Followers

Tuesday, December 25, 2018

Makalah Ushul Fiqh istihsan


”MAKALAH USHUL FIQH”

“ISTIHSAN”










Dosen Pengampu : Dr. Toha Andiko M.Ag
Disusun Oleh:

Faizurrahman Keraf Ainussyamsi
NIM : 1711120058






FAKULTAS SYARIAH
PRODI HUKUM EKONOMI SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI BENGKULU
BENGKULU
2018
 



 

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Sumber hukum islam yang disepakati ulama’ adalah al Qur’an, Hadits, Ijma’. Qiyas. Jumhur ulama’ menyepakati keempat sumber hukum ini. Namun demikian masih terdapat beberapa ulama’ yang tidak sepakat terhadap kehujjahan qiyas dengan beberapa alasan.
Seiring perjalan waktu, perkembangan teknologi dan pengetahuan begitu pesat terjadi, sehingga muncul banyak permasalahan-permasalahan baru yang terkadang tidak cukup dengan keempat sumber hukum di atas. Atas dasar demikian muncul setelahnya beberapa metode istinbath hukum yang pada kelanjutannya diklaim sebagai sumber hukum yang dipercaya. Kemunculan sumber hukum yang baru tidak serta-merta diterima keabsahannya, sehingga tidak heran pro dan kontra tetap bermunculan bahkan hingga saat ini. Terlepas dari pro konta yang terjadi, jika melihat dari situasi dan kondisi masa ini modifikasi terhadap hukum islam merupakan sebuah keniscayaan.
 Di antara sumber hukum yang baru itu adalah istihsan. Istihsan yang merupakan dalil syariat yang prinsip dasarnya adalah kebaikan untuk umat, tentunya sangat dibutuhkan untuk setidaknya meredam permasalahan-permasalahan baru yang terjadi. Karena jika tetap berpegang pada sumber hukum yang empat dengan fanatisme buta, otomatis agama akan ditinggalkan karena tidak bisa mewadahi permasalahan-permasalahan baru yang terjadi.
Metode yang ditawarkan istihsan cukup konflek kendati tetap membutuhkanpengembangan-pengembangan yang signifikan. Jamal Ma’mur Asmani misalnya memandang bahwa istihsan merupakan keniscayaan untuk menerapkannya pada masa ini, hal itu mencakup seluruh bidang kehidupan (sosial, politik, ekonomi, budaya dan lain sebagainya) tentunya dengan modifikasi-modifikasi yang tidak bertentangan dengan syariat agama.
Dalam makalah sederhana ini, penulis akan membahas tentang istihsan, hal itu terkait dengan definisi dan pro kontra yang terjadi terhadapnya. Tidak ketinggalan pula kita akan mengkaji tentang pentingnya istihsan dalam kehidupan sekarang ini, yang mana kita temukan banyak sekali permasalahan-permasalahan kontemporer yang membutuhkan ijtihad hukum yang baru.
Ternyata tidak semua persoalan yang dijumpai masyarakat islam ketika itu dapat diselesaikan dengan wahyu. Dalam keadaan seperti ini, Nabi menyelesaikan dengan pemikiran dan pendapat beliau dan terkadang pula melalui permusyawaratan dengan para sahabat. Inilah yang kemudian dikenal dengan sunnah Rasul. Memang al-Qur’an hanya memuat perinsip-perinsip dasar dan tidak menjelaskan segala sesuatu secara rinci. Perinciannya khusus dalam masalah ibadat, diberikan oleh hadist. Sedangkan dalam bidang muamalat, perinsip-perinsip dasar itu, yang belum dijelaskan oleh Rasulullah SAW diserahkan kepada ummat untuk mengaturnya.[1]
Dengan demikian persoalan yang belum ada nasnya dalam al-Qur’an dan Hadist, para ulama mencoba memberikan solusi atau di istimbatkan hukumnya dengan berbagi metode, walaupun metode dalam berijtihad berbeda satu sama lain, ada yang memakai metode misalnya Istihsan tetapi ulama lain menolaknya. Dalam makalah ini akan dibahas tentang persoalan metode berijtihad oleh para ulama, namun dalam makalah ini pembahasan cukup difokuskan pada persoalan berijtihad dengan Istihsan.


