MAKALAH
PERSAMAAN MAKNA KONSTITUSI DENGAN UNDANG UNDANG DASAR TAHUN 1945 DI DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA
KATA PENGANTAR
Segala puja dan puji bagi Allah SWT yang selalu mencurahkan limpahan rahmat, taufik dan hidayah-Nya, shalawat serta salam kita sampaikan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW, juga untuk keluarganya, sahabatnya dan umatnya sampai akhir zaman. Berkat taufik dan petunjuk dari Allah SWT, alhamdulillah penulis dapat menyelesaikan tulisan ini yang berjudul: “Persamaan Makna Konstitusi Dengan Undang Undang Dasar Tahun 1945 Di Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia”. Walaupun telah berusaha semaksimal mungkin, penulis menyadari bahwa penulisan ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu kritik, saran, dan perbaikan dari Dosen pengampu sangat penulis harapkan, agar bisa dijadikan pedoman untuk penulisan yang lebih sempurna.
Bengkulu, 05 Januari 2021
Penulis
A.
Latar
Belakang
Perkembangan
sejarah ketatanegaraan modern menyamakan pengertian Konstitusi dengan
Undang-Undang Dasar tidak hanya semata-mata akibat aliran kodifikasi tetapi
jauh sebelumnya sejak Oliver Crom Well
menjadi Lord Protectorat tahun 1660 Grundgezetz (Undang-Undang Dasar) telah
disamakan dengan Instrumens of Government
yaitu pegangan/acuan untuk memerintah, sejak itulah timbul identifikasi tentang
pengertian Undang-Undang Dasar dan Konstitusi ternyata memiliki prinsipprinsip
dasar yang sama, sehingga pada tahun 1687 pengertian Konstitusi yang
dikemukakan Crom Well diambil alih oleh Amerika Serikat. Kemudian dimasukkan ke
Perancis oleh Lafayette pada tahun 1789.[1]
Untuk perkembangan berikutnya di
Indonesia juga mengadopsi pengertian Konstitusi disamakan dengan Undang-Undang
Dasar, hal ini dapat dijumpai dalam penyebutan Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia Serikat (Konstitusi RIS), sedangkan yang lain di samping adanya UUD
1945 ada juga sebutan UUDS Tahun 1950. Dengan demikian dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia terdapat beberapa istilah dalam penjelasan UUD Negara Republik
Indonesia yang perlu mendapat penegasan dalam pengertiannya adalah
Undang-Undang Dasar, Konstitusi dan Hukum Dasar.[2]
Lain halnya dalam ilmu politik para
ahli menafsirkan bahwa Konstitusi (Constitution)
dalam arti yang lebih luas yakni sebagai keseluruhan aturan baik tertulis
maupun tidak tertulis yang mengatur secara mengikat tentang tata cara lembaga
negara dalam menyelenggarakan pemerintahan sedangkan Undang-Undang Dasar
merupakan suatu naskah yang menjabarkan kerangka dasar tugas pokok dan fungsi
dari badan/lembaga negara yang diberikan mandat dalam menyelenggarakan
pemerintahan baik legislatif, eksekutif maupun yudikatif. Kemudian dalam paham
Konstitusialisme ini pula memberikan batasanbatasan terhadap kewenangan yang
diberikan terhadap lembaga/badan negara dalam menyelengarakan fungsi
pemerintahan yang menyangkut hak-hak warga negara karena hak-hak yang dimiliki
warga negara merupakan bagian integral yang harus dihargai/hormati oleh
penguasa. Kemudian prinsip-prinsip tentang hubungan antar warga negara dengan
pemerintah harus diketahui hak dan kewajiban masing-mas-ing baik oleh warga
negara maupun pemerintah.
Dari uaraian di atas, penulis
tertarik untuk mengupas dan mengetahui Apakah konstitusi identik dengan
Undang-undang Dasar;; Bagaimana sifat dan fungsi konstitusi. Untuk dapat
mengetahui hal di atas, metode penelitian yang digunakan adalah
normatif-filosofis. Konstitusi bukan diandaikan hanya sebagai hukum yang direduksi
sebagai peraturan semata (law as it is
written in the books), melainkan didudukan di ranah sollen sebagai nilai
yang ideal (law as what ought to be).
Implikasinya, penelitian ini tidak selesai pada pembacaan undang-undang dasar,
melainkan masuk pada nilai yang terkandung di dalamnya.[3]
B. Pembahasan
1. Istilah
Konstitusi
Sejak
abad pertengahan sudah berkembang istilah Konstitusi yang memiliki beberapa
makna yang terdapat pada beberapa literatur hukum tata negara Indonesia
seperti, kata Konstitusi berasal dari bahasa Perancis (Constituer) yang berarti membentuk. Pemakaian istilah Konstitusi
yang dimaksud ialah pembentukan suatu negara atau menyusun dan menyatakan
terbentuknya suatu negara). Sedangkan istilah Undang-Undang Dasar merupakan
terjemahan dari Bahasa Belanda (grondwet),
dan perkataan wet diterjemahkan dalam
Bahasa Indonesia adalah undang-undang dan gron berarti tanah atau daerah.[4]
Di
negara-negara yang berbahasa Inggris sebagai bahasa nasionalnya disepakati
istilah Constitution yang dalam
bahasa Indonesianya disebut Konstitusi . Pengertian Konstitusi dalam praktek
dapat berarti lebih luas dari pada Undang-Undang Dasar, tetapi ada juga yang
menyamakan dengan Undang-Undang Dasar. Bagi para sarjana ilmu politik istilah Constitution merupakan sesuatu yang
lebih luas yaitu keseluruhan dari peraturan-peraturan baik yang tertulis maupun
yang tidak tertulis yang mengikat cara-cara bagaimana sesuatu pemerintahan
diselenggarakan dalam suatu masyarakat).
