Followers

Monday, July 11, 2022

MAKALAH GADAI (RAHN)

 

1.      Pengertian Gadai (Rahn )

Al-Rahn  dalam kamus bahasa arab menggadaikan, menangguhkan atau jaminan hutang, gadaian.[1] Dan dapat juga dimaknai dengan alhabsu.Secara etimologi rahn  (gadaian) berarti tetap atau lestari, sedangkan al-habsu berarti penahanan.[2] Begitupun jika dikatakan“ni’matun rohinah’ artinya: karunia yang tetap dan lestari.[3] Menurut syarak kalimat Rahn  itu artinya menjadikan harta sebagai pengkukuh/penguat sebab adanya hutang.

Sedangkan menurut terminologi atau istilah syara’ terdapat beragam pengertian tentang gadai(rahn ), yaitu : Menurut Imam syafi’i Mendefinisikan akad al-rahn u seperti berikut menjadikan al-„Ain (barang) sebagai watsiiqah (jaminan) utang yang barang itu digunakan untuk membayar utang tersebut (al-marhun bihi) ketika pihak al-Madiin (pihak yang berhutang, Al-Rahin) tidak bisa membayar hutang tersebut. Kalimat, (menjadikan al-„Ain) mengandung pemahaman bahwa kemanfaatan tidak bisa dijadikan sebagai sesuatu yang digadaikan (al-marhuun), karena kemanfaatan sifatnya habis dan rusak, oleh karena itu tidak bisa dijadikan sebagai jaminan.[4]

Menurut Imam Malik Mendefinisikan Al-Rahn  seperti sesuatu yang mutamawwal (berbentuk harta dan memiliki nilai) yang diambil dari pemiliknya untuk menjadikan watsiiqah hutang yang Laziin (keberadaannya sudah positif dan mengikat). Maksudnya, suatu akad atau kesepakatan akan mengambil sesuatu dari harta yang berbentuk al-„Ain (Barang, harta yang berbentuk konkrit) seperti harta tidak bergerak yaitu tanah, rumah, hewan, barang komoditi, atau dalam bentuk kemanfaatan (kemanfaatan barang, tenaga, atau keahlian seseorang). Namun, dengan syarat kemanfaatan tersebut harus jelas dan ditentukan dengan masa (penggunaan atau pemanfaatan suatu barang) atau pekerjaan dengan memanfaatkan tenaga atau keahliannya, juga dengan syarat kemanfaatan tersebut dihitung masuk kedalam hutang yang ada. Menurut Imam Hanafi Rahn  didefinisikan menjadi sesuatu (barang) jaminan terhadap hak (piutang) yang mungkin dijadikan sebagai pembayaran hak (piutang) itu baik seluruhnya maupun sebagiannya.[5]

Menurut Imam Hanbali Mendefinisikan rahn  dengan harta yang dijadikan jaminan hutang sebagai pembayar harga (nilai) hutang ketika yang berhutang berhalangan (tidak mampu) membayar utangnya kepada pemberi pinjaman.[6]

Akad gadai (rahn ) menurut Kompilasi hukum Ekonomi Syariah yang terdapat dalam pasal 372 ayat 1 dan 2, akad gadai (rahn ) terdiri dari unsur penerima gadai, pemberi gadai, harta gadai, utang, dan akad. Akad dalam gadai (rahn ) harus dinyatakan oleh para pihak dengan cara lisan, tulisan, isyarat.[7]

Dari definisi di atas pada dasarnya mengandung makna yang sama, yaitu gadai menurut bahasa adalah tetap atau penahanan, sedangkan menurut istilah menjadikan sesuatu benda yang mempunyai nilai harta dalam pandangan syara’ untuk kepercayaan suatu utang, sehingga memungkinkan mengambil seluruh atau sebagian utang dan benda yang dighadaikan. Sederhananya dapat dijelaskan bahwa rahn  adalah semacam jaminan hutang atau gadai.

2.      Dasar Hukum Gadai (Rahn )

Sistem hutang piutang dengan gadai ini diperbolehkan (jaiz) tidak wajib berdasarkan kesepakatan ulama, tetapi disyariatkan dengan dasar Al-Qur’an, Hadits dan Ijma’ para Ulama.

