“PUNGUTAN DESA DALAM KACAMATA PENGATURAN
DESA”
Oleh : Faizurrahman Keraf Ainus Syamsi, SH
ABSTRAK
Mengenai
materi muatan yang boleh diatur dalam Peraturan Desa pada prinsipnya harus
merujuk pada peraturan perundang-undangan yang ada, khususnya mengenai pengaturan
perundang-undangan lebih tinggi. Sehingga dapat dikatakan bahwa Peraturan Desa
dapat mengatur hal-hal yang belum atau tidak diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi, dengan catatan hal tersebut harus
termasuk ke dalam kewenangan desa. Terkait pungutan yang diatur dalam Peraturan
Desa, hal ini tertuang dalam Pasal 69 ayat (4) Undang Undang tentang Desa
bahwa aturan tersebut harus melalui evaluasi terlebih dahulu dari Bupati atau
Walikota sebelum ditetapkan menjadi Peraturan Desa. Pungutan diperkenankan diatur, tetap ada
pembatasan, yaitu harus dalam bentuk Peraturan Desa yang tercantum dalam Pasal
37 Permendagri Nomor 44 Tahun 2016 bahwasanya Desa dapat melaksanakan pungutan dalam
rangka peningkatan pendapatan asli Desa sesuai dengan kewenangan Desa
dan Desa Adat berdasarkan peraturan perundang-undangan. Sehingga Desa dilarang
melakukan pungutan atas jasa layanan administrasi yang diberikan kepada
masyarakat desa, meliputi surat pengantar, surat
rekomendasi; dan surat keterangan. Adapun pungutan yang boleh dilakukan desa
adalah pungutan atas jasa usaha seperti pemandian umum, wisata desa,
pasar desa, tambatan perahu, karamba ikan, pelelangan ikan, dan lain-lain. Maka
, pungutan desa terhadap pembuatan surat talak rujuk, kelakuan baik, keterangan
domisili, surat penyerahan hak tanah yang merupakan jasa layanan administrasi
adalah dilarang.
Kata Kunci : Pungutan Desa, Desa, Peraturan Desa.
A. Pendahuluan
Pembangunan desa merupakan salah satu agenda pembangunan nasional sesuai dengan Nawacita ketiga dari pemerintahan saat ini, yaitu membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan. Hal ini merupakan ikhtiar yang dilakukan untuk mengurangi kesenjangan antara desa dengan kota, dengan mempercepat pembangunan desa-desa mandiriserta membangun keterkaitan ekonomi lokal antara desa dengan kota melalui pembangunan desa dan kawasan perdesaan.
Dalam rangka pembangunan desa, tak jarang beberapa kebijakan desa yang mengambil pungutan kepada masyarakat ketika mengurus berkas-berkas administrasi di pemerintahan desa. Jika kita melihat fenomena yang terjadi di Indonesia saat ini, status pungutan yang dilakukan oleh pemerintah desa menjadi polemik di tengah-tengah masyarakat, apakah dapat digolongkan sebagai pungutan yang sah ataukah dikategorikan sebagai pungutan liar (pungli). Apakah dengan memberlakukan pungutan untuk biaya pembuatan administrasi dar masyarakat seperti pembuatan surat talak rujuk, surat domisili, surat penyerahan hak tanah dan lain sebagainya ini bisa dikategorikan sebagai pungutan liar ataukah legal dalam penerapannya, bagaimana dalam pandangan kacamata pengaturan desa terkait hal tersebut. Pembuatan berkas administrasi seperti yang disebutkan di atas memang sangat umum kita jumpai, akan tetapi kondisi ketidakpastian ini meresahkan masyarakat, dikarenakan terdapat pungutan yang di ambil dalam proses pembuatan berkas tersebut.
Penelitian ini akan meneliti legalitas pungutan desa yang diatur dalam kacamata peraturan desa terkhususnya pada Undang Undang Nomor 6 tahun 2014 Tentang Desa sebagaimana yang telah penulis sampaikan di atas. Supaya tulisan ini tidak rancu peneliti juga menggunakan teori dan perspektif yang relevan dengan pembahasan di dalam tulisan ini. Dalam hal yang akan diteliti dalam penelitian ini peneliti ingin menilik pungutan desa tersebut dari aspek legalitasnya. Adapun permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah Bagaimana legalitas pungutan desa dalam perspektif Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 ?
B.
Metode Penelitian
Penelitian
ini merupakan penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif dilakukan
dengan meneliti peraturan perundangundangan di bidang pemerintahan desa yang
terkait. Beberapa peraturan perundang-undangan dimaksud, diantaranya Undang
Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana diubah dengan Undang
Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang perubahan atas Undang Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Pertauran Perundang-Undangan, Undang Undang Nomor 11
Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 111 Tahun
2014 tentang Pedoman Teknis Peraturan di Desa, Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 44 Tahun 2016 Tentang Kewenangan Desa, dan Peraturan Menteri Desa,
Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Nomor 1 Tahun 2015 tentang
Pedoman Kewenangan Berdasarkan Hak Asal Usul dan Kewenangan Lokal Berskala
Desa.