Dalam
bahasa latin kata Konstitusi merupakan gabungan dari dua kata yaitu cume dan statuere adalah sebuah preposisi yang berarti ”………bersama
dengan…….”. Sedangkan statuere berasal dari kata sta yang membentuk kata kerja
pokok stare yang berarti berdiri.
Atas dasar itu maka kata statuere
mempunyai arti “membuat sesuatu agar berdiri atau menetapkan/ mendirikan”.
Dengan demikian bentuk tunggal (Constitution)
berarti menetapkan sesuatu secara bersama-sama dan dalam bentuk jamak (Constitutiones) yang berarti segala
sesuatu yang telah ditetapkan).[5]
Berdasarkan
beberapa istilah Konstitusi yang dikemukakan para ahli tersebut maka pandangan
L. J. Van Apeldoorn membedakan antara Constitution
dengan Grondwet (UUD), yakni Grondwet (UUD) adalah bagian yang
tertulis dari Konstitusi sedangkan Constitution
(Konstitusi) memuat peraturan-peraturan baik tertulis maupun tidak tertulis,
sementara Sri Sumantri dalam desertasinya mengartikan Konstitusi sama dengan
Undang-Undang Dasar. Hal ini sesuai dengan praktek ketatanegaraan di berbagai
negara di dunia termasuk di Indonesia. Pandangan yang menyamakan antara
Konstitusi dengan Grondwet (UUD)
dipengaruhi oleh pemahaman kodifikasi yang menghendaki agar semua aturan hukum
tertulis dalam rangka mencapai kesatuan hukum, kepastian hukum dan
kesederhanaan hukum sehingga setiap aturan hukum, karena penting maka harus
ditulis.[6]
2. Pengertian
Konstitusi
Dalam
beberapa buku literatur ada anggapan umum bahwa pengertian Konstitusi sama
dengan Undang-Undang Dasar, hal ini merupakan suatu kekhilafan dalam pandangan
mengenai Konstitusi pada negara-negara modern yang dipengaruhi oleh paham
kodifikasi yang menghendaki agar semua peraturan hukum karena pentingnya
sehingga Konstitusi yang ditulis itu disamakan dengan UUD. Dalam pandangan
Herman Heller mengemukakan bahwa Konsitusi memiliki arti yang lebih luas dari
UUD, sehingga dalam uraian selanjutnya diadakan pembagian dalam tiga bagian
sebagai berikut:[7]
a. Konstitusi
dalam pengertian sosiologis dan politis, dalam pengertian ini Konstitusi
mencerminkan kehidupan politik di dalam masyarakat sebagai suatu kenyataan (Die Politische Verfassung Als Gesell
Schaftliche Wirklich Keit), jadi Konstitusi belum dalam arti yuridis.
b. Konstitusi
dalam arti kesatuan kaidah yaitu Konstitusi merupakan suatu kesatuan kaidah
yang hidup dan berkembang dalam masyarakat yang mengandung arti yuridis (Die Verselbstandingte Rechtverfassung).
c. Konstitusi
yang tertulis dalam suatu naskah sebagai undang-undang yang tertinggi berlaku
dalam suatu negara (Die Geschrieben
Verfassung)
Jika
diperhatikan pendapat Herman Heller di atas maka dapat disimpulkan bahwa,
Undang-Undang Dasar merupakan bagian dari Konstitusi yang tertulis sedangkan
Konstitusi di samping yang bersifat yuridis termasuk juga di dalamnya
mengandung pengertian secara sosiologis dan politis. Dengan demikian maka
Konstitusi tidak hanya dipahami secara sederhana tetapi dalam makna yang lebih
luas artinya, karena negara memiliki tugas dan tanggung jawab yang sangat
kompleks dan mendasar. Maka harus diatur secara jelas dan tegas oleh negara. Di
samping itu dalam perkembangan ilmu pengetahuan, Konstitusi telah dilakukan
berbagai pendekatan baik dari kajian hukum, tatanegara maupun ilmu politik,
oleh sebab itu dalam berbagai penafsiran para ahli Konstitusi itu bisa memiliki
muatan politik dan hukum, dan bahkan ada yang lebih bermuatan politis dari pada
bermuatan hukum atau yuridis.[8]
Di
samping itu seorang pakar berikutnya yaitu Lasale memberikan pengertian bahwa
Undang-Undang Dasar lebih sempit dari pada Konstitusi dan membagi Konstitusi
dalam dua pengertian yaitu:[9]
a. Konstitusi
merupakan hubungan antara kekuasaan yang terdapat dalam masyarakat yakni
pemerintah dan warga negara (fakta riil), misalnya Presiden, militer,
partai-partai politik, presure group, buruh, warga masyarakat dan sebagainya.
b. Konstitusi
adalah apa yang ditulis di atas kertas mengenai lembaga-lembaga negara dan
prinsip-prinsip pemerintahan yang berlaku dalam suatu negara (fakta formal).
