”MAKALAH USHUL FIQH”
“ISTIHSAN”
Dosen Pengampu : Dr. Toha Andiko M.Ag
Disusun Oleh:
Faizurrahman Keraf Ainussyamsi
NIM : 1711120058
NIM : 1711120058
FAKULTAS SYARIAH
PRODI HUKUM EKONOMI SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI BENGKULU
BENGKULU
2018
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sumber hukum
islam yang disepakati ulama’ adalah al Qur’an, Hadits, Ijma’. Qiyas. Jumhur ulama’ menyepakati
keempat sumber hukum ini. Namun demikian masih terdapat beberapa ulama’ yang
tidak sepakat terhadap kehujjahan qiyas dengan beberapa alasan.
Seiring perjalan waktu, perkembangan
teknologi dan pengetahuan begitu pesat terjadi, sehingga muncul banyak
permasalahan-permasalahan baru yang terkadang tidak cukup dengan keempat sumber
hukum di atas. Atas dasar demikian muncul setelahnya beberapa metode istinbath hukum
yang pada kelanjutannya diklaim sebagai sumber hukum yang dipercaya. Kemunculan
sumber hukum yang baru tidak serta-merta diterima keabsahannya, sehingga tidak
heran pro dan kontra tetap bermunculan bahkan hingga saat ini. Terlepas dari
pro konta yang terjadi, jika melihat dari situasi dan kondisi masa ini
modifikasi terhadap hukum islam merupakan sebuah keniscayaan.
Di antara sumber hukum yang baru itu
adalah istihsan. Istihsan yang merupakan dalil syariat yang
prinsip dasarnya adalah kebaikan untuk umat, tentunya sangat dibutuhkan untuk
setidaknya meredam permasalahan-permasalahan baru yang terjadi. Karena jika
tetap berpegang pada sumber hukum yang empat dengan fanatisme buta, otomatis
agama akan ditinggalkan karena tidak bisa mewadahi permasalahan-permasalahan
baru yang terjadi.
Metode yang ditawarkan istihsan
cukup konflek kendati tetap membutuhkanpengembangan-pengembangan
yang signifikan. Jamal Ma’mur Asmani misalnya memandang bahwa istihsan
merupakan keniscayaan untuk menerapkannya pada masa ini, hal itu mencakup
seluruh bidang kehidupan (sosial, politik, ekonomi, budaya dan lain sebagainya)
tentunya dengan modifikasi-modifikasi yang tidak bertentangan dengan syariat
agama.
Dalam makalah sederhana ini,
penulis akan
membahas tentang istihsan, hal itu terkait dengan definisi dan pro kontra yang
terjadi terhadapnya. Tidak ketinggalan pula kita akan mengkaji tentang
pentingnya istihsan dalam kehidupan sekarang ini, yang mana kita temukan banyak
sekali permasalahan-permasalahan kontemporer yang membutuhkan ijtihad hukum
yang baru.
Ternyata tidak semua persoalan yang
dijumpai masyarakat islam ketika itu dapat diselesaikan dengan wahyu. Dalam
keadaan seperti ini, Nabi menyelesaikan dengan pemikiran dan pendapat beliau
dan terkadang pula melalui permusyawaratan dengan para sahabat. Inilah yang
kemudian dikenal dengan sunnah Rasul. Memang al-Qur’an hanya memuat
perinsip-perinsip dasar dan tidak menjelaskan segala sesuatu secara rinci.
Perinciannya khusus dalam masalah ibadat, diberikan oleh hadist. Sedangkan
dalam bidang muamalat, perinsip-perinsip dasar itu, yang belum dijelaskan oleh
Rasulullah SAW diserahkan kepada ummat untuk mengaturnya.[1]
Dengan demikian persoalan yang belum
ada nasnya dalam al-Qur’an dan Hadist, para ulama mencoba memberikan solusi
atau di istimbatkan hukumnya dengan berbagi metode, walaupun metode dalam
berijtihad berbeda satu sama lain, ada yang memakai metode misalnya Istihsan
tetapi ulama lain menolaknya. Dalam makalah ini akan dibahas tentang persoalan
metode berijtihad oleh para ulama, namun dalam makalah ini pembahasan cukup
difokuskan pada persoalan berijtihad dengan Istihsan.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa
definisi dari Istihsan ?