۞ وَإِن كُنتُمْ عَلَىٰ سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا۟ كَاتِبًا فَرِهَٰنٌ مَّقْبُوضَةٌ ۖ فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُم بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ ٱلَّذِى ٱؤْتُمِنَ أَمَٰنَتَهُۥ وَلْيَتَّقِ ٱللَّهَ رَبَّهُۥ ۗ وَلَا تَكْتُمُوا۟ ٱلشَّهَٰدَةَ ۚ وَمَن يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُۥٓ ءَاثِمٌ قَلْبُهُۥ ۗ وَٱللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ

Artinya : Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S Al-Baqarah ayat 283)[8]

 

Berdasarkan ayat di atas, bahwa dalam melakukan kegiatan muamalah yang tidak secara tunai, yang dilakukan dalam perjalanan dan tidak ada seorang pun yang mampu menjadi juru tulis yang akan menuliskannya, maka hendaklah ada barang tanggungan (borg) yang oleh pihak yang berpiutang digunakan sebagai jaminan.[9] Sebab gadai tidak bisa terjadi sebelum serah terima barang karena ia merupakan akad saling membantu dan menolong yang membutuhkan serah terima. Dan Allah SWT berfirman dalam surah di bawah ini sebagai berikut :

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تُحِلُّوا۟ شَعَٰٓئِرَ ٱللَّهِ وَلَا ٱلشَّهْرَ ٱلْحَرَامَ وَلَا ٱلْهَدْىَ وَلَا ٱلْقَلَٰٓئِدَ وَلَآ ءَآمِّينَ ٱلْبَيْتَ ٱلْحَرَامَ يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِّن رَّبِّهِمْ وَرِضْوَٰنًا ۚ وَإِذَا حَلَلْتُمْ فَٱصْطَادُوا۟ ۚ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَـَٔانُ قَوْمٍ أَن صَدُّوكُمْ عَنِ ٱلْمَسْجِدِ ٱلْحَرَامِ أَن تَعْتَدُوا۟ ۘ وَتَعَاوَنُوا۟ عَلَى ٱلْبِرِّ وَٱلتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا۟ عَلَى ٱلْإِثْمِ وَٱلْعُدْوَٰنِ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۖ إِنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلْعِقَابِ

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keridhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (Q.S Al-Maidah ; 2)[10]

 

Para ulama bersepakat gadai hukumnya boleh, baik ketika tengah perjalanan, mapun ketika Para menetap, berbeda pendapat terdapat mujahid dan ulama Zahiriyyah karena sunnah menjelaskan tentang pensyariatan dan Al-Rahn  secara mutlak, baik ketika sedang ditengah perjalanan maupun ketika sedang menetap.[11]

3.      Rukun dan Syarat Gadai (Rahn )

Melaksanakan akad gadai agar dipandang sah dan benar dalam syariat islam maka harus memenuhi rukun dan syarat gadai berdasarkan hukum Islam.

a.      Rukun Gadai (Rahn )

Menurut hukum Islam bahwa rukun gadai itu ada 4 (empat), yaitu:

1)      Shighat atau perkataan

2)      Adanya pemberi gadai (rahin) dan penerima gadai (murtahin)

3)      Adanya barang yang digadaikan (marhum)

4)      Adanya utang (marhum bih)

Shighat menurut istilah fuqaha‟ ialah  Rukun gadai akan sah apabila disertai ijab dan qabul, sedangkan ijab dan qabul adalah shighat aqdi atas perkataan yang menunjukkan kehendak kedua belah pihak, seperti kata "Saya gadaikan ini kepada saudara untuk utangku yang sekian kepada engkau", yang menerima gadai menjawab "Saya terima marhum ini" Shighat aqdi memerlukan tiga syarat: Harus terang pengertiannya, harus bersesuaian antara ijab dan qabul, memperlihatkan kesungguhan dari pihak-pihak yang bersangkutan. Akad gadai juga bisa dilakukan dengan bentuk bahasa, kata isyarat tersebut diberikan terhadap apa yang dimaksudkan, sebagaimana yang dikatakan oleh TM. Hasbi Ash-Shiddieqy dalam Pengantar Fiqh  Muamalah bahwa isyarat bagi orang bisu sama dengan ucapan lidah (sama dengan ucapan penjelasan dengan lidah).[12]