Dalam berbagai pandangan
tentang Konstitusi yang dikemukakan di beberapa literatur, C.F Strong dalam
bukunya yang berjudul Modern Political Constitutions an Introduction To The
Convarative Study of Their History And Existing Form, mengemukakan : “…….. A constitution may be said to be a
collection Of principles according to wich the powers of the government, the
rights of governed, and the relations between the are adjusted“.
Dalam definisi yang
dikemukakan oleh C.F Strong terdapat tiga unsur yang sangat penting yaitu
mengenai prinsip-prinsip kekuasaan pemerintahan, mengenai prinsip-prinsip hak-hak
warga negara dan prinsip-prinsip hubungan antara warga negara dengan
pemerintah, prinsip-prinsip tentang kekuasaan pemerintahan (The Principles According To The Government)
akan menjelaskan kepada siapa kekuasaan penyelenggaraan negara diserahkan, apakah
kekuasaan akan diberikan kepada satu tangan/lembaga atau diberikan kepada
beberapa lembaga negara yang sedang menjalankan kekuasaan, prinsip-prinsip
tentang hak-hak warga negara (The
Principles According To The Rights of The Governed), pada prinsipnya hak-hak
yang dimiliki warga negara merupakan bagian integral yang harus
dihargai/hormati oleh penguasa. Kemudian prinsip-prinsip tentang hubungan antar
warga negara dengan pemerintah (The
Principles According To The Relations Between The Governed And The Government).[10]
Dalam prinsip-prinsip
ini harus diketahui hak dan kewajiban diantara masing-masing baik warga negara
maupun pemerintah. Selain itu salah satu pakar Konstitusi modern K.C Wheare
dalam bukunya Modern Constitutions
mengemukakan bahwa selain dipahami sebagai istilah untuk menggambarkan
keseluruhan sistem pemerintahan suatu negara, juga sebagai kumpulan aturan yang
membentuk dan mengatur atau menentukan pemerintahan negara yang bersangkutan[11].
Dengan demikian dijumpai
dua dimensi pemahaman yang diberikan yaitu:[12]
pertama, Konstitusi merupakan gambaran keseluruhan sistem pemerintahan dalam
suatu negara (The Whole System of
government A Country) artinya Konstitusi menggambarkan apakah bentuk negara
dan sistem pemerintahan yang digunakan. Kedua, Konstitusi merupakan kumpulan
aturan yang membentuk dan mengatur pemerintahan suatu negara (The Collection Of Rulles Wich Establish And
Regulate or Govern The Government) artinya dalam dimensi kedua ini,
merupakan seperangkat aturan tentang bagaimana pelaksanaan keseluruhan sistem
pemerintahan suatu negara dan seperangkat aturan bagaimana pembagian kekuasaan
antara lembaga-lembaga negara, pengaturan tugas dan fungsi lembaga-lembaga
tersebut, serta pengaturan hak dan kewajiban antara negara dan rakyat dan sebagainya,
kedua dimensi ini merupakan satu kesatuan dalam pengertian Konstitusi.
Jika dibandingkan
pandangan kedua ahli Konstitusi tersebut di atas antara C.F strong dengan K.C
Wheare, khusus dimensi kedua dari pandangan K.C Wheare, bahwa Konstitusi dipahami
sebagai seperangkat aturan, timbul konotasi atau pemahaman bahwa yang dimaksud
adalah Konstitusi dalam pemahaman sempit yaitu tertuju pada aturan-aturan yang
tertulis yang dijadikan dasar dalam penyelenggaraan pemerintahan dengan
mengesampingkan aturan-aturan yang tidak tertulis dalam penyelenggaraan
pemerintahan suatu negara, untuk itu harus ditegaskan bahwa, dalam perkembangan
situasi dan kondisi yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, Konstitusi harus
bisa mengakomodasi aturanaturan yang tidak tertulis seperti kebiasaan-kebiasaan
yang hidup dan berkembang di masyarakat bisa dijadikan acuan/ dasar dalam
penyelenggaraan pemerintahan.[13]
Dengan demikian menyadari munculnya pemahaman
Konstitusi dalam arti sempit Wheare kemudian menegaskan supaya Konstitusi harus
dipahami sebagai seperangkat aturan yang bersifat legal dan non legal atau
ekstra legal. Bersifat legal merupakan aturan-aturan yang
diterapkan/dilaksanakan oleh pengadilan. Sedangkan yang bersifat non legal/ektra legal dapat berupa
kebiasaan, kesepakatan tertentu atau konvensi yang memiliki peranan yang cukup
efektif dalam penyelenggaraan pemerintahan, sehingga kekhawatiran akan adanya
ketidak mapanan untuk membuat aturan-aturan keseluruhan sistem pemerintahan
negara dalam bentuk hukum tertulis (Partly-Legal)
dapat dihindari dengan menggunakan sarana aturan tidak tertulis (Party Non Legal Or Extra Legal).
