Followers

Wednesday, May 6, 2020

HUKUM ADAT DALAM BEBERAPA YURISPUDENSI


Yurisprudensi Sebagai Sumber Hukum
Di samping undang-undang, kebiasaan, dan perjanjian internasional masih ada sumber hukum lain yaitu yurisprudensi, doktrin, dan perjanjian yang oleh van apeldorn (L.J. Van Apeldoorn.1954) di sebut sebagai faktor yang membantu pembentukan hukum. Sementara itu, lemaire (W.L.G. lemaire.1952) menyebutkan bahwa yurisprudensi, ilmu hukum (doktrin) dan kesadaran hukum dapat merupakan sebagai determinan pembentukan.
 Karena itu, sudikno mertokusumo (Sudikno mertokusumo. 1983) mengatakan bahwa yurisprudensi berarti peradilan pada umumnya yaitu pelaksaan hukum dalam hal konkrek terjadi tuntunan hak yang dijalankan oleh suatu badan yang berdiri sendiri dan di adakan oleh negara serta bebas dari pengaruh apapun atau siapapaun dengan cara memberikan putusan yang bersifat memikat dan ber ibawah. Di samping itu, yurisprudensi dapat pula berarti ajaran hukum atau doktrin yang di muat dalam putusan.
Sudikno mertokusumo mengatakan bahwa yurisprudensi adalah putusan pengadilan.yurisprudensi atau putusan pengadilan adalah merupakan produk yudikatif, yang berisi kaidah atau peraturan hukum yang mengikat pihak-pihak yang bersangkutan atau terhukum. Dengan demikian, yurisprudensi adalah sumber hukum lain yang dapat membantu pembentukan hukum. Karena itu,yurisprudensi lahir dari adannya putusan hakim dalam suatu kasus tertentu dapat di jadikan dasar hukum atau sumber hukum untuk menyelesaikan kasuskasus hukum yang serupa di kemudian hari. Pada dasarnya Indonesia tidak menganut asas stare decicis.
Beberapa contoh bentuk yurisprudensi dalam hukum adat dapat di lihat gambaram berikut ini.

Yurisprudensi hukum adat aceh
YURISPRUDENSI
Reg.no 1476 K/Sip/1982 tanggal 19 juli 1983
Menurut hukum adat aceh,meskipun seorang istri nusyur(ingkar atau istri lari dari suami) tidaklah hilang haknya untuk mendapatkan bagiannya dari harta sehareukat ‚harta pencaharian‛ yang di peroleh suami istri selama ikatan perkawinan. Bahwa hak istri atas harta bersama (areuta sihareukat) karena perceraian adalah separuhnya.
Yurisprudensi hukum adat sumatra utara (batak)
YURISPRYDENSI
Reg.no. 54 K/Sip/1958 tanggal 25 oktober 1958
Menurut hukum adat batak yang bersifat patriachaal semua harta yang timbul dalam perkawinan adalah milik suami, namun istri mempunyai hak memakai seumur hidup dari harta suaminya, selama harta itu di perlukan untuk penghidupannya.
Yurisprudensi hukum adat sumatra barat barat (minagkabau)
YURISPRUDENSI
Reg.no.120 K/Sip/1960 tanggal 9 april 1960
Hasil pencarian harus di bagi sama-sama rata antara suami-isteri
YURISPRUDENSI
Reg.no. 869 K/Sip.1974 tangaal 17 november 1977
Ahli waris bertali darah tidak mewarisi soko (gelar), sedang yang berhak menerima harta pusaka tinggi adalah ahli waris yang berhak memakai soko (gelar) tersebut.
Yurisprudensi hukum adat jakarta
YURISPRUDENSI
Reg. No 2267/1953 G tanggal 5 januari 1957
Seorang janda perempuan dari seorang peninggal-warisan di anggap ahli waris dengan menerima 1/8 dari harta warisan.
