1.
Pengertian
Gadai (Rahn )
Al-Rahn dalam kamus bahasa arab menggadaikan,
menangguhkan atau jaminan hutang, gadaian.[1]
Dan dapat juga dimaknai dengan alhabsu.Secara etimologi rahn (gadaian) berarti tetap
atau lestari, sedangkan al-habsu
berarti penahanan.[2]
Begitupun jika dikatakan“ni’matun rohinah’
artinya: karunia yang tetap dan lestari.[3]
Menurut syarak kalimat Rahn itu artinya menjadikan harta sebagai
pengkukuh/penguat sebab adanya hutang.
Sedangkan menurut terminologi atau istilah syara’ terdapat beragam pengertian tentang gadai(rahn ), yaitu : Menurut Imam syafi’i
Mendefinisikan akad al-rahn u seperti
berikut menjadikan al-„Ain (barang)
sebagai watsiiqah (jaminan) utang
yang barang itu digunakan untuk membayar utang tersebut (al-marhun bihi) ketika pihak al-Madiin
(pihak yang berhutang, Al-Rahin) tidak bisa membayar hutang
tersebut. Kalimat, (menjadikan al-„Ain)
mengandung pemahaman bahwa kemanfaatan tidak bisa dijadikan sebagai sesuatu
yang digadaikan (al-marhuun), karena
kemanfaatan sifatnya habis dan rusak, oleh karena itu tidak bisa dijadikan
sebagai jaminan.[4]
Menurut Imam Malik Mendefinisikan Al-Rahn
seperti sesuatu yang mutamawwal (berbentuk harta dan memiliki
nilai) yang diambil dari pemiliknya untuk menjadikan watsiiqah hutang yang Laziin
(keberadaannya sudah positif dan mengikat). Maksudnya, suatu akad atau
kesepakatan akan mengambil sesuatu dari harta yang berbentuk al-„Ain (Barang, harta yang berbentuk
konkrit) seperti harta tidak bergerak yaitu tanah, rumah, hewan, barang
komoditi, atau dalam bentuk kemanfaatan (kemanfaatan barang, tenaga, atau
keahlian seseorang). Namun, dengan syarat kemanfaatan tersebut harus jelas dan
ditentukan dengan masa (penggunaan atau pemanfaatan suatu barang) atau
pekerjaan dengan memanfaatkan tenaga atau keahliannya, juga dengan syarat
kemanfaatan tersebut dihitung masuk kedalam hutang yang ada. Menurut Imam
Hanafi Rahn didefinisikan menjadi sesuatu (barang) jaminan
terhadap hak (piutang) yang mungkin dijadikan sebagai pembayaran hak (piutang)
itu baik seluruhnya maupun sebagiannya.[5]
Menurut Imam Hanbali Mendefinisikan rahn
dengan harta yang dijadikan jaminan
hutang sebagai pembayar harga (nilai) hutang ketika yang berhutang berhalangan
(tidak mampu) membayar utangnya kepada pemberi pinjaman.[6]
Akad gadai (rahn ) menurut
Kompilasi hukum Ekonomi Syariah yang terdapat dalam pasal 372 ayat 1 dan 2,
akad gadai (rahn ) terdiri dari unsur
penerima gadai, pemberi gadai, harta gadai, utang, dan akad. Akad dalam gadai (rahn ) harus dinyatakan oleh para pihak
dengan cara lisan, tulisan, isyarat.[7]
Dari definisi di atas pada dasarnya mengandung makna yang sama, yaitu
gadai menurut bahasa adalah tetap atau penahanan, sedangkan menurut istilah
menjadikan sesuatu benda yang mempunyai nilai harta dalam pandangan syara’ untuk kepercayaan suatu utang,
sehingga memungkinkan mengambil seluruh atau sebagian utang dan benda yang
dighadaikan. Sederhananya dapat dijelaskan bahwa rahn adalah semacam jaminan
hutang atau gadai.
2.
Dasar
Hukum Gadai (Rahn )
Sistem hutang piutang dengan gadai ini diperbolehkan (jaiz) tidak wajib berdasarkan
kesepakatan ulama, tetapi disyariatkan dengan dasar Al-Qur’an, Hadits dan Ijma’
para Ulama.