Penelitian
ini menggunakan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer
yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, berupa norma dasar atau kaidah dasar
yaitu Undang Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan desa. Bahan hukum sekunder merupakan
bahan yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, berupa buku, artikel-artikel
ilmiah, makalah, bahan-bahan bacaan pendukung dari internet (virtual research) dan bahan-bahan lain
sejenis sepanjang mengenai hal-hal yang dibahas dalam penelitian
Data
yang diperoleh dari penelitian dilakukan analisa dengan menggunakan pendekatan
perundang-undangan (statute approach)
dan pendekatan analitis (analytical
approach). Pendekatan perundang-undangan berarti melakukan pengkajian
peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan tema sentral penelitian,
yaitu berkaitan dengan implementasi UU Desa. Adapun pendekatan analitis berarti
mengetahui makna yang dikandung oleh istilah-istilah yang digunakan dalam
aturan perundang-undangan secara konsepsional sekaligus mengetahui penerapannya
dalam praktik dan putusan-putusan hukum.[2] Berdasarkan
analisis data tersebut akan didapatkan kesimpulan yang bersifat komprehensif
sesuai dengan permasalahan dalam kajian ini.
C.
Hasil dan Pembahasan
Peraturan
Desa tidak disebut dalam hierarki peraturan perundang-undangan pada Undang
Undang Nomor 12 Tahun 2011. Namun, keberadaannya diakui berdasarkan
pada Pasal 8 Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011 yang dimaknai peraturan
yang dibentuk oleh kepala desa. Penegasan keberadaan Peraturan Desa kemudian
diatur lebih lanjut dalam Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa. Kemudian
di Pasal 117 angka 1 Undang Undang Nomor 11 Tahun 2020 yang mengubah
Pasal 1 angka 7 Undang Undang tentang Desa mendefinisikan peraturan desa
sebagai berikut:
Peraturan
Desa adalah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Kepala Desa
setelah dibahas dan disepakati bersama Badan Permusyawaratan Desa.[3]
Adapun
Peraturan Desa adalah salah satu dari peraturan yang ada di desa selain
Peraturan Kepala Desa dan Peraturan Bersama Kepala Desa. Patut digarisbawahi,
Peraturan Desa sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan tidak
boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Selain itu, Peraturan Desa juga tidak boleh bertentangan dengan kepentingan
umum. Maksud dari kepentingan umum adalah kondisi terganggunya kerukunan
masyarakat, terjadinya diskriminasi berbasis SARA, terganggunya pelayanan
publik, hingga terganggunya keamanan dan ketertiban masyarakat.[4]
Selanjutnya, mengenai materi muatan yang boleh diatur dalam Peraturan Desa pada prinsipnya harus merujuk pada peraturan perundang-undangan yang ada, khususnya pengaturan perundang-undangan lebih tinggi.
Sebagai peraturan yang berlaku pada lingkup desa, Peraturan Desa dapat memuat materi tentang pelaksanaan kewenangan desa dan mengatur lebih lanjut materi muatan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.[5] Sehingga dapat dikatakan bahwa Peraturan Desa dapat mengatur hal-hal yang belum atau tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, dengan catatan hal tersebut harus termasuk ke dalam kewenangan desa. Terkait pungutan yang diatur dalam Peraturan Desa, sebenarnya Peraturan Desa dapat mengatur tentang pungutan. Ketentuan ini secara tidak langsung tertuang dalam Pasal 69 ayat (4) Undang Undang tentang Desa :
“Rancangan
Peraturan Desa tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, pungutan,
tata ruang, dan organisasi Pemerintah Desa harus mendapatkan evaluasi
dari Bupati/Walikota sebelum ditetapkan menjadi Peraturan Desa.”[6]
Dari
bunyi ketentuan di atas, dapat dipahami adalah sebuah keharusan pengaturan
pungutan hanya diatur melalui Peraturan Desa. Artinya,secara a contrario,[7] pungutan
desa tidak dapat diatur dengan Peraturan Kepala Desa atau Peraturan Bersama
Kepala Desa.
Selain
itu, sebelum ditetapkan menjadi Peraturan Desa, sebuah Rancangan Peraturan Desa
tentang pungutan pun harus mendapatkan evaluasi dari Bupati/Walikota. Maka,
walaupun pungutan diperkenankan diatur, tetap ada pembatasan, yaitu harus
dalam bentuk Peraturan Desa dan harus melewati evaluasi dari Bupati/Walikota, penegasan
kebolehan pengaturan pungutan desa tercantum dalam Pasal 37 Permendagri
Nomor 44 Tahun 2016 :
“Desa dapat melaksanakan pungutan dalam rangka peningkatan pendapatan asli Desa sesuai dengan kewenangan Desa dan Desa Adat berdasarkan peraturan perundang-undangan.”[8]
Akan tetapi, desa dilarang melakukan pungutan atas jasa layanan administrasi yang diberikan kepada masyarakat desa, meliputi surat pengantar, surat rekomendasi, dan surat keterangan. Adapun pungutan yang boleh dilakukan desa adalah pungutan atas jasa usaha seperti pemandian umum, wisata desa, pasar desa, tambatan perahu, karamba ikan, pelelangan ikan, dan lain-lain.