Yurisprudensi hukum adat jawa barat
YURISPRUDENSI
Reg. No 130K/Sip./1957 tanggal 5 maret 1957
Menurut hukum adat daerah priangan seorang janda dari si peninggal warisan dan para anak bersama-sama berhak atas harta warisan. Apabila janda dari si peninggal warisan dianggap bukan ahli waris, untuk meghindarkan salah paham, sebaiknya janda itu dan para anak dari sipeninggal warisan di tetapkan bersama-sama berhak atas warisan.
Yurisprudensi hukum adat jawa tengah
YURISPRUDENSI
Reg. No. 284 K/Sip./1958 tanggal 10 september 1958
Bilamana seorang lelaki kawin dengan lebih dari seorang perempuan,sedangkan ada pula lebih dari satu gono-gini, maka gono-gini itu di pisahkan
Yurisprudensi hukum adat bali
YURISPRUDENSI
Reg. No. 53 K/Sip./1952 tanggal 1 juni 1955
Menurut hukum adat bali,kalau seorang wafat meninggalkan seorang anak laki-laki. Maka anak itu adalah satu-satunya ahli waris, yang berhak untuk memajukan gugatan tentang peninggalan almarhum bapaknya.
Yurisprudensi hukum adat sulawesi
YURISPRUDENSI
Reg. No. 1161 K/Sip/1971 tanggal 29 januari 1973
 Harta bawaan adalah di anggap paling adil apabila diberikan sama rata di antara ahli waris.
YURISPRUDENSI
Reg. No. 1832 K/Pdt/1979 tanggal 6 agustus 1983
Putusan pengadilan tinggi tidak bertentangan dengan hukum dan undang-undang, pembagian warisan ditentukan sesuai dengan keputusan mahkamah syariah provinsi.

HUKUM ADAT DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN HINDIA BELANDA DAN REPUBLIK INDONESIA


A.    Hukum Adat dalam Peraturan Perundangundangan Hindia-Belanda
Dasar perundang-undangan berlakunya hukum adat pada masa pemerintahan kolonial Hindia-Belanda adalah:
1.      Pasal 131 ayat (2) sub b IS (Indische Staatsregeling) dan;
2.       Pasal 13 ayat (2) IS.
Ketentuan pasal ini tercantum dalam Bab VII IS; IS (Indische Staatsregeling) adalah singkatan dari undangundang yang selengkapnya disebut Wet op de Staatsinrichting van Nederlands-Indie yang berlaku sejak tanggal 1 Januari 1920 dan dicantumkan dalam Stb. 1925 Nomor 415 jo Nomor 577 berlaku mulai tanggal 1 Januari 1926.
Bab VII IS yang memuat Pasal 131 dan 134 di atas hanya berlaku bagi hakim yang dahulu disebut “Gouverments-Rechter” (dalam hal ini Landraad adalah pengadilan yang diadakan oleh pemerintah Hindia-Belanda) yang sekarang bertindak sebagai Pengadilan Negeri
Sedangkan dasar perundang-undangan berlakunya hukum adat bagi peradilan adat, hukum adat untuk daerah swapraja dan untuk hakim adat di Jawa dan Madura diatur tersendiri dalam pasal-pasal berikut:
1. Pasal 3 S. 1932 Nomor 80 Pasal ini merupakan pasal dasar perundangundangan berlakunya hukum adat bagi peradilan adat (inheemse Recht-Spraak, yaitu peradilan yang berlaku bagi Bumi Putera
2. Pasal 13 ayat (3) Zelfbestuurs-Regelen 1938, S. 1938, S. 1938 Nomor 529 dan di dalam “Lange Contracten” Pasal ini merupakan pasal dasar perundangundangan berlakunya hukum adat di Daerah Swapraja, yaitu Yogyakarta dan Surakarta.
3. Pasal 3a ROS. 1847 Nomor 23 jo 1848 Nomor 47 Pasal ini merupakan pasal dasar perundangundangan berlakunya untuk Hakim Adat di Jawa dan Madura yang diberi nama“Dorpsrechter” (hakim desa, peradilan desa).