Pemberi gadai haruslah orang yang dewasa, berakal, bisa dipercaya, dan memiliki barang yang akan digadaikan. Sedangkan penerima gadai adalah orang, bank, atau lembaga yang dipercaya oleh rahin untuk mendapatkan modal dengan jaminan barang (gadai).[13]

Barang yang digadaikan harus ada wujud pada saat dilakukan perjanjian gadai dan barang itu adalah barang milik si pemberi gadai (rahin), barang gadaian itu kemudian berada dibawah pengawasan penerima gadai (murtahin).[14] Pada dasarnya semua barang bergerak dapat digadaikan, namunada juga barang bergerak tertentu yang tidak dapat digadaikan. Adapun jenis barang jaminan yang dapat digadaikan di pegadaian antara lain,  barang-barang perhiasan; emas, perak, intan, mutiara, dan lainlain, barang-barang elektronik:tv, kulkas, radio, telpon genggam, tape recorder, dan lain-lain, kendaraan: sepeda, motor, mobil, barang-barang rumah tangga: barang-barang pecah belah, mesin: mesin jahit, mesin ketik, dan lain-lain, tekstil: kain batik, permadani, barang-barang lain yang dianggap bernilai.[15]

Hutang (marhum bih) merupakan hak yang wajib diberikan kepada pemiliknya, yang memungkinkan pemanfaatannya (artinya apabila barang tersebut tidak dapat dimanfaatkan, maka tidak sah), dan dapat dihitung jumlahnya. Selain itu hutang yang digunakan haruslah bersifat tetap, tidak berubah dengan tambahan bunga atau mengandung unsur riba.[16]

Akad gadai (rahn ) menurut Kompilasi hukum Ekonomi Syariah yang terdapat dalam pasal 372 ayat 1 dan 2, akad gadai (rahn ) terdiri dari unsur penerima gadai, pemberi gadai, harta gadai, utang, dan akad. Akad dalam gadai (rahn ) harus dinyatakan oleh para pihak dengan cara lisan, tulisan, isyarat.[17]

b.      Syarat Gadai (Rahn )

Menurut Imam Syafi’i bahwa syarat sah gadai adalah harus ada jaminan yang berkriteria jelas dalam serah terima. Sedangkan Maliki mensyaratkan bahwa gadai wajib dengan akad dan setelah akad orang yang menggadaikan wajib menyerahkan barang jaminan kepada yang menerima gadai.[18] Menurut Sayyid Sabiq, syarat sah akad gadai adalah sebagai berikut, berakal; baligh (dewasa); wujudnya marhum (barang yang dijadikan jaminan pada saat akad); barang jaminan dipegang oleh orang yang menerima barang gadaian atau wakilnya.[19]

Berdasarkan dari keempat syarat di atas dapat di simpulkan bahwa syarat sah gadai tersebut ada dua hal yaitu :

1)      Syarat aqidain (rahin dan murtahin)

Dalam perjanjian gadai unsur yang paling penting adalah pihak-pihak yang melaksanakan perjanjian gadai (unsur subjektif), yaitu cukup dengan melakukan tukar menukar benda, apabila mereka berakal sehat (tidak gila), dan telah mumayyiz  (mencapai umur). Kemudian untuk orang yang berada di bawah pengampuan atau wali dengan alasan amat dungu (sufih) hukumnya seperti mumayyiz , akan tetapi tindakan-tindakan hukum sebelum mencapai usia baligh diperlukan izin dari wali, apabila pengampu mengizinkan perjanjian gadai dapat dilakukan, tetapi apabila wali tidak mengizinkan maka perjanjian gadai tersebut batal menurut hukum.

2)      Syarat Barang Gadai (marhun)

Marhun adalah barang yang ditahan oleh murtahin (penerima gadai) sebagai jaminan atas hutang yang ia berikan. Para ulama sepakat syarat yang berlaku pada barang gadai adalah barang yang dapat diperjual-belikan.

