1.
Pengertian
Mudharabah
Mudharabah adalah sebagai akad
kerjasama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (pemilik dana atau
shahibul mal) menyediakan seluruh dana, sedangkan pihak kedua (pengelola dana
atau mudharib) bertindak selaku pengelola, dan keuntungan dibagi diantara
mereka sesuai kesepakatan sedangkan kerugian financial hanya ditanggung oleh
pemilik dana. Kerugian akan ditanggung pemilik dana sepanjang kerugian itu
diakibatkan oleh kelalaian pengelola dana apabila kerugian yang terjadi
diakibatkan oleh kelalaian pengelola dana maka kerugian ini akan ditanggung
oleh pengelola dana.[1]
Akad Mudharabah merupakan suatu
transaksi investasi yang berdasarkan investasi yang berdasarkan kepercayaan,
kepercayaan merupakanunsur terpenting dalam akad Mudharabah, yaitu kepercayaan dari pemilik dana kepada pengelola
dana oleh karena kepercayaan merupakan unsur penting dalam Mudharabah. Dalam Mudharabah
pemilik dana tidak boleh mensyaratkan sejumlah dana tertentu karena dapat
dipersamakan dengan riba yaitu meminta kelebihan atau imbalan tanpa ada faktor
penyeimbang yang diperbolehkan syariah.[2]
Mudharabah adalah melakukan
usaha untuk mendapatkan keuntungan atau usaha yang dilakukan. Shahibul mal
sebagai pemilik dana atau investor, perlu mendapatkan imbalan atas dana yang
diinvestasikan. Sebaliknya, bila usaha yang dilakukan mudharib mengalami
kerugian, maka kerugian itu ditanggung oleh sahibul mal, selama kerugian bukan
karena penyimpanganatau kesalahan yang dilakukan olehmudharib.[3]
Pada prinsipnya dalam Mudharabah
tidak boleh ada jaminan atas modal, namun demikian agar pengelola dana tidak
melakukan penyimpangan, pemilik dana dapat meminta jaminan dari pengelola dana
atau pihak ketiga. Tentu jaminan ini hanya dapat dicairkan apabila pengelola
dana terbukti melakukan kesalahan yang disengaja, lalai atau melakukan
pelanggaran terhadap hal-hal yang telah disepakati bersama dalam akad. Jaminan
atau lebih dikenal dengan agunan adalah harta benda milik debitur atau pihak
ketiga yang diikat sebagai alat pembayaran. Jaminan dalam pengertian yang lebih
luas tidak hanya harta yang ditanggung saja, melainkan seperti kemampuan hidup
usaha yang dikelola oleh debitur.
Untuk menganalisis usaha debitur serta penambahan keyakinan atas
kemampuan debitur untuk mengembalikan pembiayaan yang telah diberikan
berdasarkan prinsi-prinsip syariah.
Kedudukan jaminan dalam pembiayaan sebagai penguat bagi bank untuk
pembiayaan pada pihak ketiga diperbolehkan dalam fiqih. Pembebanan jaminan
fidusia (pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan bahwa
yang dimilikinya tersebut dalam kepemilikan benda). [4]
Dalam akad Mudharabah pada bank
dilakukan sesuai dengan prosedur dan perundang-undangan yang berlaku dengan
tetap mematuhi pedoman prinsip kehatian-hatian demi mencegah pembiayaan
bermasalah yang tercamin dalam unsur 5C dalam melakukan analisis.[5]
2.
Landasan
Hukum Mudharabah
Landasan hukum syariah yang berhubungan dengan pembiayaan Mudharabah yaitu:
وَقُلِ ٱعْمَلُوا۟
فَسَيَرَى ٱللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُۥ وَٱلْمُؤْمِنُونَ ۖ وَسَتُرَدُّونَ
إِلَىٰ عَٰلِمِ ٱلْغَيْبِ وَٱلشَّهَٰدَةِ فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ
تَعْمَلُونَ
Artinya :
Bekerjasamalah kamu, maka Allah dan Rasulnya serta orang-
orang mukmin
akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang
maha mengetahui akan yang ghaib dan nyata, lalu diberitakanya kepada kamu apa
yang telah kamu kerjakan (Qs. at- Taubah:105).[6]
3.
Jenis-Jenis
Mudharabah
Pertama, Mudharabah Mutlaqah
adalah Mudharabah dimana pemilik dana
memberi kebebasan kepada pengelola dana dalam pengelolaan investasinya. Mudharabah ini disebut juga investasi
tidak terkait. Jenis Mudharabah ini ditentukan
dimasa berlakunya, dimana usaha tersebut akan dilakukan, tidak ditentukan line of trade yang akan dikerjakan.