Sehingga, pungutan desa terhadap pembuatan surat talak rujuk, kelakuan baik, keterangan domisili, surat penyerahan hak tanah yang merupakan jasa layanan administrasi adalah dilarang, karena mempunyai indikasi sebagai pungutan liar dan bertentangan dengan Peraturan yang berlaku.
D. Penutup
Kesimpulan
Pungutan desa disebutkan di dalam Pengaturan Desa. Akan Tetapi, Peraturan Desa tidak disebut dalam hierarki peraturan perundang-undangan pada Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011. Namun, keberadaannya diakui berdasarkan pada Pasal 8 Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011 yang dimaknai peraturan yang dibentuk oleh kepala desa. Mengenai materi muatan yang boleh diatur dalam Peraturan Desa pada prinsipnya harus merujuk pada peraturan perundang-undangan yang ada, khususnya mengenai pengaturan perundang-undangan lebih tinggi. Sehingga dapat dikatakan bahwa Peraturan Desa dapat mengatur hal-hal yang belum atau tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, dengan catatan hal tersebut harus termasuk ke dalam kewenangan desa. Terkait pungutan yang diatur dalam Peraturan Desa, sebenarnya Peraturan Desa dapat mengatur tentang pungutan. Ketentuan ini secara tidak langsung tertuang dalam Pasal 69 ayat (4) Undang Undang tentang Desa bahwa aturan tersebut harus melalui evaluasi terlebih dahulu dari Bupati atau Walikota sebelum ditetapkan menjadi Peraturan Desa. Pungutan diperkenankan diatur, tetap ada pembatasan, yaitu harus dalam bentuk Peraturan Desa yang tercantum dalam Pasal 37 Permendagri Nomor 44 Tahun 2016 bahwasanya Desa dapat melaksanakan pungutan dalam rangka peningkatan pendapatan asli Desa sesuai dengan kewenangan Desa dan Desa Adat berdasarkan peraturan perundang-undangan. Sehingga Desa dilarang melakukan pungutan atas jasa layanan administrasi yang diberikan kepada masyarakat desa, meliputi surat pengantar, surat rekomendasi; dan surat keterangan. Adapun pungutan yang boleh dilakukan desa adalah pungutan atas jasa usaha seperti pemandian umum, wisata desa, pasar desa, tambatan perahu, karamba ikan, pelelangan ikan, dan lain-lain. Maka , pungutan desa terhadap pembuatan surat talak rujuk, kelakuan baik, keterangan domisili, surat penyerahan hak tanah yang merupakan jasa layanan administrasi adalah dilarang.
Saran
Dari personalan yang penulis jabarkan di atas, terdapat beberapa saran dari penulis untuk bisa menjadi acuan untuk Desa mengenai pungutan yang di berlakukan oleh pemerintah Desa sendiri, yang terdiri sebagai berikut :
- Dalam upaya menghindari pandangan buruk dari masyarakat alangkah baiknya pemerintah desa melakukan sosialisasi terhadap masyarakat terkait pengaturan mengenai pungutan Desa kepada masyarakat agar masyarakat bisa menilai kebijakan terbaik bagi desa
- Dalam proses pembentukan peraturan desa diharapkan untuk mengikuti segala bentuk aturan yang diatur di dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, agar tersusun secara sistematis dan logis dalam implementasinya.
DAFTAR PUSTAKA
A.
Buku
Atmasasmita, Romli. (2012). Teori Hukum Integratif. Yogyakarta:
Genta Publishing.
Ibrahim, Johnny. (2005). Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif.
Malang: Bayumedia Publishing.
B.
Jurnal
Zulkarnain Ridlwan, “Urgensi
Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Dalam Pembangun Perekonomian Desa”, Fiat
Justisia Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 8
No. 3, Juli-September 2014
C.
Peraturan
Perundang-Undangan
Undang
Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana diubah dengan
Undang Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang perubahan atas Undang Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Pertauran Perundang-Undangan
Undang
Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 111 Tahun 2014 tentang Pedoman Teknis Peraturan di
Desa
Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 44 Tahun 2016 Tentang Kewenangan Desa,
Peraturan
Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Nomor 1 Tahun 2015
tentang Pedoman Kewenangan Berdasarkan Hak Asal Usul dan Kewenangan Lokal
Berskala Desa.
[1]Zulkarnain
Ridlwan, “Urgensi Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Dalam Pembangun Perekonomian
Desa”, Fiat Justisia Jurnal Ilmu Hukum,
Vol. 8 No. 3, Juli-September 2014, h. 428.
[2]Johnny
Ibrahim, Teori dan Metode Penelitian
Hukum Normatif, Malang: Bayumedia Publishing, 2005, h. 271- 284.
[3]Pasal 117 angka 1 Undang Undang
Nomor 11 Tahun 2020 yang mengubah Pasal 1 angka 7 Undang Undang tentang
Desa.
[4]Pasal 1
Ayat 13 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 111 Tahun 2014 Tentang Pedoman
Teknis Peraturan Desa.