Sedangkan
pandangan Strong tentang Konstitusi bukan hanya ketentuan mengenai kekuasaan
pemerintahan saja namun termasuk juga hak-hak warga negara dan hubungan antara
warga negara dengan pemerintah. Dari sisi persamaan kedua pandangan tersebut
dalam hal menetapkan Konstitusi sebagai seperangkat aturan, Strong meskipun
tidak menyebutkannya secara terperinci seperti Wheare bahwa Konstituti sebagai perangkat
aturan (The Collectiuon of Rulles)
namun dengan mengutip pendapat James Bryce yang mengatakan bahwa Konstitusi
sebagai suatu susunan kehidupan kenegaraan (politik) yang diorganisasikan
melalui dan oleh hukum. Jelaslah Strong menganggap Konstitusi sebagai perangkat
aturan. [14]
Walaupun
dalam definisi sendiri mengatakan sebagai sekumpulan prinsip (A Collection of Principle) Berdasarkan
beberapa pendapat para ahli tentang pengertian Konstitusi seperti di atas dapat
ditarik kesimpulan bahwa pengertian Konstitusi meliputi Konstitusi tertulis dan
tidak tertulis, Undang-Undang Dasar merupakan Konstitusi tertulis. Adapun
batasan-batasan yang dapat dijadikan rumusan dalam pengertian tersebut adalah
sebagai berikut:[15]
a.
Suatu kumpulan
kaidah yang memberikan batasan-batasan kekuasaan kepada para
penguasa/penyelenggara negara.
b.
Suatu dokumen
tentang pembagian tugas dan wewenang sekaligus sebagai petugas dari sistem
politik yang berlaku.
c.
Suatu deskripsi
dari lembaga-lembaga negara.
d.
Suatu diskripsi
yang menyangkut jaminan pelaksanaan hak-hak asasi manusia.
Dalam
perkembangan sejarah Konstitusi menyamakan pengertian Konstitusi dengan
Undang-Undang Dasar tidak hanya semata-mata akibat aliran kodifikasi tetapi
jauh sebelumnya sejak Oliver Crom well
menjadi Lord Protectorat tahun 1660 grundgezetz (Undang-Undang Dasar) telah
disamakan dengan Instrumens of government
yaitu pegangan/acuan untuk memerintah, sejak itulah timbul identifikasi tentang
pengertian Undang-Undang Dasar dan Konstitusi ternyata memiliki prinsip-prinsip
dasar yang sama. Sehingga pada tahun 1687 pengertian Konstitusi yang
dikemukakan Crom Well diambil alih oleh Amerika Serikat. Kemudian dimasukkan ke
Prancis oleh Lafayette pada tahun 1789.[16]
Untuk
selanjutnya perkembangan berikutnya di Indonesia juga mengadopsi pengertian
Konstitusi disamakan dengan Undang-Undang Dasar, hal ini dapat dijumpai dalam
penyebutan Undang-undang Dasar Republik Indonesia Serikat (Konstitusi RIS),
sedangkan yang lain di samping adanya UUD 1945 ada juga sebutan UUDS Tahun 1950.
Dengan demikian dalam sistem ketatanegaraan Indonesia terdapat beberapa istilah
dalam penjelasan UUD Negara Republik Indonesia yang perlu mendapat penegasan
dalam pengertiannya adalah Undang-Undang Dasar, Konstitusi dan Hukum Dasar.
kumen yang memuat aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan hukum yang pokokpokok
atau dasar-dasar yang bersifat tertulis yang menggambarkan tentang sistem
ketatanegaraan suatu negara.[17]
Konstitusi
adalah dokumen yang memuat aturan-aturan hukum dan ketentuanketentuan hukum
yang pokok-pokok atau dasar-dasar yang sifatnya baik tertulis maupun tidak
tertulis yang menggambarkan tentang sistem ketatanegaraan suatu negara. Hukum
dasar adalah ketentuan-ketentuan dasar atau aturan-aturan dasar yang timbul,
terpelihara dan berkembang dalam praktek penyelenggaraan negara, meskipun
sifatnya tidak tertulis.[18]
3.
Nilai, Sifat dan
Fungsi Konstitusi
a.
Nilai Konstitusi
Apabila dicermati kata
Konstitusi yang berasal dari Bahasa Perancis yaitu Constituer yang maknanya
adalah pembentukan suatu negara atau menyusun dan menyatakan terbentuknya suatu
negara, maka nilai Konstitusi itu sangat penting karena ada atau tidak adannya
negara tergantung dari konstutusi suatu negara. Menurut Sri Soemantri dalam
disertasinya, tidak ada satu negara pun di dunia sekarang ini yang tidak
mempunyai Konstitusi atau Undang-Undang Dasar. Negara dan Konstitusi merupakan
dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Bahkan lebih tegas
dinyatakan bahwa tanpa Konstitusi, negara tidak ada.