2. Bagaimana
Macam-macam Istihsan beserta contohnya ?
3. Bagaimana
Kehujjahan Istihsan ?
4. Apa
Perbedaan Istihsan dengan Qiyas ?
C.
Tujuan
Makalah Istihsan ini memiliki
beberapa tujuan, yakni:
1.
Untuk menginformasikan kepada Mahasiswa tentang gambaran
umum/penjelasan tentang definisi-definisi istihsan
2.
Untuk memperdalam ilmu Ushl fiqh, maka makalah ini
diharapkan dapat menjadi referensi sederhana terhadap salah satu bagian dari
materi ushl fiqh
3.
Sebagai bahan tinjauan di masa yang akan datang.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Istihsan
Isitihsan
menurut bahasa adalah menganggap baik terhadap sesuatu, sedangkan menurut
istilah ulam ushul fiqh, istihsan adalah berpalingnya seorang mujtahid dari
tuntunan qiyas yang jali (nyata) kepada tuntunan qiyas yang khafi (samar), atau
dari hukum kulli (umum) kepada hukum istitsnai (pengecualian), kerana terdapat
dalil yang mementingkan perpindahan.
Apabila ada
kejadian yang tidak terdapat nash hukumnya, maka untuk menganalisisnya dapat
menggyunakan dua aspek yang berbeda yaitu :
Pertama : Aspek
nyata ( Zhahir) yang menghendaki
suatu hukum
tertentu.
Kedua : Aspek
tersembunyi (Khafi) yang menghendaki
hukum lain.
Dalam hal ini,
apabila dalam diri mujtahid terdapat dalil yang mengunggulkan segi analisis
yang nyata, maka ini disebut dengan istihsan, menurut istilah syara’. Demikian pula apabila ada hukum
yang bersifat kulli (umum) namun pada diri mujtahid terdapat dalil yang
menghendaki pengecualian juz’iyyah
dari hukum kulli ( umum) tersebut, dan mujtahid tersebut menghendaki hukum juz’iyyah dengan hukum yang lain, maka
hal teresebut menurut syara’ juga disebut dengan istihsan.[1]
B. Macam-Macam
Istihsan
1.
Istihsan
Qiyasi
Istihsan Qiyasi adalah suatu bentuk pengalihan hukum
dan ketentuan hukum yang didasarkan kepada qiyas
jali ( nyata ) kepada ketentuan hukum yang didasarkan kepada qiyas khafi ( yang tersembunyi ), karena
adanya alasan yang kuat untuk mengalihkan ketentuan hukum tersebut. Alasan kuat
yang dimaksud disini adalah kemaslahatan. Istihsan dalam bentuk pertama inilah
yang disebut dengan istihsan qiyasi[2].
Contoh dibawah ini akan lebih mendekatkan pemahaman kita kepada pengertian Istihsan dalam bentuk yang pertama ini.
Berdasarkan istihsan qiyasi yang dilandasi oleh qiyas khafi, air sisa minuman burung
buas, adalah suci dan halal diminum, seperti : sisa minuman burung gagakatau
burung elang. Padahal, berdasarkan qiyas jali, sisa minuman binatang buas,
seperti anjing dan burung buas adalah najis dan haram untuk diminum, karena
sisa minuman tersebut telah bercampur dengan air liurnya, yaitu dengan
meng-qiyaskan kepada dagingnya. Sedangkan segi istihsannya bahwa jenis burung
yang buas, meskipun dagingnya haram tetapi air liur yang keluar dari dagingnya
tidaklah bercampur dengan sisa minumannya. Karena ia minum dengan menggunakan
paruhnya sedangkan paruh adalah tulang yang suci. Adapun binatang buas maka ia
minum dengan lidahnya yang bercampur
dengan air liurnya. Oleh karena inilah, sisa minumnya najis.[3]
Perbedaan hukum
antara air sisa minuman burung buas dengan air sisa minuman binatang buas ini
ditetapkan berdasarkan Istihsan qiyasi,
yaitu mengalihkan ketentuan hukum dari hukum yang berdasarkan qiyas jali (najis dan haram), kepada
hukum yang berdasarkan qiyas khafi (suci
dan halal), karena adanya alasan yang kuat untuk itu, yaitu kemaslahatan.