۞ وَإِن كُنتُمْ
عَلَىٰ سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا۟ كَاتِبًا فَرِهَٰنٌ مَّقْبُوضَةٌ ۖ فَإِنْ أَمِنَ
بَعْضُكُم بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ ٱلَّذِى ٱؤْتُمِنَ أَمَٰنَتَهُۥ وَلْيَتَّقِ
ٱللَّهَ رَبَّهُۥ ۗ وَلَا تَكْتُمُوا۟ ٱلشَّهَٰدَةَ ۚ وَمَن يَكْتُمْهَا
فَإِنَّهُۥٓ ءَاثِمٌ قَلْبُهُۥ ۗ وَٱللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
Artinya : Jika kamu dalam perjalanan (dan
bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis,
maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan
tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang
dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa
kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan
persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah
orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S
Al-Baqarah ayat 283)[8]
Berdasarkan ayat di atas,
bahwa dalam melakukan kegiatan muamalah yang tidak secara tunai, yang dilakukan
dalam perjalanan dan tidak ada seorang pun yang mampu menjadi juru tulis yang
akan menuliskannya, maka hendaklah ada barang tanggungan (borg) yang oleh pihak
yang berpiutang digunakan sebagai jaminan.[9]
Sebab gadai tidak bisa terjadi sebelum serah terima barang karena ia merupakan
akad saling membantu dan menolong yang membutuhkan serah terima. Dan Allah SWT
berfirman dalam surah di bawah ini sebagai berikut :
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تُحِلُّوا۟
شَعَٰٓئِرَ ٱللَّهِ وَلَا ٱلشَّهْرَ ٱلْحَرَامَ وَلَا ٱلْهَدْىَ وَلَا
ٱلْقَلَٰٓئِدَ وَلَآ ءَآمِّينَ ٱلْبَيْتَ ٱلْحَرَامَ يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِّن
رَّبِّهِمْ وَرِضْوَٰنًا ۚ وَإِذَا حَلَلْتُمْ فَٱصْطَادُوا۟ ۚ وَلَا
يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَـَٔانُ قَوْمٍ أَن صَدُّوكُمْ عَنِ ٱلْمَسْجِدِ ٱلْحَرَامِ
أَن تَعْتَدُوا۟ ۘ وَتَعَاوَنُوا۟ عَلَى ٱلْبِرِّ وَٱلتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا
تَعَاوَنُوا۟ عَلَى ٱلْإِثْمِ وَٱلْعُدْوَٰنِ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۖ إِنَّ
ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلْعِقَابِ
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan
haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang
qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah
sedang mereka mencari kurnia dan keridhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah
menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali
kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari
Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan
tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada
Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (Q.S Al-Maidah ; 2)[10]
Para ulama bersepakat
gadai hukumnya boleh, baik ketika tengah perjalanan, mapun ketika Para menetap,
berbeda pendapat terdapat mujahid dan
ulama Zahiriyyah karena sunnah menjelaskan tentang pensyariatan
dan Al-Rahn secara mutlak, baik ketika sedang ditengah
perjalanan maupun ketika sedang menetap.[11]
3.
Rukun
dan Syarat Gadai (Rahn )
Melaksanakan akad gadai
agar dipandang sah dan benar dalam syariat islam maka harus memenuhi rukun dan
syarat gadai berdasarkan hukum Islam.
a.