Dalam sejarah
perkembangan Konstitusi dari dunia barat, Konstitusi merupakan suatu alat
pembatas kesewenang-wenangan penguasa yang dapat menjamin hakhak rakyat serta
mengatur jalannya pemerintahan, yang dapat membangkitkan paham kebangsaan
sebagai kekuatan bersama dan lahirnya demokrasi sebagai paham politik yang maju
dan berkembang, serta Konstitusi sebagai sarana konsolidasi untuk menentukan
kedudukan hukum dan politik bagi rakyat dalam mencapai cita-cita dalam
berbangsa dan bernegara. Dengan begitu pentingnya Konstitusi di zaman modern
ini maka tidak hanya memuat aturan-aturan hukum saja tetapi juga merangkum dan
merencanakan kebijakan politik. [19]
Hukum negara yang
dijadikan dasar untuk mengikat penguasa dalam penyelenggaraan pemerintah. Dalam
politik ketatanegaraan, bahwa Konstitusi yang memuat aturan-aturan tertulis
dalam penyelenggaraan pemerintahan suatu negara, sering terjadi tidak
dilaksanakan pasal-pasal Konstitusi tersebut secara sempurna (utuh) karena
adanya kecenderungan dalam pelaksanaannya sering dikaitkan dengan kepentingan
pribadi atau golongan para penguasa/penyelenggara negara. Sehubungan dengan
masalah tersebut maka Karl Lowenstein mengadakan penyelidikan tentang arti
sebenarnya dari Konstitusi tertulis dalam lingkungan spesifik terutama bagi
rakyat biasa, sehingga KarlLoewenstein mengadakan tiga jenis penilaian:[20]
1)
Konstitusi
memiliki nilai normative
2)
Konstitusi
memiliki nilai nominal
3)
Konstitusi
memliki nilai semantic
b.
Sifat dan Fungsi
Konstitusi
Mengenai uraian
Konstitusi berikut ini akan dibahas beberapa sifat yang melekat pada Konstitusi
seperti: sifat yang fleksibel (luwes) atau rigit (kaku), seperti tertulis dan
tidak tertulis.
1)
Sifat Fleksibel
Fleksibel dan rigit
adalah sifat suatu Konstitusi yang dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan
luwes atau kaku, untuk menentukan apakah sesuatu Konstitusi bersifat fleksibel
atau rigit.[21]
2)
Konstitusi
Tertulis dan Tidak Tertulis
Sebagaimana dikemukakan di muka pada waktu membahas
istilah Konstitusi bahwa Konstitusi berasal dari kata Constituer (Bahasa Perancis) yang memiliki makna/arti membentuk.
Dalam hal ini adalah pembentukan suatu negara atau menyusun/menyatakan
berdirinya negara sebagaimana dikemukakan oleh Wiryono Prodjodikoro bahwa
konstitusi memuat peraturan-peraturan pokok (fundamental) mengenai soko guru
atau sendi-sendi utama untuk menegakkan bangunan besar yang namanya negara.
Pondasinya itu harus kuat dan tidak mudah runtuh agar bangunan yang namanya
negara itu tetap berdiri kukuh. Pada beberapa Konstitusi negara-negara di dunia
ada yang memiliki Konstitusi tertulis (Written
Constitution) dan ada Konstitusi yang tidak tertulis (Unwritten Constitution). Tertulis dinamakan Undang-Undang Dasar (UUD-Grondwet).[22]
Seperti UUD Republik
Indonesia Tahun 1945 dan UUD Amerika Serikat. Sedangkan yang tidak tertulis
adalan Konstitusi berupa konvensi atau kebiasaan dalam ketatanegaraan yang
diselenggarakan pada berbagai negara di dunia seperti yang dijumpai pada
praktek penyelenggaraan negara yang menganut sistem parlementer adalah
merupakan konvensi (kebiasaan ketata negaraan). Menteri-menteri akan meletakkan
jabatannya jika kepadanya diajukan mosi tidak percaya oleh DPR. Kemudian
merupakan konvensi juga bagi partai politik yang menarik kembali (merecall)
utusannya dari DPR jika utusan tersebut tidak memenuhi aspirasi politik
partainya. Di Inggris norma-norma itu semua ditemukan tersebar pada
lembaga-lembaga kenegaraan dan hak-hak asasi manusia ditemukan di berbagai
undang-undang biasa, dalam adat kebiasaan yang hidup dan berkembang dalam
masyarakat dan kehidupan bernegara. Contoh-contoh dokumen di Inggris yang dapat
dikategorikan sebagai undangundang biasa adalah:[23]
a)
Magna Charta Libertatum tahun 1215 yang ditandatangani oleh Raja John atas
desakan golongan bangsawan. Naskah ini bersifat feodal tetapisangat penting
karena pertama kali raja mengakui hak-hak bangsawan bawahananya.