Isi ketentuan Pasal 131 ayat (2) sub b dan Pasal 134 ayat (2) IS adalah:
1.      Pasal 131 ayat (2) sub b IS
 Menurut ketentuan Pasal 131 ayat (2) sub b IS ini disebutkan bahwa, bagi golongan hukum (recht groep) Indonesia asli dan golongan Timur Asing berlaku hukum adat mereka, tetapi bilamana kepentingan sosial mereka membutuhkannya, maka Pembuat Ordonansi (yaitu suatu peraturan hukum yang dibuat oleh Badan Legislatif Pusat/Gubernur Jenderal bersama-sama dengan Volksraad), dapat menentukan bagi mereka:
a.       Hukum Eropa
b.       Hukum Eropa yang telah diubah (gewijzigd Eropees Recht)
c.       Hukum bagi beberapa golongan bersama-sama (gemeenschappelijk recht). Apabila kepentingan umum memerlukannya dapat ditentukan bagi mereka:
d.      Hukum baru (nieuw recht) yaitu hukum yang merupakan syntese antara hukum adat dan hukum Eropa (oleh van Vollenhoven disebut “Fantasierecht”, dan menurut Idsinga disebut “Ambtenarenrecht”).

2.       Pasal 134 ayat (2) IS
Menurut ketentuan Pasal 134 ayat (2) IS disebutkan bahwa dalam hal timbul perkara hukum perdata antara orang-orang Muslim, dan hukum adat mereka meminta penyelesaiannya, maka penyelesaian perkara tersebut diselenggarakan oleh hakim agama, kecuali jika ordonansi telah menetapkan lain.
Bila dilihat ketentuan Pasal 131 ayat (2) sub b IS di atas, maka ada dua hal yang harus dipahami, yaitu:
1)      Ketentuan ini adalah suatu pasal kodifikasi (codificatie-artikel), yaitu ketentuan yang memuat suatu tugas kepada pembuat undang-undang (pembuat ordonansi) untuk mengadakan suatu kodifikasi hukum privat bagi golongan hukum Indonesia asli dan golongan hukum Timur Asing. Hukum yang hendak dikodifikasi itu adalah hukum adat mereka dengan diberi perubahan bila perlu.
2)       Selama redaksi Pasal 131 ayat (2) sub b IS ini berlaku (sejak 1 Januari 1920 sampai dengan 1 Januari 1926), kodifikasi yang diperintahkan kepada pembuat ordonansi itu belum dilaksanakan. Pasal 131 IS hanya memuat tugas pembuat undang-undang, tidak ditujukan kepada hakim. Pegangan bagi hakim yang bertugas menyelesaikan perkara privat antara orang-orang Indonesia asli terdapat dalam IS Pasal 131 ayat (6). Ketentuan peralihan yang meneruskan 163 keadaan yang ditimbulkan oleh suatu ketentuan yang lama, “in casu” (dalam hal ini) Pasal 75 ayat (3) redaksi lama RR 1854, selama ketentuan baru, “in casu” Pasal 75 redaksi baru RR 1854 belum menimbulkan suatu keadaan baru. Pasal 131 ayat (6) IS menerangkan bahwa selama hukum perdata dan hukum dagang yang sekarang (thans) berlau bagi golongan hukum Indonesia asli dan golongan hukum Timur Asing belum diganti dengan suatu kodifikasi, maka hukum tersebut tetap berlaku bagi kedua golongan hukum tadi. Jadi yang tetap berlaku ialah hukum adat mereka seperti yang sebelum tanggal 1 Januari 1920 telah ditentukan oleh Pasal 75 ayat (3) redaksi lama RR 1854. Inilah penafsiran kata “thans”, yaitu waktu mulai berlakunya perubahan redaksi lama Pasal 75 RR 1854 sehingga menjadi redaksi baru pasal tersebut (redaksi Pasal 131 IS). Perubahan itu terjadi pada tanggal 1 Januari 1920, jadi keadaan hukum adat pada waktu mulai berlakunya perubahan redaksi lama Pasal 75 RR 1854 (1 Januari 1920), dengan sekaligus dimasukkan ke dalam tata hukum baru, sebelum ada kodifikasi.