Rukun
Gadai (Rahn )
Menurut hukum Islam bahwa rukun
gadai itu ada 4 (empat), yaitu:
1)
Shighat
atau perkataan
2)
Adanya pemberi gadai (rahin) dan penerima gadai (murtahin)
3)
Adanya barang yang digadaikan (marhum)
4)
Adanya utang (marhum bih)
Shighat menurut istilah fuqaha‟
ialah Rukun gadai akan sah apabila disertai
ijab dan qabul, sedangkan ijab dan qabul adalah shighat aqdi atas perkataan
yang menunjukkan kehendak kedua belah pihak, seperti kata "Saya gadaikan
ini kepada saudara untuk utangku yang sekian kepada engkau", yang menerima
gadai menjawab "Saya terima marhum ini" Shighat aqdi memerlukan tiga
syarat: Harus terang pengertiannya, harus bersesuaian antara ijab dan qabul,
memperlihatkan kesungguhan dari pihak-pihak yang bersangkutan. Akad gadai juga
bisa dilakukan dengan bentuk bahasa, kata isyarat tersebut diberikan terhadap
apa yang dimaksudkan, sebagaimana yang dikatakan oleh TM. Hasbi Ash-Shiddieqy
dalam Pengantar Fiqh Muamalah bahwa isyarat bagi orang bisu sama
dengan ucapan lidah (sama dengan ucapan penjelasan dengan lidah).[12]
Pemberi gadai haruslah
orang yang dewasa, berakal, bisa dipercaya, dan memiliki barang yang akan
digadaikan. Sedangkan penerima gadai adalah orang, bank, atau lembaga yang
dipercaya oleh rahin untuk
mendapatkan modal dengan jaminan barang (gadai).[13]
Barang yang digadaikan
harus ada wujud pada saat dilakukan perjanjian gadai dan barang itu adalah
barang milik si pemberi gadai (rahin),
barang gadaian itu kemudian berada dibawah pengawasan penerima gadai (murtahin).[14]
Pada dasarnya semua barang bergerak dapat digadaikan, namunada juga barang
bergerak tertentu yang tidak dapat digadaikan. Adapun jenis barang jaminan yang
dapat digadaikan di pegadaian antara lain,
barang-barang perhiasan; emas, perak, intan, mutiara, dan lainlain,
barang-barang elektronik:tv, kulkas, radio, telpon genggam, tape recorder, dan
lain-lain, kendaraan: sepeda, motor, mobil, barang-barang rumah tangga:
barang-barang pecah belah, mesin: mesin jahit, mesin ketik, dan lain-lain,
tekstil: kain batik, permadani, barang-barang lain yang dianggap bernilai.[15]
Hutang (marhum bih) merupakan hak yang wajib
diberikan kepada pemiliknya, yang memungkinkan pemanfaatannya (artinya apabila
barang tersebut tidak dapat dimanfaatkan, maka tidak sah), dan dapat dihitung
jumlahnya. Selain itu hutang yang digunakan haruslah bersifat tetap, tidak
berubah dengan tambahan bunga atau mengandung unsur riba.[16]
Akad gadai (rahn ) menurut Kompilasi hukum Ekonomi
Syariah yang terdapat dalam pasal 372 ayat 1 dan 2, akad gadai (rahn ) terdiri dari unsur penerima
gadai, pemberi gadai, harta gadai, utang, dan akad. Akad dalam gadai (rahn ) harus dinyatakan oleh para pihak
dengan cara lisan, tulisan, isyarat.[17]
b.
Syarat
Gadai (Rahn )
Menurut Imam Syafi’i bahwa
syarat sah gadai adalah harus ada jaminan yang berkriteria jelas dalam serah
terima. Sedangkan Maliki mensyaratkan bahwa gadai wajib dengan akad dan setelah
akad orang yang menggadaikan wajib menyerahkan barang jaminan kepada yang
menerima gadai.[18]
Menurut Sayyid Sabiq, syarat sah akad gadai adalah sebagai berikut, berakal;
baligh (dewasa); wujudnya marhum
(barang yang dijadikan jaminan pada saat akad); barang jaminan dipegang oleh
orang yang menerima barang gadaian atau wakilnya.[19]
Berdasarkan dari keempat
syarat di atas dapat di simpulkan bahwa syarat sah gadai tersebut ada dua hal
yaitu :
1)
Syarat aqidain
(rahin dan murtahin)
Dalam perjanjian gadai
unsur yang paling penting adalah pihak-pihak yang melaksanakan perjanjian gadai
(unsur subjektif), yaitu cukup dengan melakukan tukar menukar benda, apabila
mereka berakal sehat (tidak gila), dan telah mumayyiz (mencapai umur).
Kemudian untuk orang yang berada di bawah pengampuan atau wali dengan alasan
amat dungu (sufih) hukumnya seperti mumayyiz , akan tetapi tindakan-tindakan
hukum sebelum mencapai usia baligh diperlukan izin dari wali, apabila pengampu
mengizinkan perjanjian gadai dapat dilakukan, tetapi apabila wali tidak
mengizinkan maka perjanjian gadai tersebut batal menurut hukum.
2)
Syarat Barang Gadai (marhun)
Marhun adalah barang yang ditahan oleh murtahin (penerima gadai) sebagai jaminan atas hutang yang ia
berikan. Para ulama sepakat syarat yang berlaku pada barang gadai adalah barang
yang dapat diperjual-belikan.
4.
