A.
Hukum
Adat dalam Peraturan Perundangundangan Hindia-Belanda
Dasar perundang-undangan berlakunya hukum adat pada
masa pemerintahan kolonial Hindia-Belanda adalah:
1. Pasal
131 ayat (2) sub b IS (Indische Staatsregeling) dan;
2. Pasal 13 ayat (2) IS.
Ketentuan pasal ini tercantum dalam Bab VII IS; IS
(Indische Staatsregeling) adalah singkatan dari undangundang yang selengkapnya
disebut Wet op de Staatsinrichting van Nederlands-Indie yang berlaku sejak
tanggal 1 Januari 1920 dan dicantumkan dalam Stb. 1925 Nomor 415 jo Nomor 577
berlaku mulai tanggal 1 Januari 1926.
Bab VII IS yang memuat Pasal 131 dan 134 di atas
hanya berlaku bagi hakim yang dahulu disebut “Gouverments-Rechter” (dalam hal
ini Landraad adalah pengadilan yang diadakan oleh pemerintah Hindia-Belanda)
yang sekarang bertindak sebagai Pengadilan Negeri
Sedangkan dasar perundang-undangan berlakunya hukum
adat bagi peradilan adat, hukum adat untuk daerah swapraja dan untuk hakim adat
di Jawa dan Madura diatur tersendiri dalam pasal-pasal berikut:
1. Pasal 3 S. 1932 Nomor 80 Pasal ini merupakan
pasal dasar perundangundangan berlakunya hukum adat bagi peradilan adat
(inheemse Recht-Spraak, yaitu peradilan yang berlaku bagi Bumi Putera
2. Pasal 13 ayat (3) Zelfbestuurs-Regelen 1938, S.
1938, S. 1938 Nomor 529 dan di dalam “Lange Contracten” Pasal ini merupakan
pasal dasar perundangundangan berlakunya hukum adat di Daerah Swapraja, yaitu
Yogyakarta dan Surakarta.
3. Pasal 3a ROS. 1847 Nomor 23 jo 1848 Nomor 47
Pasal ini merupakan pasal dasar perundangundangan berlakunya untuk Hakim Adat
di Jawa dan Madura yang diberi nama“Dorpsrechter” (hakim desa, peradilan desa).
Isi ketentuan Pasal 131 ayat (2) sub b dan Pasal 134
ayat (2) IS adalah:
1. Pasal
131 ayat (2) sub b IS
Menurut
ketentuan Pasal 131 ayat (2) sub b IS ini disebutkan bahwa, bagi golongan hukum
(recht groep) Indonesia asli dan golongan Timur Asing berlaku hukum adat
mereka, tetapi bilamana kepentingan sosial mereka membutuhkannya, maka Pembuat
Ordonansi (yaitu suatu peraturan hukum yang dibuat oleh Badan Legislatif
Pusat/Gubernur Jenderal bersama-sama dengan Volksraad), dapat menentukan bagi
mereka:
a. Hukum
Eropa
b. Hukum Eropa yang telah diubah (gewijzigd Eropees
Recht)
c. Hukum
bagi beberapa golongan bersama-sama (gemeenschappelijk recht). Apabila
kepentingan umum memerlukannya dapat ditentukan bagi mereka:
d. Hukum
baru (nieuw recht) yaitu hukum yang merupakan syntese antara hukum adat dan
hukum Eropa (oleh van Vollenhoven disebut “Fantasierecht”, dan menurut Idsinga disebut
“Ambtenarenrecht”).
2. Pasal 134 ayat (2) IS
Menurut ketentuan Pasal 134 ayat (2) IS disebutkan
bahwa dalam hal timbul perkara hukum perdata antara orang-orang Muslim, dan
hukum adat mereka meminta penyelesaiannya, maka penyelesaian perkara tersebut
diselenggarakan oleh hakim agama, kecuali jika ordonansi telah menetapkan lain.
Bila dilihat ketentuan Pasal 131 ayat (2) sub b IS
di atas, maka ada dua hal yang harus dipahami, yaitu:
1) Ketentuan
ini adalah suatu pasal kodifikasi (codificatie-artikel), yaitu ketentuan yang
memuat suatu tugas kepada pembuat undang-undang (pembuat ordonansi) untuk
mengadakan suatu kodifikasi hukum privat bagi golongan hukum Indonesia asli dan
golongan hukum Timur Asing. Hukum yang hendak dikodifikasi itu adalah hukum
adat mereka dengan diberi perubahan bila perlu.
2) Selama redaksi Pasal 131 ayat (2) sub b IS ini
berlaku (sejak 1 Januari 1920 sampai dengan 1 Januari 1926), kodifikasi yang
diperintahkan kepada pembuat ordonansi itu belum dilaksanakan. Pasal 131 IS
hanya memuat tugas pembuat undang-undang, tidak ditujukan kepada hakim.