b)
Bill of Right
tahun 1969 dan Act of Settlement
tahun 1701. Kedua undang undang ini merupakan kewenangan parlemen melawan raja
Dinasti Stuart karena memindahkan kedaulatan dari tangan raja ke tangan
parlemen (King in Parliamant).
c)
The Parliamant Act
tahun 1911 dan 1949. Kedua undang-undang ini membatasi kekuasaan majelis tinggi
(House of Lords) dan menetapkan
supremasi majelis rendah (House of
Commons). Artinya House of Lord
dalam beberapa hal tertentu dilarang menolak rancangan undang-undang yang telah
diterima oleh House of Commons.
d)
Beberapa
keputusan hakim yang merupakan tafsiran pada beberapa undangundang parlemen.
e)
Konvensi-konvensi
(aturan-aturan lain berdasarkan teradisi) yang mengatur hubungan antara kabinet
dan parlemen.
Sedangkan di Indonesia
contoh-contoh Konstitusi tertulis yang berjalan berturutturut dalam tiga buah
Undang-Undang Dasar dalam empat tahap yaitu :[24]
a)
UUD 1945 dari
tahun 1945 s/d tahun 1949
b)
UUD RIS 1949
dari tahun 1949 s/d tahun 1950
c)
UUDS 1950 dari
tahun 1950 s/d tahun 1959
d)
UUD 1945 kembali
dari tahun 1959 s/d sekarang
4.
Perubahan
Konstitusi
Istilah kata “perubahan”
dalam perubahan Konstitusi berasal dari kata “rubah” dan kata kerja merubah.
Menurut Sri Soemantri kata mengubah Konstitusi/UUD sama dengan “mengamandemen
Konstitusi/UUD”. Pendapat ini didasarkan pada istilah bahasa Inggris (“Constitution Amandement” yang artinya
mengubah UndangUndang Dasar).
Apabila melihat
perkembangan Undang-Undang Dasar 1945, maka kata merubah UUD yang tercantum
dalam Pasal 37 adalah dapat menambah pasal-pasal yang sudah ada dan
memungkinkan juga menambah pasal-pasal baru yang belum diatur dalam UUD 1945.
Jika MPR selaku lembaga yang berwenang merubah UUD, ingin melakukan perubahan,
supaya memperhatikan azas-azas yang telah ditetapkan dalam pembukaan UUD 1945.
Jangan sampai perubahan
itu membawa akibat bergantinya UUD 1945 dengan UUD yang lain. Hal ini perlu
dipertegas karena berdasarkan sejarah ketatanegaraan Indonesia pernah terjadi
penggantian UUD yakni dari UUD 1945 ke Konstitusi RIS tahun 1949, dan dari
Konstitusi RIS ke UUDS 1950. Di sini terjadi perubahan yang asasi yakni dari
negara kesatuan menjadi susunan negara federal dan kembali lagi menjadi susunan
negara kesatuan).27 Berdasarkan perjalanan sejarah ketatanegaraan Indonesia
dalam perubahan Konstitusi atau UUD maka istilah perubahan di atas dapat
mengandung arti baik yuridis maupun politis, sebab dalam teori hukum tata
negara yang dimaksud dengan perubahan Konstitusi UUD adalah:[25]
a.
Penggantian
Undang-Undang Dasar dimaksudkan UUD yang lama diganti, baik seluruhnya maupun
sebagian dan tata cara penggantian adakalanya secara jelas dalam UUD yang baru
dan ada kalanya tidak.
b.
Perubahan atas
amandemen UUD, artinya UUD lama dirubah beberapa pasalnya saja supaya dapat
menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat. Sedangkan pasal-pasal lain tidak
mengalami perubahan. Adakalanya pasal-pasal perubahan ditempatkan pada bagian
akhir daripada UUD yang bersangkutan dengan memberi judul “perubahan” atau
“amandemen”. Sedangkan pasal-pasal lama tetap dalam posisi semula (cara ini
disebut adendum). Contoh Undang-Undang Amerika Serikat. Ada pula pasal-pasal
dalam UUD yang bersangkutan tetap jumlahnya, tetapi di sisipkan tambahan
ayat-ayat baru dalam pasal-pasal (cara ini juga disebut amandemen). Contoh UUD
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Di
samping itu ada pula pengertian perubahan Konstitusi atau UUD dalam praktek
ketatanegaraan, di mana UUD lama tetap berlaku tanpa adanya perubahan secara
yuridis. Artinya secara formal UUD lama masih tetap berlaku, tetapi
penyelenggaraan negara dalam prakteknya baik seluruh ataupun sebagian dari
pasal-pasalnya tidak dilaksanakan oleh penguasa. Hal ini biasa berlaku pada
penyelenggaraan negara yang otoriter dan totaliter cenderung menggunakan keputusan-keputusan
yang dibuat sendiri dalam penyelenggaraan pemerintahan. Misalnya pada zaman
rezim Hitler di Jerman yang totaliter. Memberlakukan Konstitusi Weiman 1900
yang demokratis tetapi dalam praktek yang diberlakukan adalah pemerintahan yang
tidak demokratis. Di Indonesia hal yang sama pernah berlaku pada masa revolusi
fisik dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Pada saat itu sistem
pemerintahan yang berlaku berdasarkan UUD 1945 adalah sistem presidensiil,
tetapi dalam praktek yang berlaku adalah sistem parlementer.[26]
Berdasarkan
uraian di atas tentang perubahan Konstitusi atau UUD, memiliki arti yang lebih
luas yaitu penggantian, perubahan dalam praktek penyelenggaraan negara.