Namun kebebasan ini bukan kebebasan yang tak terbatas sama sekali. Modal yang
ditanamkan tetap tidak boleh digunakan untuk membiayai proyek atau investasi
yang dilarang oleh islam.[7]
Dalam Mudharabah mutlaqah
pengelola dana memiliki kewenangan untuk melakukan apa saja dalam pelaksanaaan
bisnis bagi keberhasilan tujuan Mudharabah
itu. Kedua, Mudharabah Muqayyadah
adalah Mudharabah dimana pemilik dana
memberikan batasan kepada pengelola antara lain mengenai dana, lokasi,cara atau
objek investasi atau sektor usaha.Misalnya, tidak mencampurkan dana yang
dimiliki oleh pemilk dana dengan dana lainya, tidak menginvestasikan dananya
pada transaksi penjualan cicilan tanpa penjaminan atau mengharuskan pengelola
dana untuk melakukan investasi sendiri tanpa melalui pihak ketiga, Mudharabah jenis ini disebut juga
investasi terikat.[8]
Ketiga, Mudharabah Musyarakah
adalah Mudharabah dimana pengelola
dana menyertakan modal atau dananya dalam kerjasama investasi diawal kerjasama,
akad yang disepakati adalah akad Mudharabah
dengan modal 100% dari pemilik dana,
setelah berjalanoperasi usaha dengan pertimbangan tertentu dan kesepakatan
dengan pemilik dana, pengelola dana ikut menanamkan modal usaha tersebut jenis Mudharabah seperti ini disebut Mudharabah musyarakah yang merupakan perpaduan antara akad Mudharabah dan akad musyarakah.
4.
Rukun
dan Syarat Mudharabah
Pertama. Pelaku, ketentuan syariahnya yaitu pelaku harus cakap hukum dan
baligh, pelaku akad Mudharabah dapat
dilakukan sesama muslim atau dengan
non-muslim, pemilik dana tidak boleh ikut campur dalam pengelolaan usaha
tetapi ia boleh mengawasinya.[9]
Kedua. Objek Mudharabah (modal
dan kerja) merupakan konsekuensi logis dengan dilakukan akad Mudharabah yaitu modal yaitu modal yang
diserahkan dapat berbentuk uang atau aset lainya harus jelas jumlahnya dan
jenis modal harus tunai dan tidak utang. Tanpa adanya setoran modal berarti
pemilik dana tidak memberikan kontribusi apapun padahal pengelola dana harus
bekerja, modal harus diketahui denga jelas jumlahnya sehingga dapat dibebankan
dari keuntunganya.
Apabila terjadi pelanggaran kecuali atas izin pemilik dana, pengelola
dana tidak diperbolehkan untuk meminjamkan modal kepada orang lain dan apabila
terjadi maka dianggap terjadi pelanggaran kecuali atas seizin pemilik dana,
pengelola dana memiliki kebebasan untuk mengatur modal menurut kebijaksanaan
dan pemikiran sendiri, selama tidak dilarang secara syariah. kerja yaitu
kontribusi pengelola dana dapat berbentuk keahlian, keterampilan dan lain-
lain, kerja adalah hak pengelola dana dan tidak boleh diintervensikan oleh
pemilik dana, pengelola dana harus menjalankan usaha sesuai dengan syariah,
pengelola harus mematuhi semua ketetapan yang ada dalam kontrak, dalam hal
pemilik dana tidak melakukan kewajiban atau melakukan pelanggaran terhadap
kesepakatan, pengelola dana sudah menerima modal dan sudah bekerja maka
pengelola dana berhak mendapatkan imbalanatau ganti rugi.
Ketiga. Ijab kabul yaitu
pernyataan dan ekspresi saling rida atau rela diantara pihak-pihak pelaku akad
yang dilakukan secara verbal, tertulis, melalui korespondensi atau menggunakan
cara-cara komunikasi modern.
