tentang tata cara lembaga negara dalam menyelenggarakan pemerintahan sedangkan Undang-Undang Dasar merupakan suatu naskah yang menjabarkan kerangka dasar tugas pokok dan fungsi dari badan/lembaga negara yang diberikan mandat dalam menyelenggarakan pemerintahan baik legislatif, eksekutif maupun yudikatif. Kemudian dalam paham Konstitusialisme ini pula memberikan batasanbatasan terhadap kewenangan yang diberikan terhadap lembaga/badan negara dalam menyelengarakan fungsi pemerintahan yang menyangkut hak-hak warga negara karena hak-hak yang dimiliki warga negara merupakan bagian integral yang harus dihargai/hormati oleh penguasa. Kemudian prinsip-prinsip tentang hubungan antar warga negara dengan pemerintah harus diketahui hak dan kewajiban masing-mas-ing baik oleh warga negara maupun pemerintah.

            Dari uaraian di atas, penulis tertarik untuk mengupas dan mengetahui Apakah konstitusi identik dengan Undang-undang Dasar;; Bagaimana sifat dan fungsi konstitusi. Untuk dapat mengetahui hal di atas, metode penelitian yang digunakan adalah normatif-filosofis. Konstitusi bukan diandaikan hanya sebagai hukum yang direduksi sebagai peraturan semata (law as it is written in the books), melainkan didudukan di ranah sollen sebagai nilai yang ideal (law as what ought to be). Implikasinya, penelitian ini tidak selesai pada pembacaan undang-undang dasar, melainkan masuk pada nilai yang terkandung di dalamnya.[3]

B.     Pembahasan

1.      Istilah Konstitusi

                        Sejak abad pertengahan sudah berkembang istilah Konstitusi yang memiliki beberapa makna yang terdapat pada beberapa literatur hukum tata negara Indonesia seperti, kata Konstitusi berasal dari bahasa Perancis (Constituer) yang berarti membentuk. Pemakaian istilah Konstitusi yang dimaksud ialah pembentukan suatu negara atau menyusun dan menyatakan terbentuknya suatu negara). Sedangkan istilah Undang-Undang Dasar merupakan terjemahan dari Bahasa Belanda (grondwet), dan perkataan wet diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia adalah undang-undang dan gron berarti tanah atau daerah.[4]

                        Di negara-negara yang berbahasa Inggris sebagai bahasa nasionalnya disepakati istilah Constitution yang dalam bahasa Indonesianya disebut Konstitusi . Pengertian Konstitusi dalam praktek dapat berarti lebih luas dari pada Undang-Undang Dasar, tetapi ada juga yang menyamakan dengan Undang-Undang Dasar. Bagi para sarjana ilmu politik istilah Constitution merupakan sesuatu yang lebih luas yaitu keseluruhan dari peraturan-peraturan baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis yang mengikat cara-cara bagaimana sesuatu pemerintahan diselenggarakan dalam suatu masyarakat).

                        Dalam bahasa latin kata Konstitusi merupakan gabungan dari dua kata yaitu cume dan statuere adalah sebuah preposisi yang berarti ”………bersama dengan…….”. Sedangkan statuere berasal dari kata sta yang membentuk kata kerja pokok stare yang berarti berdiri. Atas dasar itu maka kata statuere mempunyai arti “membuat sesuatu agar berdiri atau menetapkan/ mendirikan”. Dengan demikian bentuk tunggal (Constitution) berarti menetapkan sesuatu secara bersama-sama dan dalam bentuk jamak (Constitutiones) yang berarti segala sesuatu yang telah ditetapkan).[5]

                        Berdasarkan beberapa istilah Konstitusi yang dikemukakan para ahli tersebut maka pandangan L. J. Van Apeldoorn membedakan antara Constitution dengan Grondwet (UUD), yakni Grondwet (UUD) adalah bagian yang tertulis dari Konstitusi sedangkan Constitution (Konstitusi) memuat peraturan-peraturan baik tertulis maupun tidak tertulis, sementara Sri Sumantri dalam desertasinya mengartikan Konstitusi sama dengan Undang-Undang Dasar. Hal ini sesuai dengan praktek ketatanegaraan di berbagai negara di dunia termasuk di Indonesia. Pandangan yang menyamakan antara Konstitusi dengan Grondwet (UUD) dipengaruhi oleh pemahaman kodifikasi yang menghendaki agar semua aturan hukum tertulis dalam rangka mencapai kesatuan hukum, kepastian hukum dan kesederhanaan hukum sehingga setiap aturan hukum, karena penting maka harus ditulis.[6]