B.     Hukum Adat dalam Peraturan Perundangundangan Republik Indonesia
a)       Adat dalam Undang-Undang Dasar 1945
Dalam UUD 1945 tidak ada satu ketentuan pun yang secara tegas menyinggung persoalan hukum adat. Akan tetapi, dalam Penjelasan UUD 1945, sedikit ada petunjuk tentang hal itu. Dinyatakan di dalamnya bahwa undang-undang dasar suatu negara hanyalah sebagian dari hukumnya dasar negara itu. UUD hanyalah hukum dasar yang tidak tertulis, ialah aturan-aturan dasar yang tumbuh dan terpelihara dalam praktik penyelenggaraan negara meskipun tidak tertulis. Para ahli Hukum Tata Negara kebanyakan mengartikannya sebagai ‚konvensi‛ yang biasa dicontohkan dengan beberapa praktik ketatanegaraan yang tidak diatur dalam UUD 1945.
Jika mengikuti pendapat R. Soepomo yang menyatakan bahwa hukum adalah sinonim dari hukum yang tidak tertulis di dalam peraturan legislatif (unstatory law), hukum yang hidup sebagai konvensi di badan-badan hukum negara (parlemen, Dewan Propinsi dan sebagainya) dan seterusnya, maka konvensi tersebut adalah termasuk dalam golongan hukum adat.
Dapat disimpulkan bahwa walaupun UUD 1945 tidak menetapkan dengan tegas, ketentuan khusus bagi hukum adat di dalamnya, akan tetapi secara ‚tersirat‛ dinyatakan dalam Pembukaan dan Penjelasan UUD 1945. Karena hukum adat merupakan satu-satunya hukum yang berkembang di atas kerangka dasar pandangan hidup rakyat dan bangsa Indonesia, maka hukum adat selanjutnya akan merupakan sumber yang paling utama dalam pembinaan tata hukum nasional Negara Republik Indonesia.
b)       Hukum Adat dalam Konstitusi RIS
Dengan diundangkannya Konstitusi RIS pada tanggal 6 Februari 1950, dengan Keputusan Presiden RIS tanggal 31 Januari 1950 Nomor 48, Lembaran Negara tahun 1950 Nomor 3, maka kedudukan serta peranan hukum adat di dalam tata Perundang-undangan Nasional Negara Republik Indonesia Serikat tidak mengalami perubahan yang berarti. Dalam Konstitusi RIS tersebut terdapat Pasal 192 ayat (1) yang merupakan ketentuan peralihan serta menetapkan bahwa ‚semua peraturan perundang-undangan dan ketentuan-ketentuan tata usaha yang sudah ada pada saat Konstitusi ini mulai berlaku, tetap berlaku dengan tidak berubah sebagai peraturanperaturan dan ketentuan-ketentuan RIS sendiri selama dan sekedar perundang-undangan, dan ketentuan-ketentuan itu tidak dicabut, ditambah atau diubah oleh undangundang dan ketentuan tata usaha atas kuasa Konstitusi ini‛.
Dengan adanya Pasal 146 ayat (1) ini, maka jelaslah bahwa kompleks aturan-aturan hukum adat yang pada umumnya masih belum tertulis meskipun kemudian tetap hidup dan berkembang di dalam kehidupan masyarakat sehari-hari karena mencerminkan rasa keadilan rakyat, wajib pula dipahami serta diketahui oleh hakim.