Keempat. Nisbah keuntungan yaitu
nisbah adalah besaran yang digunakan
untuk pembagian keuntungan, mencerminkan imbalan yang berhak diterima oleh
kedua pihak yang berMudharabah atas
keuntungan yang diperoleh. Pengelola dana mendapatkan imbalan atas kerjanya
sedangkan pemilik dana mendapatkan imbalan atas penyertaan modalnya nisbah
keuntungan harus diketahui dengan jelas oleh kedua belah pihak inilah yang
mencegah terjadinya perselisihan antara kedua belah pihak mengenai cara
pembagian keuntungan, perubahan nisbah harus berdasarkan kesepakatan kedua
belah pihak, pemilik dana tidak boleh meminta pembagian keuntungan dengan
menyatakan nilai nominal tertentu karena dapat menimbulkan riba.[10]
A.
Fatwa
DSN No. 07/DSN- MUI/IV/ 2000 Tentang Mudharabah
a.
Ketentuan
Pembiayaan
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam hal pembiayaan sebagaimana
diatur di dalam fatwa ini antara lain adalah;
Pembiayaan Mudharabah adalah
pembiayaan yang disalurkan oleh LKS kepada pihak lain untuk kegiatan usaha yang
produktif. dalam pembiayaan ini, LKS berperan sebagai shahibul maal yang
membiayai 100% kebutuhan dana untuk suatu proyek sedangkan pengusaha merupakan
mudharib yang murni berperan sebagai pengelola usaha.
Jangka waktu suatu usaha dan tata cara pengembalian dana juga pembagian
keuntungan ditentukan berdasarkan kesepakatan antara pemilik modal dan
pengelola dana. Pengusahaboleh melakukan berbagai ancaman usaha yang telah
disepakati bersama sesuai dengan syariah. Dan LKS tidak ikut serta dalam
manajemen perusahaan atau proyek tetapi mempunyai hak untuk melakukan pembinaan
dan pengawasan.
Jumlah dana pembiayaan yang diajukan harus dinyatakan dengan jelas dalam
bentuk tunai bukan piutang. LKS sebagai penyedia dana menanggung semua kerugian
akibat dari pengelolakecuali pengelola melakukan kesalahan yang disengaja,
lalai, atau menyalahi perjanjian. pada prinsipnya, dalam pembiayaan Mudharabah tidak ada jaminan yang
diberikan.
Namun agar pengelola dana tidak melakukan penyimpangan, LKS dapat meminta
jaminan dari pengelola dana atau pihak
ketiga jaminan hanya dapat dicairkan apabila mudharib terbukti melakukan
pelanggaran terhadap hal-hal yang telah disepakati bersama akad.
Kriteria pengusaha dalam mengajukan pembiayaan, prosedur pembiayaan dan
mekanisme pembagian keuntungan diatur oleh LKS dengan memperhatikan Fatwa DSN.
Biaya operasional yang dikeluarkan bank dibebankan kepada pengelola dana.
sedangkan dalam hal menyandang dana (LKS) tidak melakukan kewajiban untuk melakukan
pelanggaran terhadap kesepakatan, mudharib berhak mendapat ganti rugi atau
biaya yang dikeluarkan.[11]
b.
Ketentuan
Syariah
Mudharabah boleh ditinjau
dibatasi pada priode tertentu. Kontrak boleh dikaitkan dengan sebuah kerjasama
dimasa depan yang belum tentu terjadi. Pada dasarnya, dalam Mudharabah tidak ada ganti rugi, karena
pada dasarnya akad bersifat amanah. Jika salah satu pihak tidak menunaikan
kewajibanya atau tidak terjadi perselisihan diantara kedua belah pihak, maka
penyelesaian dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai
kesepakatan melalui musyawarah.
[1]Syafei
Rahmat Fiqh Muamalah (Jakarta: Pustaka Setia, 2008)h. 227.
[2]Nurul
Huda dan Mohamad Heykal, Lembaga Keuangan
Islam Tinjauan Teoritis dan Praktis, Edisi Pertama, Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2010, h. 71
[3]Abdullah
Saeed, Bank Islam dan Bunga,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, h. 91
[4]Adiwarman
Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan
Keuangan Edisi II, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), h. 194
[5]Muhammad,
Manajemen Pembiayaan,…,h.18
[6]Departemen
Agama Republik Indonesia, Al-Quran
danTerjemahanya (Bandung: PT. Syamil
Cipta Media, 2015). h. 162.
[7]M.
Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam
Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), h. 171
[8]Ahmad
Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Amzah, 2010), h. 366
[9]Hendi
Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2010), h. 136
[10]Muhammad,
Manajemen Pembiayaan,…, h. 22
[11]Dikutip
dari http://mui.or.id/index.php/2010/03/26/fatwa-dsn-mui-no-no-07dsn-muiiv2000-
pada tanggal 22 Februari 2022