2.      Pengertian Konstitusi

                        Dalam beberapa buku literatur ada anggapan umum bahwa pengertian Konstitusi sama dengan Undang-Undang Dasar, hal ini merupakan suatu kekhilafan dalam pandangan mengenai Konstitusi pada negara-negara modern yang dipengaruhi oleh paham kodifikasi yang menghendaki agar semua peraturan hukum karena pentingnya sehingga Konstitusi yang ditulis itu disamakan dengan UUD. Dalam pandangan Herman Heller mengemukakan bahwa Konsitusi memiliki arti yang lebih luas dari UUD, sehingga dalam uraian selanjutnya diadakan pembagian dalam tiga bagian sebagai berikut:[7]

a.       Konstitusi dalam pengertian sosiologis dan politis, dalam pengertian ini Konstitusi mencerminkan kehidupan politik di dalam masyarakat sebagai suatu kenyataan (Die Politische Verfassung Als Gesell Schaftliche Wirklich Keit), jadi Konstitusi belum dalam arti yuridis.

b.      Konstitusi dalam arti kesatuan kaidah yaitu Konstitusi merupakan suatu kesatuan kaidah yang hidup dan berkembang dalam masyarakat yang mengandung arti yuridis (Die Verselbstandingte Rechtverfassung).

c.       Konstitusi yang tertulis dalam suatu naskah sebagai undang-undang yang tertinggi berlaku dalam suatu negara (Die Geschrieben Verfassung)

                        Jika diperhatikan pendapat Herman Heller di atas maka dapat disimpulkan bahwa, Undang-Undang Dasar merupakan bagian dari Konstitusi yang tertulis sedangkan Konstitusi di samping yang bersifat yuridis termasuk juga di dalamnya mengandung pengertian secara sosiologis dan politis. Dengan demikian maka Konstitusi tidak hanya dipahami secara sederhana tetapi dalam makna yang lebih luas artinya, karena negara memiliki tugas dan tanggung jawab yang sangat kompleks dan mendasar. Maka harus diatur secara jelas dan tegas oleh negara. Di samping itu dalam perkembangan ilmu pengetahuan, Konstitusi telah dilakukan berbagai pendekatan baik dari kajian hukum, tatanegara maupun ilmu politik, oleh sebab itu dalam berbagai penafsiran para ahli Konstitusi itu bisa memiliki muatan politik dan hukum, dan bahkan ada yang lebih bermuatan politis dari pada bermuatan hukum atau yuridis.[8]

                        Di samping itu seorang pakar berikutnya yaitu Lasale memberikan pengertian bahwa Undang-Undang Dasar lebih sempit dari pada Konstitusi dan membagi Konstitusi dalam dua pengertian yaitu:[9]

a.       Konstitusi merupakan hubungan antara kekuasaan yang terdapat dalam masyarakat yakni pemerintah dan warga negara (fakta riil), misalnya Presiden, militer, partai-partai politik, presure group, buruh, warga masyarakat dan sebagainya.

b.      Konstitusi adalah apa yang ditulis di atas kertas mengenai lembaga-lembaga negara dan prinsip-prinsip pemerintahan yang berlaku dalam suatu negara (fakta formal).

                        Dalam berbagai pandangan tentang Konstitusi yang dikemukakan di beberapa literatur, C.F Strong dalam bukunya yang berjudul Modern Political Constitutions an Introduction To The Convarative Study of Their History And Existing Form, mengemukakan : “…….. A constitution may be said to be a collection Of principles according to wich the powers of the government, the rights of governed, and the relations between the are adjusted“.

                        Dalam definisi yang dikemukakan oleh C.F Strong terdapat tiga unsur yang sangat penting yaitu mengenai prinsip-prinsip kekuasaan pemerintahan, mengenai prinsip-prinsip hak-hak warga negara dan prinsip-prinsip hubungan antara warga negara dengan pemerintah, prinsip-prinsip tentang kekuasaan pemerintahan (The Principles According To The Government) akan menjelaskan kepada siapa kekuasaan penyelenggaraan negara diserahkan, apakah kekuasaan akan diberikan kepada satu tangan/lembaga atau diberikan kepada beberapa lembaga negara yang sedang menjalankan kekuasaan, prinsip-prinsip tentang hak-hak warga negara (The Principles According To The Rights of The Governed), pada prinsipnya hak-hak yang dimiliki warga negara merupakan bagian integral yang harus dihargai/hormati oleh penguasa. Kemudian prinsip-prinsip tentang hubungan antar warga negara dengan pemerintah (The Principles According To The Relations Between The Governed And The Government).[10]

                        Dalam prinsip-prinsip ini harus diketahui hak dan kewajiban diantara masing-masing baik warga negara maupun pemerintah. Selain itu salah satu pakar Konstitusi modern K.C Wheare dalam bukunya Modern Constitutions mengemukakan bahwa selain dipahami sebagai istilah untuk menggambarkan keseluruhan sistem pemerintahan suatu negara, juga sebagai kumpulan aturan yang membentuk dan mengatur atau menentukan pemerintahan negara yang bersangkutan[11].