Beberapa contoh Konstitusi/UUD negara-negara modern dewasa ini yang membuat
beberapa ketentuan dalam perubahan yang biasanya dirumuskan dalam pasal-pasal
yang merupakan bagian akhir dari Konstitusi/UUD tersebut sebagai berikut: [27]
a.
Konstitusi/UUD
Amerika Serikat tahun 1787 perubahannya dirumuskan dalam pasal V dari 7 pasal
yang ada umumnya tiap-tiap pasal terdiri dari beberapa seksi dan tiap-tiap
seksi terdiri lagi dalam beberapa ayat.
b.
Konstitusi/UUD
Jepang 1946, perubahannya dimuat dalam Pasal 96 dari 102 pasal yang ada.
c.
Konstitusi/UUD
Philipina tahun 1986, perubahannya dimasukkan dalam pasal XVII dari 18 pasal
yang ada. umumnya terdiri dari seksi-seksi bahkan ada pasal pasal sampai 27
seksi, dan masih terdiri lagi dari beberapa ayat.
d.
Konstitusi/ UUD
1945 yang rumusan perubahannya dimuat dalam pasal terakhir yaitu dalam Pasal 37
yang terdiri dari beberapa ayat.
Ketentuan
tentang adanya perubahan dalam Konstitusi/UUD dimaksudkan sebagai antisipasi
terhadap kemungkinan perkembangan yang ada dalam masyarakat, sehingga kepentingan/kebutuhan
dapat ditempuh melalui cara-cara yang konstitusional yang menurut teori
Konstitusi disebut “Verfassüng Sanderung”.
Bukan melalui cara yang sewenang-wenang atau inkonstitusional (Verfasüng Sewandlung) karena perubahan
melalui cara-cara inkonstitusional sangat berbahaya dan akan menimbulkan
ketegangan atau perlawanan dari rakyat.[28]
Oleh sebab itu ketentuan mengenai perubahan
Konstitusi/UUD menurut teori Konstitusi merupakan bagian dari isi atau materi
muatan. Konstitusi/UUD, dan seperti diketahui materi atau muatan dari suatu
Konstitusi/UUD biasanya memuat 3 (tiga) hal pokok yang terdiri dari:
a.
Organisasi
lembaga-lembaga negara
b.
Perlindungan hak
asasi manusia dan
c.
Prosedur
perubahan UUD itu sendiri
Menurut Sri Soemantri
menyebutkan beberapa materi muatan dari UUD adalah:[29]
a.
Jaminan terhadap
hak asasi manusia
b.
Susunan
ketatanegaraan yang bersifat fundamental
c.
Pembagian dan
pembatasan tugas ketatanegaraan yang bersifat fundamental
Jadi
perubahan UUD oleh Sri Soemantri yang memasukkan pembagian dan pembatasan ke
dalam tugas ketatanegaraan yang bersifat fundamental. Sebenarnnya tidak ada
perbedaan yang prinsipil dengan perubahan yang terdapat dalam teori Konstitusi
hanya perbedaan redaksional saja. Sehubungan dengan perubahan Konstitusi atau
UUD (baik penggantian maupun perubahan) biasanya karena terjadi perubahan yang
mendasar tentang ketatanegaraan suatu negara dan perubahan-perubahan tersebut
antara lain karena:[30]
a.
Runtuhnya rezim
otoriter yang berkuasa yang digantikan oleh rezim otoriter yang baru sehingga
perlu melakukan perubahan atau penggantian sesuai dengan keinginan rezim yang
baru. Sedangkan UUD lama dianggap tidak sesuai dengan sistem ketatanegaraan
yang baru. Contoh : penggantian Konstitusi/ UUD di Amerika dan Iran sebagai
akibat kemenangan kaum pemberontak bersenjata mengalahkan rezim yang berkuasa.
b.
Runtuhnya suatu
rezim otoriter yang berkuasa dan digantikan oleh kekuasaan yang demokratis, UUD
yang lama diganti dengan yang baru karena tidak sesuai dengan semangat
demokrasi dan pemerintahan baru berkuasa atas dasar pemilihan umum. Contoh di
Filipina, penggantian rezim Marcos oleh Presiden Cory Aquino melalui Pemilu.
c.
Terjadinya
perebutan kekuasaan oleh militer terhadap pemerintahan yang demokratis.
Kemudian penguasa yang baru mengganti UUD sesuai keinginannya (rezim militer).