B.     Rumusan Masalah
1.      Apa definisi dari Istihsan ?
2.      Bagaimana Macam-macam Istihsan beserta contohnya ?
3.      Bagaimana Kehujjahan Istihsan ?
4.      Apa Perbedaan Istihsan dengan Qiyas ?
C.    Tujuan
Makalah Istihsan ini memiliki beberapa tujuan, yakni:
1.      Untuk menginformasikan kepada Mahasiswa tentang gambaran umum/penjelasan tentang definisi-definisi istihsan
2.      Untuk memperdalam ilmu Ushl fiqh, maka makalah ini diharapkan dapat menjadi referensi sederhana terhadap salah satu bagian dari materi ushl fiqh
3.      Sebagai bahan tinjauan di masa yang akan datang.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Istihsan
Isitihsan menurut bahasa adalah menganggap baik terhadap sesuatu, sedangkan menurut istilah ulam ushul fiqh, istihsan adalah berpalingnya seorang mujtahid dari tuntunan qiyas yang jali (nyata) kepada tuntunan qiyas yang khafi (samar), atau dari hukum kulli (umum) kepada hukum istitsnai (pengecualian), kerana terdapat dalil yang mementingkan perpindahan.
Apabila ada kejadian yang tidak terdapat nash hukumnya, maka untuk menganalisisnya dapat menggyunakan dua aspek yang berbeda yaitu :
Pertama : Aspek nyata ( Zhahir) yang menghendaki suatu hukum
                tertentu.
Kedua : Aspek tersembunyi (Khafi) yang menghendaki hukum lain.
Dalam hal ini, apabila dalam diri mujtahid terdapat dalil yang mengunggulkan segi analisis yang nyata, maka ini disebut dengan istihsan, menurut istilah syara’. Demikian pula apabila ada hukum yang bersifat kulli (umum) namun pada diri mujtahid terdapat dalil yang menghendaki pengecualian juz’iyyah dari hukum kulli ( umum) tersebut, dan mujtahid tersebut menghendaki hukum juz’iyyah dengan hukum yang lain, maka hal teresebut menurut syara’ juga disebut dengan istihsan.[1]
B.     Macam-Macam Istihsan
1.      Istihsan Qiyasi
Istihsan Qiyasi adalah suatu bentuk pengalihan hukum dan ketentuan hukum yang didasarkan kepada qiyas jali ( nyata ) kepada ketentuan hukum yang didasarkan kepada qiyas khafi ( yang tersembunyi ), karena adanya alasan yang kuat untuk mengalihkan ketentuan hukum tersebut. Alasan kuat yang dimaksud disini adalah kemaslahatan. Istihsan dalam bentuk pertama inilah yang disebut dengan istihsan qiyasi[2]. Contoh dibawah ini akan lebih mendekatkan pemahaman kita kepada pengertian Istihsan dalam bentuk yang pertama ini.
Berdasarkan istihsan qiyasi yang dilandasi oleh qiyas khafi, air sisa minuman burung buas, adalah suci dan halal diminum, seperti : sisa minuman burung gagakatau burung elang. Padahal, berdasarkan qiyas jali, sisa minuman binatang buas, seperti anjing dan burung buas adalah najis dan haram untuk diminum, karena sisa minuman tersebut telah bercampur dengan air liurnya, yaitu dengan meng-qiyaskan kepada dagingnya. Sedangkan segi istihsannya bahwa jenis burung yang buas, meskipun dagingnya haram tetapi air liur yang keluar dari dagingnya tidaklah bercampur dengan sisa minumannya. Karena ia minum dengan menggunakan paruhnya sedangkan paruh adalah tulang yang suci. Adapun binatang buas maka ia minum dengan  lidahnya yang bercampur dengan air liurnya. Oleh karena inilah, sisa minumnya najis.[3]
Perbedaan hukum antara air sisa minuman burung buas dengan air sisa minuman binatang buas ini ditetapkan berdasarkan Istihsan qiyasi, yaitu mengalihkan ketentuan hukum dari hukum yang berdasarkan qiyas jali (najis dan haram), kepada hukum yang berdasarkan qiyas khafi (suci dan halal), karena adanya alasan yang kuat untuk itu, yaitu kemaslahatan.