                        Dengan demikian dijumpai dua dimensi pemahaman yang diberikan yaitu:[12] pertama, Konstitusi merupakan gambaran keseluruhan sistem pemerintahan dalam suatu negara (The Whole System of government A Country) artinya Konstitusi menggambarkan apakah bentuk negara dan sistem pemerintahan yang digunakan. Kedua, Konstitusi merupakan kumpulan aturan yang membentuk dan mengatur pemerintahan suatu negara (The Collection Of Rulles Wich Establish And Regulate or Govern The Government) artinya dalam dimensi kedua ini, merupakan seperangkat aturan tentang bagaimana pelaksanaan keseluruhan sistem pemerintahan suatu negara dan seperangkat aturan bagaimana pembagian kekuasaan antara lembaga-lembaga negara, pengaturan tugas dan fungsi lembaga-lembaga tersebut, serta pengaturan hak dan kewajiban antara negara dan rakyat dan sebagainya, kedua dimensi ini merupakan satu kesatuan dalam pengertian Konstitusi.

                        Jika dibandingkan pandangan kedua ahli Konstitusi tersebut di atas antara C.F strong dengan K.C Wheare, khusus dimensi kedua dari pandangan K.C Wheare, bahwa Konstitusi dipahami sebagai seperangkat aturan, timbul konotasi atau pemahaman bahwa yang dimaksud adalah Konstitusi dalam pemahaman sempit yaitu tertuju pada aturan-aturan yang tertulis yang dijadikan dasar dalam penyelenggaraan pemerintahan dengan mengesampingkan aturan-aturan yang tidak tertulis dalam penyelenggaraan pemerintahan suatu negara, untuk itu harus ditegaskan bahwa, dalam perkembangan situasi dan kondisi yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, Konstitusi harus bisa mengakomodasi aturanaturan yang tidak tertulis seperti kebiasaan-kebiasaan yang hidup dan berkembang di masyarakat bisa dijadikan acuan/ dasar dalam penyelenggaraan pemerintahan.[13]

                                Dengan demikian menyadari munculnya pemahaman Konstitusi dalam arti sempit Wheare kemudian menegaskan supaya Konstitusi harus dipahami sebagai seperangkat aturan yang bersifat legal dan non legal atau ekstra legal. Bersifat legal merupakan aturan-aturan yang diterapkan/dilaksanakan oleh pengadilan. Sedangkan yang bersifat non legal/ektra legal dapat berupa kebiasaan, kesepakatan tertentu atau konvensi yang memiliki peranan yang cukup efektif dalam penyelenggaraan pemerintahan, sehingga kekhawatiran akan adanya ketidak mapanan untuk membuat aturan-aturan keseluruhan sistem pemerintahan negara dalam bentuk hukum tertulis (Partly-Legal) dapat dihindari dengan menggunakan sarana aturan tidak tertulis (Party Non Legal Or Extra Legal).

                        Sedangkan pandangan Strong tentang Konstitusi bukan hanya ketentuan mengenai kekuasaan pemerintahan saja namun termasuk juga hak-hak warga negara dan hubungan antara warga negara dengan pemerintah. Dari sisi persamaan kedua pandangan tersebut dalam hal menetapkan Konstitusi sebagai seperangkat aturan, Strong meskipun tidak menyebutkannya secara terperinci seperti Wheare bahwa Konstituti sebagai perangkat aturan (The Collectiuon of Rulles) namun dengan mengutip pendapat James Bryce yang mengatakan bahwa Konstitusi sebagai suatu susunan kehidupan kenegaraan (politik) yang diorganisasikan melalui dan oleh hukum. Jelaslah Strong menganggap Konstitusi sebagai perangkat aturan. [14]

                        Walaupun dalam definisi sendiri mengatakan sebagai sekumpulan prinsip (A Collection of Principle) Berdasarkan beberapa pendapat para ahli tentang pengertian Konstitusi seperti di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian Konstitusi meliputi Konstitusi tertulis dan tidak tertulis, Undang-Undang Dasar merupakan Konstitusi tertulis. Adapun batasan-batasan yang dapat dijadikan rumusan dalam pengertian tersebut adalah sebagai berikut:[15]

a.       Suatu kumpulan kaidah yang memberikan batasan-batasan kekuasaan kepada para penguasa/penyelenggara negara.

b.      Suatu dokumen tentang pembagian tugas dan wewenang sekaligus sebagai petugas dari sistem politik yang berlaku.

c.       Suatu deskripsi dari lembaga-lembaga negara.

d.      Suatu diskripsi yang menyangkut jaminan pelaksanaan hak-hak asasi manusia.