Contoh lainnya Misalnya,
kebolehan dokter melihat aurat wanita dalam proses pengobatan. Menurut kaidah
umum seseorang dilarang melihat aurat orang lain. Tapi, dalam keadaan tertentu
seorang harus membuka bajunya untuk didiagnosa penyakitnya. Maka untuk
kemaslahatan orang tersebut, menurut kaidah istishan seorang dokter dibolehkan melihat
aurat wanita yang berobat kepadanya.[4]
2.
Istihsan
Istishna’i
Istihsan Istishna’I adalah qiyas dalam bentuk pengecualian
dari ketentuan hukum yang berdasarkan prinsip-prinsip umum, kepada ketentuan
hukum tertentu yang bersifat khusus, istihsan
dalam bentuk yang kedua ini disebut dengan istihsan istishna’I. istihsan bentuk yang kedua ini terbagi menjadi
beberapa macam yaitu sebagai berikut :
1)
Istihsan
bi an-Nashsh
Istihsan bi an-Nashsh adalah pengalihan hukum dari ketentuan
yang umum kepada ketentuan lain dalam bentuk pengecualian, karena ada nashsh yang mengecualikannya, baik nashsh tersebut Al-Qur’an maupun Sunnah.
Contoh istihsan bi an-Nashsh berdasarkan Nashsh Al-Qur’an adalah berlakunya
ketentuan wasiat setelah seseorang itu wafat, padahal menurut ketentuan umum
ketika orang yang telah wafat, ia tidak berhak lagi terhadap kartanya,
karenanya telah beralih kepada ahli warisnya. Nyatanya, ketentuan umum tersebut
dikecualikan oleh Al-Qur’an, antara
lain termaktub dalam surah an-Nisa’ (4)
: 12 :
Sesudah
dipenuhi wasiat yang diwasiatkannya atau sesudah dibayar utangnya….[5]
Contoh istihsan bi an-Nash yang berdasarkan
sunnah ialah, tidak batalnya puasa orang yang makan atau minum karena lupa,
padahal menurut ketenutan umum, makan dan minum membatalkan puasa, nyatanya
ketentuan umum tersebut dikecualikan berdasarkan hadits [6]:
Dari
Abu Hurairah RA, katanya, Rasulullah SAW bersabda : “ Barangsiapa yang lupa
sedang ia berpuasa, kemudian ia makan atau minum, maka hendaklah ia
menyempurnakan puasanya, karena sesungguhnya Allah sedang memberi makan dan
minum kepadanya”.
2)
Istihsan
Bi al-Ijma’
Istihsan bi al-ijma’ adalah istihsan yang meninggalkan
penggunaan dalil qiyas karena adanya ijma’ ulama yang menetapkan hukum yang
berbeda dari tuntunan qiyas[7].
Sebagai contoh, ketetapan ijma’ tentang sahnya akad istishna’ ( perburuhann/pesanan). Menurut qiyas, semestinya akad itu batal. Sebab sasaran (obyek) akad tidak
ada ketika akad itu dilangsungkan.