Contoh lainnya Misalnya, kebolehan dokter melihat aurat wanita dalam proses pengobatan. Menurut kaidah umum seseorang dilarang melihat aurat orang lain. Tapi, dalam keadaan tertentu seorang harus membuka bajunya untuk didiagnosa penyakitnya. Maka untuk kemaslahatan orang tersebut, menurut kaidah istishan seorang dokter dibolehkan melihat aurat wanita yang berobat kepadanya.[4]
2.      Istihsan Istishna’i
Istihsan Istishna’I adalah qiyas dalam bentuk pengecualian dari ketentuan hukum yang berdasarkan prinsip-prinsip umum, kepada ketentuan hukum tertentu yang bersifat khusus, istihsan dalam bentuk yang kedua ini disebut dengan istihsan istishna’I. istihsan bentuk yang kedua ini terbagi menjadi beberapa macam yaitu sebagai berikut :
1)      Istihsan bi an-Nashsh
Istihsan bi an-Nashsh adalah pengalihan hukum dari ketentuan yang umum kepada ketentuan lain dalam bentuk pengecualian, karena ada nashsh yang mengecualikannya, baik nashsh tersebut Al-Qur’an maupun Sunnah.
Contoh istihsan bi an-Nashsh berdasarkan Nashsh Al-Qur’an adalah berlakunya ketentuan wasiat setelah seseorang itu wafat, padahal menurut ketentuan umum ketika orang yang telah wafat, ia tidak berhak lagi terhadap kartanya, karenanya telah beralih kepada ahli warisnya. Nyatanya, ketentuan umum tersebut dikecualikan oleh Al-Qur’an, antara lain termaktub dalam surah an-Nisa’ (4) : 12 :
Sesudah dipenuhi wasiat yang diwasiatkannya atau sesudah dibayar utangnya….[5]
Contoh istihsan bi an-Nash yang berdasarkan sunnah ialah, tidak batalnya puasa orang yang makan atau minum karena lupa, padahal menurut ketenutan umum, makan dan minum membatalkan puasa, nyatanya ketentuan umum tersebut dikecualikan berdasarkan hadits [6]:
Dari Abu Hurairah RA, katanya, Rasulullah SAW bersabda : “ Barangsiapa yang lupa sedang ia berpuasa, kemudian ia makan atau minum, maka hendaklah ia menyempurnakan puasanya, karena sesungguhnya Allah sedang memberi makan dan minum kepadanya”.
2)      Istihsan Bi al-Ijma’
Istihsan bi al-ijma’ adalah istihsan yang meninggalkan penggunaan dalil qiyas karena adanya ijma’ ulama yang menetapkan hukum yang berbeda dari tuntunan qiyas[7]. Sebagai contoh, ketetapan ijma’ tentang sahnya akad istishna’ ( perburuhann/pesanan). Menurut qiyas, semestinya akad itu batal. Sebab sasaran (obyek) akad tidak ada ketika akad itu dilangsungkan.
Akan tetapi karena transaksi model itu telah dikenal dan sah sepanjang zaman, maka hal itu dipandang sebagai ijma’ atau urf’Am (tradisi) yang dapat mengalahkan dengan dalil qiyas. Yang demikian ini berarti merupakan perpindahan suatu dalil ke dalil lain yang lebih kuat
3)      Istihsan bi al-Urf
Istihsan bi al-Urf  adalah pengecualian hukum dari prinsip syari’ah yang umum, berdasarkan kebiasaan yang berlaku. Contohnya ialah, menurut ketentuan umum mentapkan ongkos kendaraan umum dengan harga tertentu secara pukul rata, tanpa membedakan jauh atau dekatnya jarak tempuh, adalah terlarang. Sebab, transaksi upah-mengupah harus berdasarkan kejelasan pada obyek upah yang dibayar. Akan tetapi melalui istihsan, transaksi tersebut dibolehkan berdasarkan kebiasaan yang berlaku, demi menjaga jangan timbul kesulitan masyarkat dan terpeliharanya kebutuhan mereka terhadap transaksi tersebut.[8]
4)      Istihsan bi ad-Dharurah
Istihsan bi ad-Dharurah adalah istihsan yang disebabkan oleh adanya keadaan yang darurat (terpaksa) dalam suatu masalah yang mendorong seorang mujtahid untuk meninggalkan dalil qiyas. Seperti contoh menghukumkan sucinya air sumur atau kolam air yang kejatuhan najis dengan cara menguras airnya. Menurut ketentuan umum, tidak mungkin mensucikan sumur atau kolam hanya dengan mengurasnya. Sebab ketika air sedang dikuras mata air akan terus mengeluarkan air yang kemudian akan bercampur dengan air yang bernajis. Demikian juga dengan alat pengurasnya (timba atau mesin pompa air); ketika bekerja, air yang bernajis akan mengotori alat tersebut, sehingga air akan tetap najis. Akan tetapi, demi kebutuhan menghadapi keadaan darurat, berdasarkan istihsan, air sumur atau kolam dipandang suci setelah dikuras.[9]