                        Dalam perkembangan sejarah Konstitusi menyamakan pengertian Konstitusi dengan Undang-Undang Dasar tidak hanya semata-mata akibat aliran kodifikasi tetapi jauh sebelumnya sejak Oliver Crom well menjadi Lord Protectorat tahun 1660 grundgezetz (Undang-Undang Dasar) telah disamakan dengan Instrumens of government yaitu pegangan/acuan untuk memerintah, sejak itulah timbul identifikasi tentang pengertian Undang-Undang Dasar dan Konstitusi ternyata memiliki prinsip-prinsip dasar yang sama. Sehingga pada tahun 1687 pengertian Konstitusi yang dikemukakan Crom Well diambil alih oleh Amerika Serikat. Kemudian dimasukkan ke Prancis oleh Lafayette pada tahun 1789.[16]

                        Untuk selanjutnya perkembangan berikutnya di Indonesia juga mengadopsi pengertian Konstitusi disamakan dengan Undang-Undang Dasar, hal ini dapat dijumpai dalam penyebutan Undang-undang Dasar Republik Indonesia Serikat (Konstitusi RIS), sedangkan yang lain di samping adanya UUD 1945 ada juga sebutan UUDS Tahun 1950. Dengan demikian dalam sistem ketatanegaraan Indonesia terdapat beberapa istilah dalam penjelasan UUD Negara Republik Indonesia yang perlu mendapat penegasan dalam pengertiannya adalah Undang-Undang Dasar, Konstitusi dan Hukum Dasar. kumen yang memuat aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan hukum yang pokokpokok atau dasar-dasar yang bersifat tertulis yang menggambarkan tentang sistem ketatanegaraan suatu negara.[17]

                        Konstitusi adalah dokumen yang memuat aturan-aturan hukum dan ketentuanketentuan hukum yang pokok-pokok atau dasar-dasar yang sifatnya baik tertulis maupun tidak tertulis yang menggambarkan tentang sistem ketatanegaraan suatu negara. Hukum dasar adalah ketentuan-ketentuan dasar atau aturan-aturan dasar yang timbul, terpelihara dan berkembang dalam praktek penyelenggaraan negara, meskipun sifatnya tidak tertulis.[18]

3.      Nilai, Sifat dan Fungsi Konstitusi

a.       Nilai Konstitusi

                        Apabila dicermati kata Konstitusi yang berasal dari Bahasa Perancis yaitu Constituer yang maknanya adalah pembentukan suatu negara atau menyusun dan menyatakan terbentuknya suatu negara, maka nilai Konstitusi itu sangat penting karena ada atau tidak adannya negara tergantung dari konstutusi suatu negara. Menurut Sri Soemantri dalam disertasinya, tidak ada satu negara pun di dunia sekarang ini yang tidak mempunyai Konstitusi atau Undang-Undang Dasar. Negara dan Konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Bahkan lebih tegas dinyatakan bahwa tanpa Konstitusi, negara tidak ada.

                        Dalam sejarah perkembangan Konstitusi dari dunia barat, Konstitusi merupakan suatu alat pembatas kesewenang-wenangan penguasa yang dapat menjamin hakhak rakyat serta mengatur jalannya pemerintahan, yang dapat membangkitkan paham kebangsaan sebagai kekuatan bersama dan lahirnya demokrasi sebagai paham politik yang maju dan berkembang, serta Konstitusi sebagai sarana konsolidasi untuk menentukan kedudukan hukum dan politik bagi rakyat dalam mencapai cita-cita dalam berbangsa dan bernegara. Dengan begitu pentingnya Konstitusi di zaman modern ini maka tidak hanya memuat aturan-aturan hukum saja tetapi juga merangkum dan merencanakan kebijakan politik. [19]

                        Hukum negara yang dijadikan dasar untuk mengikat penguasa dalam penyelenggaraan pemerintah. Dalam politik ketatanegaraan, bahwa Konstitusi yang memuat aturan-aturan tertulis dalam penyelenggaraan pemerintahan suatu negara, sering terjadi tidak dilaksanakan pasal-pasal Konstitusi tersebut secara sempurna (utuh) karena adanya kecenderungan dalam pelaksanaannya sering dikaitkan dengan kepentingan pribadi atau golongan para penguasa/penyelenggara negara. Sehubungan dengan masalah tersebut maka Karl Lowenstein mengadakan penyelidikan tentang arti sebenarnya dari Konstitusi tertulis dalam lingkungan spesifik terutama bagi rakyat biasa, sehingga KarlLoewenstein mengadakan tiga jenis penilaian:[20]

1)      Konstitusi memiliki nilai normative

2)      Konstitusi memiliki nilai nominal

3)      Konstitusi memliki nilai semantic

b.      Sifat dan Fungsi Konstitusi

                        Mengenai uraian Konstitusi berikut ini akan dibahas beberapa sifat yang melekat pada Konstitusi seperti: sifat yang fleksibel (luwes) atau rigit (kaku), seperti tertulis dan tidak tertulis.