c)      Hukum Adat dalam UUDS 1950
UUDS 1950, diundangkan pada tanggal 15 Agustus 1950, dengan UU Nomor 7 Tahun 1950 serta mulai berlaku pada tanggal 17 Agustus 1950 tidak membawa perubahan pada kedudukan serta peranan hukum adat dalam seluruh sistem perundang-undangan yang berlaku di Negara Indonesia yang berbentuk Republik Kesatuan kembali.
d)     Hukum Adat dalam Undang-Undang Nomor 1 Darurat Tahun 1951
Undang-Undang Nomor 1 Darurat Tahun 1951 (Lembaran Negara 1951 Nomor 9) yang diundangkan pada tanggal 14 Januari 1951 adalah undang-undang tentang Tindakan-tindakan untuk Menyelenggarakan Susunan, Kekuasaan dan Acara Pengadilan Sipil. Ada dua ketentuan dalam Undang-Undang ini yang menyangkut persoalan tentang hukum adat yaitu:
a.       Pasal 1 ayat (2) yang menyatakan antara lain: Pada saat berangsur-angsur akan ditentukan oleh Menteri Kehakiman, dihapuskan:
1)      Pengadilan Swapraja (Zelfbestuur-rechtspraak) dalam negeri Sumatera Timur dahulu, Karesidenan Kalimantan Barat dahulu dan Negara Indonesia Timur dahulu kecuali Pengadilan Agama jika pengadilan itu menurut hukum yang hidup merupakan suatu bagian dari Pengadilan Swapraja.
2)      Segala Pengadilan Adat (Inheemse-rechtspraak in rechtstreeks bestuurd gebied) kecuali Pengadilan Agama jika pengadilan itu menurut hukum yang hidup merupakan satu bagian tersendiri dari Peradilan Adat.
b.      Pasal 5 ayat (3) sub b, yang menyatakan: hukum materil sipil dan untuk sementara waktu pun hukum materil pidana sipil yang sampai kini berlaku untuk kawula-kawula dan orang-orang itu dengan pengertian:
1)      Bahwa suatu perbuatan yang menurut yang hidup harus dianggap perbuatan pidana, akan tetapi tiada bandingannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman yang tidak lebih dari tiga bulan penjara dan/ atau denda lima ratus rupiah, yaitu sebagai hukuman pengganti bilamana hukum adat yang dijatuhkan tidak diikuti pihak terhukum dan penggantian yang dimaksud dianggap sepadan oleh hakim dengan besar kesalahan terhukum dan;
2)      Bahwa bilamana hukum adat yang dijatuhkan itu menurut pikiran hakim melampaui padanya dengan hukuman kurungan atau denda yang dimaksud di atas, maka atas kesalahan terdakwa dapat dikenakan hukuman pengganti setinggi sepuluh tahun penjara dengan pengertian bahwa hukum adat yang menurut paham hakim tidak selaras lagi dengan jaman senantiasa mesti diganti seperti tersebut di atas.
3)       Bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum harus dianggap perbuatan pidana dan yang ada 174 bandingannya dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman yang sama dengan hukuman bandingannya yang paling mirip dengan perbuatan itu.

e)      Hukum Adat dalam Dekrit Presiden Tanggal 5 Juli 1959 dan Kembali Berlakunya UUD 1945 Pada tanggal 5 Juli 1959.
Pada tanggal 5 Juli 1959 melalui dekrit, Presiden membubarkan Konstituante, mengemukakan berlakunya konstitusi Proklamasi 1945.
Hukum Adat dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
Undang-Undang Nomr 5 Tahun 1960 (Lembaran Negara 1960 Nomor 108) yang mulai berlaku pada tanggal 24 September 1960 adalah tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Agraria atau lebih dikenal dengan singkatan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) adalah merupakan contoh sebuah undang-undang yang paling unik dalam menetapkan hubungan antara masalah pertanahan dengan hukum adat.