Hak
dan Kewajiban Para Pihak
Para pihak (pemberi dan
penerima gadai) masing-masing mempunyai hak dan kewajiban yang harus dipenuhi. Sedangkan
hak dan kewajiban adalah sebagai berikut:[20]
a.
Hak Dan Kewajiban Pemberi Gadai (Rahin)
1)
Hak Pemberi Gadai
a)
Pemberi gadai mempunyai hak untuk mendapatkan
kembali barangmiliknya setelah pemberi gadai melunasi utangnya.
b)
Pemberi gadai berhak menuntut ganti kerugian
dari kerusakan danhilangnya barang gadai apabila hal itu di sebabkan oleh
kelalaianpenerima gadai.
c)
Pemberi gadai berhak untuk mendapatkan sisa dari
penjualanbarangnya setelah dikurangi biaya pelunasan utang dan biayalainnya.
d)
Pemberi gadai berhak meminta kembali barangnya
apabilapenerima gadai telah jelas menyalahgunakan barangnya.
2)
Kewajiban Pemberi Gadai
a)
Pemberi gadai berkewajiban untuk melunasi utang
yang telah diterimanya dari penerima gadai dalam tenggang waktu yang telah
ditentukan.
b)
Pemberi gadai berkewajiban merelakan penjualan
atas barang gadai miliknya, apabila dalam jangka waktu yang telah ditentukan
pemberi gadai tidak dapat melunasi utangnya kepada pemegang gadai.
b.
Hak dan Kewajiban Penerima Gadai (murtahin)
1)
Hak Penerima Gadai
a)
Penerima gadai berhak untuk menjual barang yang
digadaikan, apabila pemberi gadai pada saat jatuh tempo tidak dapat memenuhi
kewajibanya sebagai orang yang berhutang
b)
Penerima gadai berhak mendapatkan penggantian
biaya yang telah dikeluarkan untuk menjaga keselamatan barang jaminan.
c)
Selama utangnya belum dilunasi, maka penerima
gadai berhak untuk menahan barang jaminan yang diserahkan oleh pemberi gadai.
2)
Kewajiban Penerima Gadai
a)
Penerima gadai berkewajiban bertanggung jawab
atas hilang atau merosotnya harga barang yang digadaikan jika itu semua atas
kelalaianya.
b)
Penerima gadai tidak dibolehkan menggunakan
barang yang digadaikan untuk kepentingan pribadi.
c)
Penerima gadai berkewajiban untuk memberitahu
kepada pemberi gadai sebelum di adakan pelelangan barang gadai. Dalam
perjanjian gadai baik pemberi gadai atau penerima gadai tidak akan lepas dari
hak-hak dan kewajiban-kewajiban. Hak penerima gadai adalah menahan barang yang
digadaikan, sehingga orang yang menggadaikan barang dapat melunasi barangnya.
Sedangkan hak menahan barang gadai adalah bersifat menyeluruh, artinya jika
seseorang menggadaikan barangnya dengan jumlah tertentu, kemudian ia melunasi
sebagiannya, maka keseluruhan barang gadai masih berada di tangan penerima
gadai, sehingga rahin menerima hak
sepenuhnya atau melunasi seluruh utang yang ditanggungnya.[21]
5.
Berakhirnya
Akad Gadai
Menurut Sayid Sabiq, jika barang gadai kembali ke tangan Rahin atau dengan kata lain,.jika barang
gadai berada kembali dalam kekuasaan Rahin,
maka ketika itu akad gadai sudah batal. Dengan demikian dalam perspektif Sayyid
Sabiq agar akad gadai tidak batal barang gadai harus dalam penguasaan murtahin.[22]
Gadai dipandang batal dengan beberapa keadaan seperti :
a.
Borg
(barang gadai) diserahkan kepada pemiliknya. Jumhur ulama selain Syafi'i
menganggap gadai menjadi batal jika murtahin menyerahkan Borg kepada pemiliknya (Rahin)
sebab borg merupakan jaminan utang,
jika borg diserahkan, tidak ada lagi jaminan. Selain itu dipandang batal pun
akad gadai jika murtahin meminjamkan borgkepada Rahin atau kepada orang lain atas seizin Rahin.
1)
Dipaksa menjual borg Gadai batal, jika hakim
memaksa Rahin untuk menjual borg atau
hakim menjualnya jika Rahin menolak.
2)
Rahin
melunasi semua hutang.
3)
Pembebasan hutang.