1)      Sifat Fleksibel

                        Fleksibel dan rigit adalah sifat suatu Konstitusi yang dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan luwes atau kaku, untuk menentukan apakah sesuatu Konstitusi bersifat fleksibel atau rigit.[21]

2)      Konstitusi Tertulis dan Tidak Tertulis

                                Sebagaimana dikemukakan di muka pada waktu membahas istilah Konstitusi bahwa Konstitusi berasal dari kata Constituer (Bahasa Perancis) yang memiliki makna/arti membentuk. Dalam hal ini adalah pembentukan suatu negara atau menyusun/menyatakan berdirinya negara sebagaimana dikemukakan oleh Wiryono Prodjodikoro bahwa konstitusi memuat peraturan-peraturan pokok (fundamental) mengenai soko guru atau sendi-sendi utama untuk menegakkan bangunan besar yang namanya negara. Pondasinya itu harus kuat dan tidak mudah runtuh agar bangunan yang namanya negara itu tetap berdiri kukuh. Pada beberapa Konstitusi negara-negara di dunia ada yang memiliki Konstitusi tertulis (Written Constitution) dan ada Konstitusi yang tidak tertulis (Unwritten Constitution). Tertulis dinamakan Undang-Undang Dasar (UUD-Grondwet).[22]

                        Seperti UUD Republik Indonesia Tahun 1945 dan UUD Amerika Serikat. Sedangkan yang tidak tertulis adalan Konstitusi berupa konvensi atau kebiasaan dalam ketatanegaraan yang diselenggarakan pada berbagai negara di dunia seperti yang dijumpai pada praktek penyelenggaraan negara yang menganut sistem parlementer adalah merupakan konvensi (kebiasaan ketata negaraan). Menteri-menteri akan meletakkan jabatannya jika kepadanya diajukan mosi tidak percaya oleh DPR. Kemudian merupakan konvensi juga bagi partai politik yang menarik kembali (merecall) utusannya dari DPR jika utusan tersebut tidak memenuhi aspirasi politik partainya. Di Inggris norma-norma itu semua ditemukan tersebar pada lembaga-lembaga kenegaraan dan hak-hak asasi manusia ditemukan di berbagai undang-undang biasa, dalam adat kebiasaan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat dan kehidupan bernegara. Contoh-contoh dokumen di Inggris yang dapat dikategorikan sebagai undangundang biasa adalah:[23]

a)      Magna Charta Libertatum tahun 1215 yang ditandatangani oleh Raja John atas desakan golongan bangsawan. Naskah ini bersifat feodal tetapisangat penting karena pertama kali raja mengakui hak-hak bangsawan bawahananya.

b)      Bill of Right tahun 1969 dan Act of Settlement tahun 1701. Kedua undang undang ini merupakan kewenangan parlemen melawan raja Dinasti Stuart karena memindahkan kedaulatan dari tangan raja ke tangan parlemen (King in Parliamant).

c)      The Parliamant Act tahun 1911 dan 1949. Kedua undang-undang ini membatasi kekuasaan majelis tinggi (House of Lords) dan menetapkan supremasi majelis rendah (House of Commons). Artinya House of Lord dalam beberapa hal tertentu dilarang menolak rancangan undang-undang yang telah diterima oleh House of Commons.

d)     Beberapa keputusan hakim yang merupakan tafsiran pada beberapa undangundang parlemen.

e)      Konvensi-konvensi (aturan-aturan lain berdasarkan teradisi) yang mengatur hubungan antara kabinet dan parlemen.

                        Sedangkan di Indonesia contoh-contoh Konstitusi tertulis yang berjalan berturutturut dalam tiga buah Undang-Undang Dasar dalam empat tahap yaitu :[24]

a)      UUD 1945 dari tahun 1945 s/d tahun 1949

b)      UUD RIS 1949 dari tahun 1949 s/d tahun 1950

c)       UUDS 1950 dari tahun 1950 s/d tahun 1959

d)      UUD 1945 kembali dari tahun 1959 s/d sekarang

4.      Perubahan Konstitusi

                        Istilah kata “perubahan” dalam perubahan Konstitusi berasal dari kata “rubah” dan kata kerja merubah. Menurut Sri Soemantri kata mengubah Konstitusi/UUD sama dengan “mengamandemen Konstitusi/UUD”. Pendapat ini didasarkan pada istilah bahasa Inggris (“Constitution Amandement” yang artinya mengubah UndangUndang Dasar).

                        Apabila melihat perkembangan Undang-Undang Dasar 1945, maka kata merubah UUD yang tercantum dalam Pasal 37 adalah dapat menambah pasal-pasal yang sudah ada dan memungkinkan juga menambah pasal-pasal baru yang belum diatur dalam UUD 1945. Jika MPR selaku lembaga yang berwenang merubah UUD, ingin melakukan perubahan, supaya memperhatikan azas-azas yang telah ditetapkan dalam pembukaan UUD 1945.