5)      Istihsan bi al- Mashlahah Mursalah
Istihsan bi al- Mashlahah Mursalah adalah mengecualikan ketentuan hukum yang berlaku umum berdasarkan kemaslahatan, dengan memberlakukan ketentuan lain yang memenuhi prinsip kemaslhatan. Misalnya, menetapkan hukum sahnya wasiat yang ditujukkan untuk keperluan yang baik, dari orang yang berada dibawah pengampuan, baik karena ia kurang akal maupun karena berperilaku boros. Menurut ketentuan umum, tindakan hukum terhadap harta orang yang dibawah pengampuan tidak sah, karena akan mengabaikan kepentingannya terhadap hartanya. Akan tetapi, demi kemaslahatan, wasiat orang tersebut dipandang sah. Sebab, dengan memberlakukan hukum sah wasiatnya yang ditujukkan untuk kebaikan,maka hartanya akan tetap terpelihara. Apalagi mengingat bahwa hukum berlakunya wasiat adalah setelah ia wafat; tentu hal itu tidak menganggu kepentingan orang yang berwasiat tersebut. Oleh karena itu, ketentuan umum yang berlaku dalam harta orang yang dibawah pengampunan dikecualikan khusus yang berkaitan dengan wasiat.[10]
C.    Kehujjahan Istihsan
Dari definisi istihsan dan penjelasan terhadap kedua macam, jelaslah pada hakekatnya istihsan bukan sumber hukum yang berdiri sendiri. Karena hukum-hukum tersebut pada bagian pertama berasal dari qiyas khafi (tersembunyi)  yang mengalhkan terhadap qiyas jali (jelas).
Karena adanya beberapa faktor yang menenangkan hati para mujtahid yaitu dari segi istihsan. Sedangkan bagian kedua dari istihsan, hukum-hukmnya antara lain berupa dalil maslahat yang menuntut pengecualian juz’iyyah dari hukum kulli (umum) dan ini juga disebut dengan segi istihsan.
Hujjah Istihsan kebanyakan digunakan oleh kalangan ulama Hanafiyah, alasan mereka ialah bahwa mencari dalil dengan istihsan hakikatnya merupakan Istidlal (mencari dalil). Dengan dasar qiyas yang tersembunyi, yang lebih diungguli dari qiyas yang nyata. Atau sebagai upaya mengunggulkan suatu qiyas dengan qiyas lain yang berlawanan dengan berdasarkan suatu dalil yang bisa diandalkan atau merupakan Istidlal dengan jalan mashlahah mursalah berdasarkan pengcualian juz’iyyah dari hukum kulli ( umum), semua ini merupakan istidlal yang sahih.[11]
D.    Perbedaan Istihsan dengan Qiyas
Dari beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ulama diatas, dapat disimpulkan bahwa Istihsan adalah penggunaan maslahat juziyyah pada suatu kasus tertentu yang berlawanan dengan qiyas ‘am. Dalam hal ini para ulama memberikan beberapa contoh diantaranya  :
1.      Menurut qiyas, saksi-saksi pada setiap kasus yang diajukan kedepan pengadilan haruslah orang-orang yang adil. Sebab dengan sifat adil itulah seseorang dapat dinilai jujur atau tidaknya sehingga kesaksiannya dapat dijadikan landasan keputusan hakim. Akan tetapi, seandainya dalam suatu negara, seorang hakim/qadhi tidak menemukan orang yang adil, maka ia wajib menerima kesaksian orang yang secara umum dipandang dapat dipercaya ucapnnya, sehingga dengan demikian dapat dicegah timbulnya kejahatan-kejahatan, baik terhadap harta benda maupun manusia/ individu.
Demikian beberapa contoh istihsan yang pada intinya berkisar pada pencegahan pemakaian qiyas secara berlebihan yang menjurus kearah yang tidak proporsional (qabih).[12]