Hukum adat yang modern atau ‚disaneer‛ inilah kiranya yang dimaksud dengan kata-kata ‚yang tidak menghambat perkembangan masyarakat adil dan makmur‛ dalam TAP MPRS Nomor II/MPRS/1960 Lampiran A Paragraf 402. Dalam hal ini menurut R. Soerojo Wignjodipoero, disaneer atau modern dalam UUPA Nomor 5 tahun 1960 itu adalah tidak lain hukum adat asli atau murni yang dipermuda kembali bentukbentuk pernyataannya dengan menerima pengertianpengertian dan lembaga hukum Barat yang telah 179 disesuaikan dengan iklim dan kondisi serta perasaan hukum masyarakat dan bangsa Indonesia pada abad sekarang ini. Sebagai contoh dapat dilihat isi ketentuan Pasal 19 UUPA tentang ‚pendaftaran tanah‛ yang intinya adalah menuangkan dasar ‚itikad baik‛ (itikad baik intinya adalah merupakan salah satu pencerminan daripada asas komunal, asas gotong royong, ataupun asas kekeluargaan dalam hukum adat tradisional) dalam suatu bentuk pernyataan baru yang disesuaikan dengan kepentingan serta kebutuhan masyarakat Indonesia modern serta yang diterima dari lembaga hukum Barat.
Berikut ini dikemukakan beberapa pasal dalam UUPA yang apabila diperhatikan memberi beberapa penegasan yang berkenan dengan kedudukan hukum adat, yakni:
a)      Pasal 2 ayat (4)
Menegaskan bahwa hak menguasai dari Negara (atas bumi, air, ruang angkasa, termasuk kekayaan alam kekayaan yang terkandung didalamnya) pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swantara dan masyarakat-masyarakat hukum adat sekedar diperlukan dan tidak bertentengan dengan kepentingan nasional menurut ketentuan.
b)      Pasal 3
Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak serupa dari masyarakat-masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataan masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara yang 181 berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan UU dan Peraturan Pemerintah.
c)      Pasal 5
Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.
d)     Pasal 22 ayat (1)
Terjadinya hak milik menurut hukum adat dengan Peraturan Pemerintah.
e)      Pasal 56
Selama undang-undang mengenai hak milik sebagai tersebut dalam Pasal 50 ayat (1) belum terbentuk, maka yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan hukum adat setempat dan peraturan-peraturan lainnya mengenai hakhak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana atau mirip dengan yang dimaksud dalam pasal 20 sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuanketentuan undang-undang.
Sedangkan mengenai beberapa ketentuan yang ada didalam peraturan pelaksanaan UUPA, yang memberikan pengaturan tentang hukum adat antara lain dapat disebutkan yaitu:
1.       Undang-Undang Nomor 56 Prp. Tahun1960
2.      Peraturan Menteri Agraria Nomor 2 Tahun 1960
3.      Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961
4.      Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria Nomor 2 Tahun 1962
5.      Keputusan Presiden RI Nomor 54 Tahun 1980

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 (LN. 1960 Nomor 2) tentang perjanjian bagi hasil diundangkan pada tanggal 7 januari 1960. Yang diatur dalam undang-undang ini merupakan suatu materi hukum yang dikenal dalam hukum adat yang tercakup dalam kelompok apa yang dinamakan transaksi yang ada hubungan dengan tanah (Transactie waarbij de grand betroken is).
Dalam perjanjian bagi hasil yang hukumnya berlaku sebagai ketentuan hukum adat yang tidak tertulis, seseorang yang berhak atas sesuatu tanah, yang karena sesuatu sebab tidak dapat mengerjakannya sendiri tetapi ingin tetap mendapat hasilnya, memperkenankan orang lain untuk menyelenggarakan usaha pertanian atas tanah tersebut yang hasilnya dibagi antara mereka berdua menurut imbangan yang ditentukan sebelumnya.