                        Jangan sampai perubahan itu membawa akibat bergantinya UUD 1945 dengan UUD yang lain. Hal ini perlu dipertegas karena berdasarkan sejarah ketatanegaraan Indonesia pernah terjadi penggantian UUD yakni dari UUD 1945 ke Konstitusi RIS tahun 1949, dan dari Konstitusi RIS ke UUDS 1950. Di sini terjadi perubahan yang asasi yakni dari negara kesatuan menjadi susunan negara federal dan kembali lagi menjadi susunan negara kesatuan).27 Berdasarkan perjalanan sejarah ketatanegaraan Indonesia dalam perubahan Konstitusi atau UUD maka istilah perubahan di atas dapat mengandung arti baik yuridis maupun politis, sebab dalam teori hukum tata negara yang dimaksud dengan perubahan Konstitusi UUD adalah:[25]

a.       Penggantian Undang-Undang Dasar dimaksudkan UUD yang lama diganti, baik seluruhnya maupun sebagian dan tata cara penggantian adakalanya secara jelas dalam UUD yang baru dan ada kalanya tidak.

b.      Perubahan atas amandemen UUD, artinya UUD lama dirubah beberapa pasalnya saja supaya dapat menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat. Sedangkan pasal-pasal lain tidak mengalami perubahan. Adakalanya pasal-pasal perubahan ditempatkan pada bagian akhir daripada UUD yang bersangkutan dengan memberi judul “perubahan” atau “amandemen”. Sedangkan pasal-pasal lama tetap dalam posisi semula (cara ini disebut adendum). Contoh Undang-Undang Amerika Serikat. Ada pula pasal-pasal dalam UUD yang bersangkutan tetap jumlahnya, tetapi di sisipkan tambahan ayat-ayat baru dalam pasal-pasal (cara ini juga disebut amandemen). Contoh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

                        Di samping itu ada pula pengertian perubahan Konstitusi atau UUD dalam praktek ketatanegaraan, di mana UUD lama tetap berlaku tanpa adanya perubahan secara yuridis. Artinya secara formal UUD lama masih tetap berlaku, tetapi penyelenggaraan negara dalam prakteknya baik seluruh ataupun sebagian dari pasal-pasalnya tidak dilaksanakan oleh penguasa. Hal ini biasa berlaku pada penyelenggaraan negara yang otoriter dan totaliter cenderung menggunakan keputusan-keputusan yang dibuat sendiri dalam penyelenggaraan pemerintahan. Misalnya pada zaman rezim Hitler di Jerman yang totaliter. Memberlakukan Konstitusi Weiman 1900 yang demokratis tetapi dalam praktek yang diberlakukan adalah pemerintahan yang tidak demokratis. Di Indonesia hal yang sama pernah berlaku pada masa revolusi fisik dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Pada saat itu sistem pemerintahan yang berlaku berdasarkan UUD 1945 adalah sistem presidensiil, tetapi dalam praktek yang berlaku adalah sistem parlementer.[26]

                        Berdasarkan uraian di atas tentang perubahan Konstitusi atau UUD, memiliki arti yang lebih luas yaitu penggantian, perubahan dalam praktek penyelenggaraan negara. Beberapa contoh Konstitusi/UUD negara-negara modern dewasa ini yang membuat beberapa ketentuan dalam perubahan yang biasanya dirumuskan dalam pasal-pasal yang merupakan bagian akhir dari Konstitusi/UUD tersebut sebagai berikut: [27]

a.       Konstitusi/UUD Amerika Serikat tahun 1787 perubahannya dirumuskan dalam pasal V dari 7 pasal yang ada umumnya tiap-tiap pasal terdiri dari beberapa seksi dan tiap-tiap seksi terdiri lagi dalam beberapa ayat.

b.      Konstitusi/UUD Jepang 1946, perubahannya dimuat dalam Pasal 96 dari 102 pasal yang ada.

c.       Konstitusi/UUD Philipina tahun 1986, perubahannya dimasukkan dalam pasal XVII dari 18 pasal yang ada. umumnya terdiri dari seksi-seksi bahkan ada pasal pasal sampai 27 seksi, dan masih terdiri lagi dari beberapa ayat.

d.      Konstitusi/ UUD 1945 yang rumusan perubahannya dimuat dalam pasal terakhir yaitu dalam Pasal 37 yang terdiri dari beberapa ayat.