Contoh di Pakistan perebutan kekuasan oleh militer. Pertama oleh Jenderal Ayub
Khan, kedua oleh Jenderal Zia Ul Haq dan ketiga oleh Jenderal Pervez Nusharaf.
d.
Pemerintahan
negara yang demokrasi Konstitusional yang terpilih secara demokratis dalam
pemilu yang masa jabatannya dibatasi oleh UUD, tetapi karena ingin tetap
memerintah seterusnya sehingga dia berusaha mengganti UUD yang lama dengan
format politik yang baru, baik otokrasi maupun totaliter. Contoh: di Korea
Selatan pada masa pemerintahan Park Chung Hee, yang akhirnya dia meninggal
dibunuh oleh pengawalnya setelah sekian lama memerintah.
e.
Bertambah
luasnya suatu negara sebagai akibat adanya wilayah yang bergabung atau
munculnya negara baru yang berdaulat. Sehingga perlu perubahan UUD sesuai
dengan kondisi baru. Contoh: Malaysia karena bergabungnya Kalimantan Utara
(Sabah dan Serawak) dengan Malaya, maka Singapura menjadi negara berdaulat
memisahkan diri dari Malaya.
Adanya
kekuatan tuntutan rakyat pada suatu negara demokrasi (simbol demokrasi) yang
ingin mengadakan perubahan sesuai kebutuhan zaman yang tidak dapat ditampung
oleh UUD yang lama untuk itu perlu penggantian atau perubahan (amandemen) atau
UUD yang lama, dan perubahan itu dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam UUD
yang lama, jadi perubahan itu dilakukan secara Konstitusional. Contoh: Negara
Republik Indonesia pada reformasi tahun 1998 yakni terjadi perubahan/ amandemen
UUD 1945 sebanyak empat kali secara bertahap oleh MPR (periode 1999-2004) mulai
dari tahap I 19 Oktober 1999, tahap II 18 Agustus 2000, tahap III 9 Oktober
2001 dan tahap IV 10 Agustus 2002.[31]
C.
Kesimpulan
Dari uraian pembahasan di atas dapat diambil
beberapa kesimpulan : Bahwa konstitusi memiliki beberapa sifat yang melekat
padanya, yaitu : Sifat fleksibel dan rigit, yakni sifat suatu Konstitusi yang
dalam Bahasa Indonesia dapat diterjemahkan luwes atau kaku, dengan menggunakan
beberapa ukuran seperti mengatur hubungan antar lembaga negara dan mengatur
hubungan kekuasaan antara lembaga-lembaga negara dengan warga negara dan
termasuk di dalamnya sebagai isi Konstitusi adalah adanya perlindungan terhadap
hak-hak warga negara. Istilah Konstitusi yang dikemukakan para ahli, seperti
L.J. Van Apeldoorn membedakan antara Constitution dengan Grondwet (UUD), yakni
Grondwet (UUD) adalah bagian yang tertulis dari Konstitusi sedangkan
Constitution (Konstitusi) memuat peraturan-peraturan baik tertulis maupun tidak
tertulis, sementara Sri Sumantri mengartikan Konstitusi sama dengan Undang
-Undang Dasar. Hal ini sesuai dengan praktek ketatanegaraan di berbagai negara
di dunia termasuk di Indonesia. Pandangan yang menyamakan antara Konstitusi
dengan Grondwet (UUD) dipengaruhi oleh pemahaman kodifikasi yang menghendaki
agar semua aturan hukum tertulis dalam rangka mencapai kesatuan hukum dan
kepastian hukum.
[1]Bintan
Regen Saragih, Perubahan Penggantian dan
Penetapan UUD di Indonesia, CV.Utomo Bandung 2006 h. 5.
[2]Wiryono
Prodjodikoro, Azas-azas Hukum Tata Negara
di Indonesia, Dian Rakyat, Jakarta, 1989, h. 10.
[3][3]Sri
Sumantri M, Susunan Ketatanegaraan
Menurut UUD 1945 Dalam Ketatanegaraan Indonesia Dalam Kehidupan Politik
Indonesia, Sinar Harapan, Jakarta, 1993, h. 29.
[5]Dahlan
Thaib, Jazim Hamidi, Ni’matul Huda, Teori
dan Hukum Konstitusi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, h. 3.
[7]Moh.Kusnardi
dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum
Tata Negara Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negara, FHUI Jakarta, 1976,
h. 65
[8]Bintan
Regen Saragih, Perubahan Penggantian dan
Penetapan UUD di Indonesia, CV. Utama, Bandung, 2006, h. 4.
[11]Sayuti Una, Pergeseran Kekuasaan Pemerintahan Daerah menurut Konstitusi Indonesia
(Kajian Tentang Distribusi Kekuasaan Antara Dprd Dan Kepala Daerah Pasca
Kembali Berlakunya UUD 1945), VII Press, Yogyakarta, 2004, h. 41.
[12]Parlin
M. Mangunsang, Konversi Ketatanegaraan
Sebagai Salah Satu Sarana Perubahan UUD, Alumni Bandung, 1992, h. 22.