4.      Hak dan Kewajiban Para Pihak

Para pihak (pemberi dan penerima gadai) masing-masing mempunyai hak dan kewajiban yang harus dipenuhi. Sedangkan hak dan kewajiban adalah sebagai berikut:[20]

a.       Hak Dan Kewajiban Pemberi Gadai (Rahin)

1)      Hak Pemberi Gadai

a)      Pemberi gadai mempunyai hak untuk mendapatkan kembali barangmiliknya setelah pemberi gadai melunasi utangnya.

b)      Pemberi gadai berhak menuntut ganti kerugian dari kerusakan danhilangnya barang gadai apabila hal itu di sebabkan oleh kelalaianpenerima gadai.

c)      Pemberi gadai berhak untuk mendapatkan sisa dari penjualanbarangnya setelah dikurangi biaya pelunasan utang dan biayalainnya.

d)     Pemberi gadai berhak meminta kembali barangnya apabilapenerima gadai telah jelas menyalahgunakan barangnya.

 

 

2)      Kewajiban Pemberi Gadai

a)      Pemberi gadai berkewajiban untuk melunasi utang yang telah diterimanya dari penerima gadai dalam tenggang waktu yang telah ditentukan.

b)      Pemberi gadai berkewajiban merelakan penjualan atas barang gadai miliknya, apabila dalam jangka waktu yang telah ditentukan pemberi gadai tidak dapat melunasi utangnya kepada pemegang gadai.

b.      Hak dan Kewajiban Penerima Gadai (murtahin)

1)      Hak Penerima Gadai

a)      Penerima gadai berhak untuk menjual barang yang digadaikan, apabila pemberi gadai pada saat jatuh tempo tidak dapat memenuhi kewajibanya sebagai orang yang berhutang

b)      Penerima gadai berhak mendapatkan penggantian biaya yang telah dikeluarkan untuk menjaga keselamatan barang jaminan.

c)      Selama utangnya belum dilunasi, maka penerima gadai berhak untuk menahan barang jaminan yang diserahkan oleh pemberi gadai.

2)      Kewajiban Penerima Gadai

a)      Penerima gadai berkewajiban bertanggung jawab atas hilang atau merosotnya harga barang yang digadaikan jika itu semua atas kelalaianya.

b)      Penerima gadai tidak dibolehkan menggunakan barang yang digadaikan untuk kepentingan pribadi.

c)      Penerima gadai berkewajiban untuk memberitahu kepada pemberi gadai sebelum di adakan pelelangan barang gadai. Dalam perjanjian gadai baik pemberi gadai atau penerima gadai tidak akan lepas dari hak-hak dan kewajiban-kewajiban. Hak penerima gadai adalah menahan barang yang digadaikan, sehingga orang yang menggadaikan barang dapat melunasi barangnya. Sedangkan hak menahan barang gadai adalah bersifat menyeluruh, artinya jika seseorang menggadaikan barangnya dengan jumlah tertentu, kemudian ia melunasi sebagiannya, maka keseluruhan barang gadai masih berada di tangan penerima gadai, sehingga rahin menerima hak sepenuhnya atau melunasi seluruh utang yang ditanggungnya.[21]

 

5.      Berakhirnya Akad Gadai

Menurut Sayid Sabiq, jika barang gadai kembali ke tangan Rahin atau dengan kata lain,.jika barang gadai berada kembali dalam kekuasaan Rahin, maka ketika itu akad gadai sudah batal. Dengan demikian dalam perspektif Sayyid Sabiq agar akad gadai tidak batal barang gadai harus dalam penguasaan murtahin.[22] Gadai dipandang batal dengan beberapa keadaan seperti :

a.       Borg (barang gadai) diserahkan kepada pemiliknya. Jumhur ulama selain Syafi'i menganggap gadai menjadi batal jika murtahin menyerahkan Borg kepada pemiliknya (Rahin) sebab borg merupakan jaminan utang, jika borg diserahkan, tidak ada lagi jaminan. Selain itu dipandang batal pun akad gadai jika murtahin meminjamkan borgkepada Rahin atau kepada orang lain atas seizin Rahin.

1)      Dipaksa menjual borg Gadai batal, jika hakim memaksa Rahin untuk menjual borg atau hakim menjualnya jika Rahin menolak.