                        Ketentuan tentang adanya perubahan dalam Konstitusi/UUD dimaksudkan sebagai antisipasi terhadap kemungkinan perkembangan yang ada dalam masyarakat, sehingga kepentingan/kebutuhan dapat ditempuh melalui cara-cara yang konstitusional yang menurut teori Konstitusi disebut “Verfassüng Sanderung”. Bukan melalui cara yang sewenang-wenang atau inkonstitusional (Verfasüng Sewandlung) karena perubahan melalui cara-cara inkonstitusional sangat berbahaya dan akan menimbulkan ketegangan atau perlawanan dari rakyat.[28]

                                Oleh sebab itu ketentuan mengenai perubahan Konstitusi/UUD menurut teori Konstitusi merupakan bagian dari isi atau materi muatan. Konstitusi/UUD, dan seperti diketahui materi atau muatan dari suatu Konstitusi/UUD biasanya memuat 3 (tiga) hal pokok yang terdiri dari:

a.       Organisasi lembaga-lembaga negara

b.      Perlindungan hak asasi manusia dan

c.       Prosedur perubahan UUD itu sendiri                               

                        Menurut Sri Soemantri menyebutkan beberapa materi muatan dari UUD adalah:[29]

a.       Jaminan terhadap hak asasi manusia

b.      Susunan ketatanegaraan yang bersifat fundamental

c.       Pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang bersifat fundamental

                        Jadi perubahan UUD oleh Sri Soemantri yang memasukkan pembagian dan pembatasan ke dalam tugas ketatanegaraan yang bersifat fundamental. Sebenarnnya tidak ada perbedaan yang prinsipil dengan perubahan yang terdapat dalam teori Konstitusi hanya perbedaan redaksional saja. Sehubungan dengan perubahan Konstitusi atau UUD (baik penggantian maupun perubahan) biasanya karena terjadi perubahan yang mendasar tentang ketatanegaraan suatu negara dan perubahan-perubahan tersebut antara lain karena:[30]

a.       Runtuhnya rezim otoriter yang berkuasa yang digantikan oleh rezim otoriter yang baru sehingga perlu melakukan perubahan atau penggantian sesuai dengan keinginan rezim yang baru. Sedangkan UUD lama dianggap tidak sesuai dengan sistem ketatanegaraan yang baru. Contoh : penggantian Konstitusi/ UUD di Amerika dan Iran sebagai akibat kemenangan kaum pemberontak bersenjata mengalahkan rezim yang berkuasa.

b.      Runtuhnya suatu rezim otoriter yang berkuasa dan digantikan oleh kekuasaan yang demokratis, UUD yang lama diganti dengan yang baru karena tidak sesuai dengan semangat demokrasi dan pemerintahan baru berkuasa atas dasar pemilihan umum. Contoh di Filipina, penggantian rezim Marcos oleh Presiden Cory Aquino melalui Pemilu.

c.       Terjadinya perebutan kekuasaan oleh militer terhadap pemerintahan yang demokratis. Kemudian penguasa yang baru mengganti UUD sesuai keinginannya (rezim militer). Contoh di Pakistan perebutan kekuasan oleh militer. Pertama oleh Jenderal Ayub Khan, kedua oleh Jenderal Zia Ul Haq dan ketiga oleh Jenderal Pervez Nusharaf.

d.      Pemerintahan negara yang demokrasi Konstitusional yang terpilih secara demokratis dalam pemilu yang masa jabatannya dibatasi oleh UUD, tetapi karena ingin tetap memerintah seterusnya sehingga dia berusaha mengganti UUD yang lama dengan format politik yang baru, baik otokrasi maupun totaliter. Contoh: di Korea Selatan pada masa pemerintahan Park Chung Hee, yang akhirnya dia meninggal dibunuh oleh pengawalnya setelah sekian lama memerintah.

e.       Bertambah luasnya suatu negara sebagai akibat adanya wilayah yang bergabung atau munculnya negara baru yang berdaulat. Sehingga perlu perubahan UUD sesuai dengan kondisi baru. Contoh: Malaysia karena bergabungnya Kalimantan Utara (Sabah dan Serawak) dengan Malaya, maka Singapura menjadi negara berdaulat memisahkan diri dari Malaya.

                        Adanya kekuatan tuntutan rakyat pada suatu negara demokrasi (simbol demokrasi) yang ingin mengadakan perubahan sesuai kebutuhan zaman yang tidak dapat ditampung oleh UUD yang lama untuk itu perlu penggantian atau perubahan (amandemen) atau UUD yang lama, dan perubahan itu dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam UUD yang lama, jadi perubahan itu dilakukan secara Konstitusional. Contoh: Negara Republik Indonesia pada reformasi tahun 1998 yakni terjadi perubahan/ amandemen UUD 1945 sebanyak empat kali secara bertahap oleh MPR (periode 1999-2004) mulai dari tahap I 19 Oktober 1999, tahap II 18 Agustus 2000, tahap III 9 Oktober 2001 dan tahap IV 10 Agustus 2002.[31]