4)
Pembatalan akad gadai dari pihak murtahin
Akad gadai dipandang batal
dan berakhir jika murtahin
membatalkan Rahin meskipun tanpa
seizin Rahin. Sebaliknya dipandang
tidak batal jika Rahin
membatalkanmya. Menurut ulama Hanafiyah, murtahin diharuskan untuk mengatakan
pembatalan borg kepada Rahin. Hal ini
karena Rahin tidak terjadi, kecuali
dengan memegang. Begitu pula cara membatalkannya adalah dengan tidak memegang.
b.
Rahn Meninggal. menurut Imam Malik, Rahin batal atau berakhir jika Rahin meninggal sebelum menyerahkan borg kepada murtahin. Juga dipandang
batal jika murtahin meninggal sebelum mengembalikan borg kepada Rahin.
c.
Borg
rusak, tasharruf dan Borg Rahn
dipandang habis apabila borg
ditasharrufkan seperti dijadikan hadiah, hibah, sedekah, dan lain-lain atau jin
pemiliknya.[23]
6.
Ketentuan
Umum Pelaksanaan Gadai dalam Islam
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan arrahn antara lain:
a. Kedudukan Barang Gadai
Selama ada di tangan
pemegang gadai, maka kedudukan barang gadai hanya merupakan suatu amanat yang
dipercayakan kepadanya oleh pihak penggadai.
b. Pemanfaatan Barang Gadai
Pada dasarnya barang gadai
tidak boleh diambil manfaatnya baik oleh pemiliknya maupun oleh penerima gadai.
Hal ini disebabkan status barang tersebut hanya sebagai jaminan utang dan
sebagai amanat bagi penerimanya. Apabila mendapat izin dari masing-masing pihak
yang bersangkutan, maka barang tersebut boleh dimanfaatkan. Oleh karena itu
agar di dalam perjanjian gadai itu tercantum ketentuan jika penggadai atau
penerima gadai meminta izin untuk memanfaatkan barang gadai, maka hasilnya
menjadi milik bersama. Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindari harta benda
tidak berfungsi atau mubazir. Ulama syafi'iyah berpendapat ar rahin dibolehkan untuk memanfaatkan barang gadai. Jika tidak
menyebabkan barang gadai itu berkurang, tidak perlu meminta izin kepada al
murtahin, seperti mengendarainya, dan menempatinya. Akan tetapi, jika
menyebabkan barang gadai tersebut berkurang seperti pengolahan sawah, dan kebun
ar rahin harus meminta izin.[24]
c. Resiko Atas Kerusakan Barang Gadai
Ada beberapa pendapat
mengenai kerusakan barang gadai yang di sebabkan tanpa kesengajaan murtahin.
Ulama mazhab Syafi‟i dan Hambali berpendapat bahwa murtahin (penerima gadai)
tidak menanggung resiko sebesar harga barang yang minimum. Penghitungan di
mulai pada saat diserahkannya barang gadai kepada murtahin sampai hari rusak
atau hilang.
d. Pemeliharaan Barang Gadai
Para ulama Syafi‟iyah dan
Hanabilah berpendapat bahwa biaya pemeliharaan barang gadai menjadi tanggungan
penggadai dengan alasan bahwa barang tersebut berasal dari penggadai dan tetap
merupakan miliknya. Sedangkan para ulama Hanafiyah berpendapat lain, biaya yang
diperlukan untuk menyimpan dan memelihara keselamatan barang gadai menjadi
tanggungan penerima gadai dalam kedudukanya sebagai orang yang menerima amanat.
e. Kategori Barang Gadai
Jenis barang yang biasa
digadaikan sebagai jaminan adalah semua barang bergerak dan tak bergerak yang
memenuhi syarat sebagai berikut, benda bernilai menurut hukum syara’, benda berwujud pada waktu
perjanjian terjadi, dan benda diserahkan seketika kepada murtahin.
f. Pelunasan Barang Gadai
Apabila sampai pada waktu
yang sudah di tentukan, rahin belum
juga membayar kembali utangnya, maka rahin
dapat dipaksa oleh marhun untuk
menjual barang gadaianya dan kemudian digunakan untuk melunasi hutangnya.
g. Prosedur Pelelangan Gadai
Jumhur fukaha berpendapat bahwa orang yang menggadaikan tidak boleh
menjual atau menghibahkan barang gadai, sedangkan bagi penerima gadai
dibolehkan menjual barang tersebut dengan syarat pada saat jatuh tempo pihak
penggadai tidak dapat melunasi kewajibanya.[25]
[1]Adib
Bisri, Munawir AF, Kamus AL-BISRI,
(Surabaya: Pustaka Progressif, 1999), Cet. Ke-1, h. 274.