2)      Rahin melunasi semua hutang.

3)      Pembebasan hutang.

4)      Pembatalan akad gadai dari pihak murtahin

Akad gadai dipandang batal dan berakhir jika murtahin membatalkan Rahin meskipun tanpa seizin Rahin. Sebaliknya dipandang tidak batal jika Rahin membatalkanmya. Menurut ulama Hanafiyah, murtahin diharuskan untuk mengatakan pembatalan borg kepada Rahin. Hal ini karena Rahin tidak terjadi, kecuali dengan memegang. Begitu pula cara membatalkannya adalah dengan tidak memegang.

b.      Rahn  Meninggal. menurut Imam Malik, Rahin batal atau berakhir jika Rahin meninggal sebelum menyerahkan borg kepada murtahin. Juga dipandang batal jika murtahin meninggal sebelum mengembalikan borg kepada Rahin.

c.       Borg rusak, tasharruf dan Borg Rahn  dipandang habis apabila borg ditasharrufkan seperti dijadikan hadiah, hibah, sedekah, dan lain-lain atau jin pemiliknya.[23]

6.      Ketentuan Umum Pelaksanaan Gadai  dalam Islam

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan arrahn  antara lain:

a. Kedudukan Barang Gadai

Selama ada di tangan pemegang gadai, maka kedudukan barang gadai hanya merupakan suatu amanat yang dipercayakan kepadanya oleh pihak penggadai.

 

 

b. Pemanfaatan Barang Gadai

Pada dasarnya barang gadai tidak boleh diambil manfaatnya baik oleh pemiliknya maupun oleh penerima gadai. Hal ini disebabkan status barang tersebut hanya sebagai jaminan utang dan sebagai amanat bagi penerimanya. Apabila mendapat izin dari masing-masing pihak yang bersangkutan, maka barang tersebut boleh dimanfaatkan. Oleh karena itu agar di dalam perjanjian gadai itu tercantum ketentuan jika penggadai atau penerima gadai meminta izin untuk memanfaatkan barang gadai, maka hasilnya menjadi milik bersama. Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindari harta benda tidak berfungsi atau mubazir. Ulama syafi'iyah berpendapat ar rahin dibolehkan untuk memanfaatkan barang gadai. Jika tidak menyebabkan barang gadai itu berkurang, tidak perlu meminta izin kepada al murtahin, seperti mengendarainya, dan menempatinya. Akan tetapi, jika menyebabkan barang gadai tersebut berkurang seperti pengolahan sawah, dan kebun ar rahin harus meminta izin.[24]

c. Resiko Atas Kerusakan Barang Gadai

Ada beberapa pendapat mengenai kerusakan barang gadai yang di sebabkan tanpa kesengajaan murtahin. Ulama mazhab Syafi‟i dan Hambali berpendapat bahwa murtahin (penerima gadai) tidak menanggung resiko sebesar harga barang yang minimum. Penghitungan di mulai pada saat diserahkannya barang gadai kepada murtahin sampai hari rusak atau hilang.

d. Pemeliharaan Barang Gadai

Para ulama Syafi‟iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa biaya pemeliharaan barang gadai menjadi tanggungan penggadai dengan alasan bahwa barang tersebut berasal dari penggadai dan tetap merupakan miliknya. Sedangkan para ulama Hanafiyah berpendapat lain, biaya yang diperlukan untuk menyimpan dan memelihara keselamatan barang gadai menjadi tanggungan penerima gadai dalam kedudukanya sebagai orang yang menerima amanat.

e. Kategori Barang Gadai

Jenis barang yang biasa digadaikan sebagai jaminan adalah semua barang bergerak dan tak bergerak yang memenuhi syarat sebagai berikut, benda bernilai menurut hukum syara’, benda berwujud pada waktu perjanjian terjadi, dan benda diserahkan seketika kepada murtahin.

f. Pelunasan Barang Gadai

Apabila sampai pada waktu yang sudah di tentukan, rahin belum juga membayar kembali utangnya, maka rahin dapat dipaksa oleh marhun untuk menjual barang gadaianya dan kemudian digunakan untuk melunasi hutangnya.

g. Prosedur Pelelangan Gadai

Jumhur fukaha berpendapat bahwa orang yang menggadaikan tidak boleh menjual atau menghibahkan barang gadai, sedangkan bagi penerima gadai dibolehkan menjual barang tersebut dengan syarat pada saat jatuh tempo pihak penggadai tidak dapat melunasi kewajibanya.[25]



[1]Adib Bisri, Munawir AF, Kamus AL-BISRI, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1999), Cet. Ke-1, h. 274.