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964 diundangkan pada tanggal 31 Oktober 1964, merupakan suatu undang-undang yang menetapkan ketentuan- 190 ketentuan pokok kekuasaan kehaiman serta bertujuan meletakkan dasar-dasar bagi penyelenggaraan peradilan. Hal ini ditetapkan dalam Pasal 3 yang secara singkat mengatakan bahwa pengadilan mengadili menurut hukum sebagai alat revolusi berdasarkan Pancasila menuju masyarakat sosialis Indonesia.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 (LN 1967 Nomor 8) tentang ketentuan pokok kehutanan adalah undang-undang yang mengatur secara lebih khusus salah satu dari bidang agraria, yaitu hutan. Beberapa pasal yang berkenaan dengan hukum adat dalam undang-undang
a.       Pasal 17
Pelaksanaan hak-hak masyarakat adat, hukum adat dan anggota-anggotanya serta hak-hak perseorangan untuk mendapatkan manfaat dari hutan, baik langsung maupun tidak langsung yang didasarkan atas sesuatu peraturan hukum, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, tidak boleh mengganggu tercapainya tujuantujuan yang dimaksud dalam undang-undang ini.
Di samping itu, dapat pula dicatat ada dua ketentuan yang merupakan pelaksanaan dari undang-undang ini yaitu:
1.      Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Pemungutan Hasil Hutan (HPHH).
2.      Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1976
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 yang mulai berlaku pada tanggal 17 Desember 1970, kecuali menggantikan Undang-Undang Nomor 19 tahun 1964 yang dinyatakan masih mengandung kelemahankelemahan yang mengandung prinsipil Karen tidak merupakan pelaksanaan murni dari Pasal 24 UUD 1945, 195 bahkan memuat ketentuan-ketentuan yang bertentangan dengan UUD 1945 (antara lain sebagai contoh Pasal 19), ada hakikatnya menegaskan lagi, bahkan lebih memperkokoh pentingnya peranan hukum adat dalam pembangunan dan pembinaan hukum nasional kita.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974 mulai berlaku secara efektif pada tanggal 1 Oktober 1975 adalah salah satu undang-undang nasional yang telah menciptakan pembaharuan hukum di bidang hukum perkawinan. Sebelum berlakunya undang-undang ini, maka bagi orang-orang Indonesia lainnya berlaku hukum adat, sedangkan bagi golongan penduduk lainnya berlaku berbagai peraturan perundangan yag beraneka ragam.
Memang demikianlah adanya bahwa kedudukan hukum adat dalam lapangan perkawinan kenyataannya tidak mendapat tempat yang layak dalam UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974. Akan tetapi dalam kehidupan bermasyarakat peranan hukum adat masih cukup dominan. Hal ini juga berkaitan dengan adanya beberapa kelemahan dari Undang-Undang Perkawinan itu sendiri yang secara faktual belum dapat diterapkan secara menyeluruh dalam masyarakat.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974
 Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 (LN 1974 Nomor 63) tentang pengairan hanya ada satu pasal saja yang berkenaan dengan hukum adat, yaitu Pasal 3 ayat (3) yang menyatakan bahwa pelaksanaan atas ketentuan ayat (2). Pasal ini tentang hak menguasai Negara terhadap air, tetap menghormati hak yang dimiliki oleh masyarakat adat setempat sepanjang yang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Dalam penjelasan pasal tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan masyarakat adat setempat adalah masyarakat yang tata kehidupannya berdasarkan atas kebiasaan dan keagamaan termasuk juga lembagalembaga masyarakat yang bersifat religius.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 adalah Undang-Undang tentang Pemerintahan Desa, seharusnya undang-undang ini memiliki hubungan yang erat dengan hukum adat, oleh karena kebanyakan deda di Indonesia adalah merupakan persekutuan adat atau sebagai aparat yang menjadi pelaksana hukum adat. Karena itu sebenarnya antara desa dengan hukum adat tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Namun jika kita membaca undang-undang ini, ternyata hal yang menyangkut hukum adat hampir tidak mendapat perhatian sama sekali.

MAKALAH RIBA

  1.       Pengertian Riba Riba berasal dari bahasa arab yang artinya tambahan (زيادة ,(yang berarti tambahan pembayaran atas uang pokok ...