[2]Choiruman
Pasaribu, Suhrawardi K. Lubis, Hukum
Perjanjian Dalam Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), Cet. Ke-2, h. 139.
[3]Sayyid
Sabiq, Fikih Sunnah, Alih bahasa. H.
Kamaluddin A Marjuki, (Bandung: PT. AlMaarif, 1996), h.139.
[4]Ibnu
Qudamah, Al-Mughnil, Penerjemah Misbah,
(Jakarta: Pustka Azzam, 2009), Cet. 1, h.
24.
[5]Chuzaimah
T. Yanggo, A. Hafiz Anhory, A.Z, Problematika
Hukum Islam Komtemporer III, (Jakarta: Pustaka Firdaus,2004), h..140.
[6]Sayyid
Sabiq, Fikih Sunnah, …., h.139.
[7]Iwan
Setiawan, “Penerapan Gadai Emas Pada Bank
Syariah Perspektif Hukum Ekonomi Islam,”Al-Daulah, Vol. VI No.1 (April
2016), h. 198
[8]Departemen
Agama RI Al-Quran dan Terjemahannya,
(Jakarta: Yayasan Penyelenggaraan Penterjemah Al-Quran, 1986), h. 43
[9]M.
Ali Hasan, Masail Fiqhiyah, Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2003, h.125.
[10]Departemen
Agama RI Al-Quran dan terjemahannya, (Jakarta: yayasan penyelenggaraan
penterjemah Al-Quran, 1986), h. 157.
[11]Al-Qadhi
Abu Syuja bin Ahmad Al-Ishfahani, Ringkasan
Fiqih Mazhab Syafi‟I, alih bahasa Toto Edidarmo, (Jakarta:PT Mizan
Publika,2012), Cet.2, hal. 327.
[12]TM.
Hasbi Ash-Shiddieqi, Pengantar Fiqih
Muamalah, (Jakarta: PT. Pustaka RizkiPutra, 1997),Cet.I, h. 26.
[13]Heri
Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan
syariah, (Yogyakarta: Ekonisia Kampus Fakultas Ekonomi UII, 2004), h.160.
[14]Ahmad
Sarwat, Fikih Sehari-hari, (Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama, tth), h 93.
[15]Muhammad
Shalikul Hadi, Pegadaian Syariah,
(Jakarta: Salemba Diniyah, 2003), h. 142.
[16]Chairuman
Pasaribu, Suhwardi K.Lubis, Hukum
Perjanjian Dalam Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996) Cet. 2, h. 142.
[17]Iwan
Setiawan, “Penerapan Gadai Emas Pada Bank
Syariah Perspektif Hukum Ekonomi Islam,”Al-Daulah, Vol. VI No.1 (April
2016), h. 198
[18]Muhammad
Sholikul Hadi, Pegadaian Syari‟ah,
(Jakarta: Salemba Diniyah, 2003), h. 53.
[19]Rahmat
Syafi‟I, Fiqih Muamalah, Cet.3,
(Bandung: Pustaka Setia, 2006), h.162
[20]Muhammad
Shalikul Hadi, Pegadaian Syariah,
(Jakarta: Salemba Diniyah, 2003),h. 53
[21]Hasbi
Ash Shiddieqy, Hukum-Hukum Fiqih Islam
(Tinjauan Antar Mazhab, (Semarang: Pustaka Risky putra, 2001)Cet. II,
h.366.
[22]Sayyid
Sabbiq, Fiqhi Sunnah (Beirut:
Darul-Kitab al-Arabi, 1987), Cetakan Ke-8, h. 190.
[23]Al-Faqih
Abdul Wahid Muhammad bin Achmad bin Muhammad ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, alih bahasa: Imam Ghazali Syaid, Achmad Zaidun,
(Jakarta: Pustaka Imani, 2007), Cet. 3, h. 207.
[25]Muhammad
dan Sholikhul Hadi, Pengadaian Syari’ah
(Jakarta: Salembadiniyah, 2003), h. 54
Izin kutip bang
ReplyDelete