[2]Choiruman Pasaribu, Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), Cet. Ke-2, h. 139.

[3]Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Alih bahasa. H. Kamaluddin A Marjuki, (Bandung: PT. AlMaarif, 1996), h.139.

[4]Ibnu Qudamah, Al-Mughnil, Penerjemah Misbah, (Jakarta: Pustka Azzam, 2009), Cet. 1, h.  24.

[5]Chuzaimah T. Yanggo, A. Hafiz Anhory, A.Z, Problematika Hukum Islam Komtemporer III, (Jakarta: Pustaka Firdaus,2004), h..140.

[6]Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, …., h.139.

[7]Iwan Setiawan, “Penerapan Gadai Emas Pada Bank Syariah Perspektif Hukum Ekonomi Islam,”Al-Daulah, Vol. VI No.1 (April 2016), h. 198

[8]Departemen Agama RI Al-Quran dan Terjemahannya, (Jakarta: Yayasan Penyelenggaraan Penterjemah Al-Quran, 1986), h. 43

[9]M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003, h.125.

[10]Departemen Agama RI Al-Quran dan terjemahannya, (Jakarta: yayasan penyelenggaraan penterjemah Al-Quran, 1986), h. 157.

[11]Al-Qadhi Abu Syuja bin Ahmad Al-Ishfahani, Ringkasan Fiqih Mazhab Syafi‟I, alih bahasa Toto Edidarmo, (Jakarta:PT Mizan Publika,2012), Cet.2, hal. 327.

[12]TM. Hasbi Ash-Shiddieqi, Pengantar Fiqih Muamalah, (Jakarta: PT. Pustaka RizkiPutra, 1997),Cet.I, h. 26.

[13]Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan syariah, (Yogyakarta: Ekonisia Kampus Fakultas Ekonomi UII, 2004), h.160.

[14]Ahmad Sarwat, Fikih Sehari-hari, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, tth), h 93.

[15]Muhammad Shalikul Hadi, Pegadaian Syariah, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2003), h. 142.

[16]Chairuman Pasaribu, Suhwardi K.Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996) Cet. 2, h. 142.

[17]Iwan Setiawan, “Penerapan Gadai Emas Pada Bank Syariah Perspektif Hukum Ekonomi Islam,”Al-Daulah, Vol. VI No.1 (April 2016), h. 198

[18]Muhammad Sholikul Hadi, Pegadaian Syari‟ah, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2003), h. 53.

[19]Rahmat Syafi‟I, Fiqih Muamalah, Cet.3, (Bandung: Pustaka Setia, 2006), h.162

[20]Muhammad Shalikul Hadi, Pegadaian Syariah, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2003),h. 53

[21]Hasbi Ash Shiddieqy, Hukum-Hukum Fiqih Islam (Tinjauan Antar Mazhab, (Semarang: Pustaka Risky putra, 2001)Cet. II, h.366.

[22]Sayyid Sabbiq, Fiqhi Sunnah (Beirut: Darul-Kitab al-Arabi, 1987), Cetakan Ke-8, h. 190.

[23]Al-Faqih Abdul Wahid Muhammad bin Achmad bin Muhammad ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, alih bahasa: Imam Ghazali Syaid, Achmad Zaidun, (Jakarta: Pustaka Imani, 2007), Cet. 3, h. 207.

                [24]Muhammad dan Sholikhul Hadi, Pengadaian Syari’ah (Jakarta: Salembadiniyah, 2003), h. 54

[25]Muhammad dan Sholikhul Hadi, Pengadaian Syari’ah (Jakarta: Salembadiniyah, 2003), h. 54

1 comment:

MAKALAH RIBA

  1.       Pengertian Riba Riba berasal dari bahasa arab yang artinya tambahan (زيادة ,(yang berarti tambahan pembayaran atas uang pokok ...