Permintaan Penyeragaman Makna Radikal di Indonesia
Oleh : Faizurrahman Keraf Ainussyamsi
Penggunaan kata
“radikal” kembali menjadi perbincangan hangat di masyarakat setelah seorang
menteri mengeluarkan pernyataan yang menyematkan ciri-ciri tertentu sebagai
kelompok radikal. Sontak, pernyataan ini menimbulkan kegaduhan dan menuai pro-kontra, bahkan kecaman sebagian berbagai lapisan masyarakat. Karena itu,
kalangan DPR meminta perlunya batasan dan penegasan definisi radikal agar tidak
sembarang menuding individu atau kelompok tertentu sebagai berpaham radikal. Dalam Kamus Ilmiah
Populer yang ditulis oleh Pius A Partanto dan M. Dahlan Al Barry terbitan
Arkola Surabaya, radikal berarti berkenaan dengan akar sesuatu; tegas dalam
bertindak. Kamus ini juga memasukkan kata radiks yang berarti akar; pangkal.
Sedangkan dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) radikal yaitu
“Secara mendasar (sampai kepada
hal yang prinsip); amat keras menuntut perubahan (undang-undang, pemerintahan);
maju dalam berpikir atau bertindak”. Sedangkan radikalisme, “Paham atau aliran yang radikal
dalam politik; paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau
pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis; sikap
ekstrem dalam aliran politik”.
Awal
mulanya istilah radikal digunakan Charles James Fox dikutip dari Encyclopædia Britannica, kata
"radikal" ini dalam konteks politik. Pada tahun 1797, ia mendeklarasikan
"reformasi radikal" sistem pemilihan, sehingga istilah ini digunakan
untuk mengidentifikasi pergerakan yang mendukung reformasi parlemen. penggunaan diksi radikal
sudah digunakan sejak era Orde Baru. Namun penyematan diksi radikal kala itu
ditujukan bagi kalangan kelompok “kiri”. Namun, dalam perkembangannya, saat ini
diksi radikal justru disematkan bagi kalangan “kanan”. Selain itu, maraknya
aksi terorisme tak lepas dari bagian stigmasisasi terhadap agama tertentu.
Padahal, agama mengajarkan kebaikan.
“Tanpa adanya
definisi dalam UU, orang dengan mudah melabelisasi kelompok tertentu radikal.
Bahkan seseorang menggunakan celana cingkrang bagi lelaki dan bercadar untuk
perempuan dinilai radikal. Jangan karena persoalan
celana cingkrang dan jidad hitam serta cadar kemudian disebut radikal. Apa
hubungannya? Ini soal kontra radikalisasi,”
Atribut yang digunakan agama atau kelompok tertentu bukan
indikator sebagai radikal. Di tengah beragamnya definisi radikal, dia memnta
perlu adanya sosialisasi atas penyeragaman makna radikal kepada pejabat negara.
Sehingga pejabat negara ataupun masyarakat tidak dengan mudah menuding
seseorang atau kelompok tertentu dengan label radikal.
Dalam kamus besar
bahasa Indonesia (KKBI) radikal adalah “Secara mendasar (sampai kepada hal yang prinsip); amat keras
menuntut perubahan (undang-undang, pemerintahan); maju dalam berpikir
atau bertindak”. Sedangkan
radikalisme, “Paham atau aliran yang radikal dalam
politik; paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau
pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis; sikap
ekstrem dalam aliran politik”.
Pengaturan
definisi radikal maupun radikalisme memang belum diatur dalam UU termasuk UU
No.5 Tahun 2018 tentang Perubahan atas UU No.15 Tahun 2003 tentang Penetapan
Perppu No.1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi UU
sekalipun. Definisi radikal dan paham radikalisme tidak diurai
lebih jelas dalam UU itu. Namun
dalam Pasal 43 UU NO. 5 Tahun 2018 mengatur tentang definisi kontra radikalisasi. Pasal
43 ayat (1) UU NO. 5 Tahun 2018 menyebutkan, “Kontra radikalisasi
merupakan suatu proses yang terencana, terpadu, sistematis, dan
berkesinambungan yang dilaksanakan terhadap orang atau kelompok orang yang
rentan terpapar paham radikal Terorisme yang dimaksudkan untuk menghentikan
penyebaran paham radikal Terorisme.” Sedangkan “Deradikalisasi
merupakan terencana, terpadu, berkesinambungan yang menghilangkan atau
membalikkan pemahaman telah terjadi.
“Saat ini, radikal
disematkan ke gerakan agama tertentu yang cenderung sebagai kelompok “kanan”. Karena
itu penggunaan diksi radikal di tengah masyarakat perlu dievaluasi dan diberi
definisi yang jelas dan tepat. “Jadi definisi radikal yang tidak tepat, harus
kita sampaikan. Seharusnya juga bukan deradikalisasi, tapi reedukasi,”