Akan tetapi
karena transaksi model itu telah dikenal dan sah sepanjang zaman, maka hal itu
dipandang sebagai ijma’ atau urf’Am (tradisi) yang dapat mengalahkan
dengan dalil qiyas. Yang demikian ini berarti merupakan perpindahan suatu dalil
ke dalil lain yang lebih kuat
3) Istihsan bi al-Urf
Istihsan bi al-Urf adalah
pengecualian hukum dari prinsip syari’ah yang umum, berdasarkan kebiasaan yang
berlaku. Contohnya ialah, menurut ketentuan umum mentapkan ongkos kendaraan
umum dengan harga tertentu secara pukul rata, tanpa membedakan jauh atau
dekatnya jarak tempuh, adalah terlarang. Sebab, transaksi upah-mengupah harus
berdasarkan kejelasan pada obyek upah yang dibayar. Akan tetapi melalui istihsan, transaksi tersebut dibolehkan
berdasarkan kebiasaan yang berlaku, demi menjaga jangan timbul kesulitan
masyarkat dan terpeliharanya kebutuhan mereka terhadap transaksi tersebut.[8]
4)
Istihsan
bi ad-Dharurah
Istihsan bi ad-Dharurah adalah istihsan yang disebabkan oleh
adanya keadaan yang darurat (terpaksa) dalam suatu masalah yang mendorong
seorang mujtahid untuk meninggalkan dalil
qiyas. Seperti contoh menghukumkan sucinya air sumur atau kolam air yang
kejatuhan najis dengan cara menguras airnya. Menurut ketentuan umum, tidak
mungkin mensucikan sumur atau kolam hanya dengan mengurasnya. Sebab ketika air
sedang dikuras mata air akan terus mengeluarkan air yang kemudian akan
bercampur dengan air yang bernajis. Demikian juga dengan alat pengurasnya
(timba atau mesin pompa air); ketika bekerja, air yang bernajis akan mengotori
alat tersebut, sehingga air akan tetap najis. Akan tetapi, demi kebutuhan
menghadapi keadaan darurat, berdasarkan istihsan, air sumur atau kolam
dipandang suci setelah dikuras.[9]
5) Istihsan bi al- Mashlahah Mursalah
Istihsan bi al- Mashlahah Mursalah adalah mengecualikan ketentuan hukum
yang berlaku umum berdasarkan kemaslahatan, dengan memberlakukan ketentuan lain
yang memenuhi prinsip kemaslhatan. Misalnya, menetapkan hukum sahnya wasiat
yang ditujukkan untuk keperluan yang baik, dari orang yang berada dibawah
pengampuan, baik karena ia kurang akal maupun karena berperilaku boros. Menurut
ketentuan umum, tindakan hukum terhadap harta orang yang dibawah pengampuan
tidak sah, karena akan mengabaikan kepentingannya terhadap hartanya. Akan
tetapi, demi kemaslahatan, wasiat orang tersebut dipandang sah. Sebab, dengan
memberlakukan hukum sah wasiatnya yang ditujukkan untuk kebaikan,maka hartanya
akan tetap terpelihara. Apalagi mengingat bahwa hukum berlakunya wasiat adalah setelah
ia wafat; tentu hal itu tidak menganggu kepentingan orang yang berwasiat
tersebut. Oleh karena itu, ketentuan umum yang berlaku dalam harta orang yang
dibawah pengampunan dikecualikan khusus yang berkaitan dengan wasiat.[10]
C. Kehujjahan
Istihsan
Dari definisi
istihsan dan penjelasan terhadap kedua macam, jelaslah pada hakekatnya istihsan
bukan sumber hukum yang berdiri sendiri. Karena hukum-hukum tersebut pada
bagian pertama berasal dari qiyas khafi (tersembunyi) yang mengalhkan terhadap qiyas jali (jelas).
Karena adanya
beberapa faktor yang menenangkan hati para mujtahid yaitu dari segi istihsan.
Sedangkan bagian kedua dari istihsan, hukum-hukmnya antara lain berupa dalil
maslahat yang menuntut pengecualian juz’iyyah dari hukum kulli (umum) dan ini
juga disebut dengan segi istihsan.
Hujjah Istihsan
kebanyakan digunakan oleh kalangan ulama Hanafiyah, alasan mereka ialah bahwa
mencari dalil dengan istihsan hakikatnya merupakan Istidlal (mencari dalil). Dengan dasar qiyas yang tersembunyi, yang
lebih diungguli dari qiyas yang nyata. Atau sebagai upaya mengunggulkan suatu
qiyas dengan qiyas lain yang berlawanan dengan berdasarkan suatu dalil yang
bisa diandalkan atau merupakan Istidlal dengan
jalan mashlahah mursalah berdasarkan
pengcualian juz’iyyah dari hukum kulli ( umum), semua ini merupakan istidlal
yang sahih.[11]
D.
Perbedaan
Istihsan dengan Qiyas
Dari beberapa
definisi yang dikemukakan oleh para ulama diatas, dapat disimpulkan bahwa
Istihsan adalah penggunaan maslahat juziyyah pada suatu kasus tertentu yang
berlawanan dengan qiyas ‘am. Dalam hal ini para ulama memberikan beberapa
contoh diantaranya :
1.