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Istihsan pada dasarnya adalah ketika seorang mujtahid lebih cenderung dan memilih hukum tertentu dan meninggalkan hukum yang lain disebabkan satu hal yang dalam pandangannya lebih menguatkan hukum kedua dari hukum yang pertama. Artinya, persoalan  khusus yang seharusnya tercakup ada ketentuan yang sudah jelas, tetapi karena tidak memungkinkan dan tidak tepat diterapkan, maka harus berlaku ketentuan khusus sebagai pengecualian dari ketentuan umum atau ketentuan yang sudah jelas.
2.      Istihsan dipandang dari berbagai segi banyak macamnya. Hal ini dapat dilihat dari segi dalil yang ditinggalkan dan dalil yang dijadikan gantinya, dan adakalanya dari segi sandaran atau dasar yang diikutinya saat beralih dari qiyas.
a.        Dilihat dari segi dalil yang ditinggalkan dan dalil yang dijadikan gantinya istihsan.
b.       Ditinjau  dari segi sandaran atau dalil yang menjadi dasar dalam peralihan dari qiyas
c.        Ulama ushul dari kalangan malikiyah dikenal pula istihsan yang dalam prakteknya dinamai dengan istislah





Dafar Pustaka

Wahab. Abdul. Khallaf, 1994, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang : PT. Dina Utama

Rahman. Abd. Dahlan, 2016, Ushul Fiqh, Jakarta : Amzah

Abu. Muhammad. Zahrah, 1999, Jakarta : Pustaka Firdaus

http://al-badar.net/pengertian-dan-kedudukan-istihsan-sebagai-hukum/
 

 



[1]A bdul Wahab Khalaf, ilmu Ushul Fiqh, Toha Putra Group, 1994,) h. 131
[2]  Abd. Rahman Dahlan,Ushul Fiqh Cet.4,( Jakarta : Amzah 2016), h.198
[3] Abdul Wahab Khalaf, ilmu Ushul Fiqh, (Toha Putra Group, 1994), h. 134
[4] M uhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh,( Jakarta : PT. Firdaus Pustaka), h 406
[5] Kementrian agama RI, Al-Qur’an Terjemah dan Tajwid (Jawa Barat, Sygma creative media corp, 2014),  an-Nisa’, (12).
[6] Abd. Rahman Dahlan,Ushul Fiqh Cet.4,( Jakarta : Amzah 2016), h.200
[7] Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh,( Jakarta : PT. Firdaus Pustaka), h 409
[8] Abd. Rahman Dahlan,Ushul Fiqh Cet.4,( Jakarta : Amzah 2016), h.202
[9] M uhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh,( Jakarta : PT. Firdaus Pustaka), h 409
[10] Abd. Rahman Dahlan,Ushul Fiqh Cet.4,( Jakarta : Amzah 2016), h.203
[11] Abdul Wahab Khalaf, ilmu Ushul Fiqh, (Toha Putra Group, 1994), h. 136
[12] M uhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh,( Jakarta : PT. Firdaus Pustaka), h 403
 





[1] Febri Hukum, Istihsan,  diakses dari : http://febriramadhanii.blogspot.com/2015/02/makalah-istihsan_12.html/ pada tanggal 18 November 2018, pukul 10.34 WIB

No comments:

Post a Comment

MAKALAH RIBA

  1.       Pengertian Riba Riba berasal dari bahasa arab yang artinya tambahan (زيادة ,(yang berarti tambahan pembayaran atas uang pokok ...