C.    Kesimpulan

            Dari uraian pembahasan di atas dapat diambil beberapa kesimpulan : Bahwa konstitusi memiliki beberapa sifat yang melekat padanya, yaitu : Sifat fleksibel dan rigit, yakni sifat suatu Konstitusi yang dalam Bahasa Indonesia dapat diterjemahkan luwes atau kaku, dengan menggunakan beberapa ukuran seperti mengatur hubungan antar lembaga negara dan mengatur hubungan kekuasaan antara lembaga-lembaga negara dengan warga negara dan termasuk di dalamnya sebagai isi Konstitusi adalah adanya perlindungan terhadap hak-hak warga negara. Istilah Konstitusi yang dikemukakan para ahli, seperti L.J. Van Apeldoorn membedakan antara Constitution dengan Grondwet (UUD), yakni Grondwet (UUD) adalah bagian yang tertulis dari Konstitusi sedangkan Constitution (Konstitusi) memuat peraturan-peraturan baik tertulis maupun tidak tertulis, sementara Sri Sumantri mengartikan Konstitusi sama dengan Undang -Undang Dasar. Hal ini sesuai dengan praktek ketatanegaraan di berbagai negara di dunia termasuk di Indonesia. Pandangan yang menyamakan antara Konstitusi dengan Grondwet (UUD) dipengaruhi oleh pemahaman kodifikasi yang menghendaki agar semua aturan hukum tertulis dalam rangka mencapai kesatuan hukum dan kepastian hukum.



                [1]Bintan Regen Saragih, Perubahan Penggantian dan Penetapan UUD di Indonesia, CV.Utomo Bandung 2006 h. 5.

                [2]Wiryono Prodjodikoro, Azas-azas Hukum Tata Negara di Indonesia, Dian Rakyat, Jakarta, 1989, h. 10.

                [3][3]Sri Sumantri M, Susunan Ketatanegaraan Menurut UUD 1945 Dalam Ketatanegaraan Indonesia Dalam Kehidupan Politik Indonesia, Sinar Harapan, Jakarta, 1993, h. 29.

                [4]Miriam, Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2009, h. 169.

                [5]Dahlan Thaib, Jazim Hamidi, Ni’matul Huda, Teori dan Hukum Konstitusi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, h. 3.

                [6][6]Miriam, Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, …, h. 169

                [7]Moh.Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negara, FHUI Jakarta, 1976, h. 65

                [8]Bintan Regen Saragih, Perubahan Penggantian dan Penetapan UUD di Indonesia, CV. Utama, Bandung, 2006, h. 4.

                [9]Dahlan Thaib, Jazim Hamidi, Ni’matul Huda, Teori dan Hukum Konstitusi, …, h.65

                [10]Jazim Hamidi, Malik, Hukum Perbandingan Konstitusi, Pustaka Press, Jakarta, 2008, h. 88.

                [11]Sayuti Una, Pergeseran Kekuasaan Pemerintahan Daerah menurut Konstitusi Indonesia (Kajian Tentang Distribusi Kekuasaan Antara Dprd Dan Kepala Daerah Pasca Kembali Berlakunya UUD 1945), VII Press, Yogyakarta, 2004, h. 41.

                [12]Parlin M. Mangunsang, Konversi Ketatanegaraan Sebagai Salah Satu Sarana Perubahan UUD, Alumni Bandung, 1992, h. 22.

                [13]Sri Sumantri M, Susunan Ketatanegaraan Menurut UUD, …, h. 35

                [14]Wiryono Prodjodikoro, Azas-azas Hukum Tata Negara di Indonesia, …, h. 56

                [15]Jimly Asshidiqie. Gagasan Kedaulatan Rakyat Dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia, Ichtiar Baru-Van Horve, 1994, h. 13.

                [16]Jazim Hamidi, Malik, Hukum Perbandingan Konstitusi, Prestasi Pustaka, Jakarta, 2008, h. 22.

                [17]Sayuti Una, Pergeseran Kekuasaan Pemerintahan Daerah, …, h.76

                [18]M. Solly Lubis, Hukum Tata Negara, Mandor Maju, Bandung, 2008, h. 27.

                [19]Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu…, h. 65

                [20]Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, (Alumni Bandung, 1979) h. 3.

                [21]Moch. Kusnardi, Harmailly Ibrahim, Pengantar Hukum……., h. 84

                [22]Bintan Regen Saragih, Perubahan Penggantian….., h. 14.

                [23]Sri Soemantri, Prosedur dan …., h. 51

                [24]Parlin M. Mangunsang, Konversi Ketatanegaraan Sebagai, …, h.  76

                [25]Moh.Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata, …., h. 76

                [26]M. Solly Lubis, Hukum Tata Negara, …, h. 77

                [27]Bintan Regen Saragih, Perubahan Penggantian….., h. 14.

                [28]Moh.Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata, …., h. 76

                [29]Sri Soemantri, Prosedur dan …., h. 51

                [30]Dahlan Thaib, Jazim Hamidi, Ni’matul Huda, Teori dan Hukum Konstitusi, …, h.65

                [31]Moch. Kusnardi, Harmailly Ibrahim, Pengantar Hukum……., h. 84


No comments:

Post a Comment

MAKALAH RIBA

  1.       Pengertian Riba Riba berasal dari bahasa arab yang artinya tambahan (زيادة ,(yang berarti tambahan pembayaran atas uang pokok ...