Menurut
qiyas, saksi-saksi pada setiap kasus yang diajukan kedepan pengadilan haruslah
orang-orang yang adil. Sebab dengan sifat adil itulah seseorang dapat dinilai
jujur atau tidaknya sehingga kesaksiannya dapat dijadikan landasan keputusan
hakim. Akan tetapi, seandainya dalam suatu negara, seorang hakim/qadhi tidak
menemukan orang yang adil, maka ia wajib menerima kesaksian orang yang secara
umum dipandang dapat dipercaya ucapnnya, sehingga dengan demikian dapat dicegah
timbulnya kejahatan-kejahatan, baik terhadap harta benda maupun manusia/
individu.
Demikian
beberapa contoh istihsan yang pada intinya berkisar pada pencegahan pemakaian
qiyas secara berlebihan yang menjurus kearah yang tidak proporsional (qabih).[12]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Istihsan pada dasarnya adalah ketika seorang mujtahid lebih
cenderung dan memilih hukum tertentu dan meninggalkan hukum yang lain
disebabkan satu hal yang dalam pandangannya lebih menguatkan hukum kedua dari
hukum yang pertama. Artinya, persoalan khusus yang seharusnya tercakup
ada ketentuan yang sudah jelas, tetapi karena tidak memungkinkan dan tidak
tepat diterapkan, maka harus berlaku ketentuan khusus sebagai pengecualian dari
ketentuan umum atau ketentuan yang sudah jelas.
2.
Istihsan dipandang dari berbagai segi banyak macamnya.
Hal ini dapat dilihat dari segi dalil yang ditinggalkan dan dalil yang
dijadikan gantinya, dan adakalanya dari segi sandaran atau dasar yang
diikutinya saat beralih dari qiyas.
a.
Dilihat dari segi dalil yang ditinggalkan dan dalil yang
dijadikan gantinya istihsan.
b.
Ditinjau dari segi sandaran atau dalil yang menjadi dasar
dalam peralihan dari qiyas
c.
Ulama ushul dari kalangan malikiyah dikenal pula istihsan
yang dalam prakteknya dinamai dengan istislah
Dafar Pustaka
Wahab. Abdul.
Khallaf, 1994, Ilmu Ushul Fiqh,
Semarang : PT. Dina Utama
Rahman. Abd.
Dahlan, 2016, Ushul Fiqh, Jakarta :
Amzah
Abu. Muhammad.
Zahrah, 1999, Jakarta : Pustaka Firdaus
http://al-badar.net/pengertian-dan-kedudukan-istihsan-sebagai-hukum/
[1]A bdul
Wahab Khalaf, ilmu Ushul Fiqh, Toha Putra Group, 1994,) h. 131
[2] Abd. Rahman Dahlan,Ushul Fiqh Cet.4,( Jakarta : Amzah 2016), h.198
[3] Abdul Wahab Khalaf,
ilmu Ushul Fiqh, (Toha Putra Group, 1994), h. 134
[4] M uhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh,( Jakarta : PT. Firdaus
Pustaka), h 406
[5] Kementrian agama RI, Al-Qur’an Terjemah dan Tajwid (Jawa Barat,
Sygma creative media corp, 2014),
an-Nisa’, (12).
[6] Abd.
Rahman Dahlan,Ushul Fiqh Cet.4,(
Jakarta : Amzah 2016), h.200
[7] Muhammad
Abu Zahra, Ushul Fiqh,( Jakarta : PT.
Firdaus Pustaka), h 409
[8] Abd.
Rahman Dahlan,Ushul Fiqh Cet.4,(
Jakarta : Amzah 2016), h.202
[9] M
uhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh,( Jakarta
: PT. Firdaus Pustaka), h 409
[10] Abd.
Rahman Dahlan,Ushul Fiqh Cet.4,(
Jakarta : Amzah 2016), h.203
[11] Abdul
Wahab Khalaf, ilmu Ushul Fiqh, (Toha Putra Group, 1994), h. 136
[12] M
uhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh,( Jakarta
: PT. Firdaus Pustaka), h 403
[1] Febri
Hukum, Istihsan, diakses dari : http://febriramadhanii.blogspot.com/2015/02/makalah-istihsan_12.html/ pada tanggal 18
November 2018, pukul 10.34 WIB