Pegangan bagi hakim yang bertugas menyelesaikan perkara privat antara
orang-orang Indonesia asli terdapat dalam IS Pasal 131 ayat (6). Ketentuan
peralihan yang meneruskan 163 keadaan yang ditimbulkan oleh suatu ketentuan
yang lama, “in casu” (dalam hal ini) Pasal 75 ayat (3) redaksi lama RR 1854,
selama ketentuan baru, “in casu” Pasal 75 redaksi baru RR 1854 belum
menimbulkan suatu keadaan baru. Pasal 131 ayat (6) IS menerangkan bahwa selama
hukum perdata dan hukum dagang yang sekarang (thans) berlau bagi golongan hukum
Indonesia asli dan golongan hukum Timur Asing belum diganti dengan suatu
kodifikasi, maka hukum tersebut tetap berlaku bagi kedua golongan hukum tadi.
Jadi yang tetap berlaku ialah hukum adat mereka seperti yang sebelum tanggal 1
Januari 1920 telah ditentukan oleh Pasal 75 ayat (3) redaksi lama RR 1854.
Inilah penafsiran kata “thans”, yaitu waktu mulai berlakunya perubahan redaksi
lama Pasal 75 RR 1854 sehingga menjadi redaksi baru pasal tersebut (redaksi
Pasal 131 IS). Perubahan itu terjadi pada tanggal 1 Januari 1920, jadi keadaan
hukum adat pada waktu mulai berlakunya perubahan redaksi lama Pasal 75 RR 1854
(1 Januari 1920), dengan sekaligus dimasukkan ke dalam tata hukum baru, sebelum
ada kodifikasi.
B.
Hukum
Adat dalam Peraturan Perundangundangan Republik Indonesia
a) Adat dalam Undang-Undang Dasar 1945
Dalam UUD 1945 tidak ada satu ketentuan pun yang
secara tegas menyinggung persoalan hukum adat. Akan tetapi, dalam Penjelasan
UUD 1945, sedikit ada petunjuk tentang hal itu. Dinyatakan di dalamnya bahwa
undang-undang dasar suatu negara hanyalah sebagian dari hukumnya dasar negara
itu. UUD hanyalah hukum dasar yang tidak tertulis, ialah aturan-aturan dasar
yang tumbuh dan terpelihara dalam praktik penyelenggaraan negara meskipun tidak
tertulis. Para ahli Hukum Tata Negara kebanyakan mengartikannya sebagai
‚konvensi‛ yang biasa dicontohkan dengan beberapa praktik ketatanegaraan yang
tidak diatur dalam UUD 1945.
Jika mengikuti pendapat R. Soepomo yang menyatakan
bahwa hukum adalah sinonim dari hukum yang tidak tertulis di dalam peraturan
legislatif (unstatory law), hukum yang hidup sebagai konvensi di badan-badan
hukum negara (parlemen, Dewan Propinsi dan sebagainya) dan seterusnya, maka
konvensi tersebut adalah termasuk dalam golongan hukum adat.
Dapat disimpulkan bahwa walaupun UUD 1945 tidak
menetapkan dengan tegas, ketentuan khusus bagi hukum adat di dalamnya, akan
tetapi secara ‚tersirat‛ dinyatakan dalam Pembukaan dan Penjelasan UUD 1945.
Karena hukum adat merupakan satu-satunya hukum yang berkembang di atas kerangka
dasar pandangan hidup rakyat dan bangsa Indonesia, maka hukum adat selanjutnya
akan merupakan sumber yang paling utama dalam pembinaan tata hukum nasional
Negara Republik Indonesia.
b) Hukum Adat dalam Konstitusi RIS
Dengan diundangkannya Konstitusi RIS pada tanggal 6
Februari 1950, dengan Keputusan Presiden RIS tanggal 31 Januari 1950 Nomor 48,
Lembaran Negara tahun 1950 Nomor 3, maka kedudukan serta peranan hukum adat di
dalam tata Perundang-undangan Nasional Negara Republik Indonesia Serikat tidak
mengalami perubahan yang berarti. Dalam Konstitusi RIS tersebut terdapat Pasal
192 ayat (1) yang merupakan ketentuan peralihan serta menetapkan bahwa ‚semua
peraturan perundang-undangan dan ketentuan-ketentuan tata usaha yang sudah ada
pada saat Konstitusi ini mulai berlaku, tetap berlaku dengan tidak berubah
sebagai peraturanperaturan dan ketentuan-ketentuan RIS sendiri selama dan
sekedar perundang-undangan, dan ketentuan-ketentuan itu tidak dicabut, ditambah
atau diubah oleh undangundang dan ketentuan tata usaha atas kuasa Konstitusi
ini‛.
Dengan adanya Pasal 146 ayat (1) ini, maka jelaslah
bahwa kompleks aturan-aturan hukum adat yang pada umumnya masih belum tertulis
meskipun kemudian tetap hidup dan berkembang di dalam kehidupan masyarakat
sehari-hari karena mencerminkan rasa keadilan rakyat, wajib pula dipahami serta
diketahui oleh hakim.
c) Hukum
Adat dalam UUDS 1950
UUDS 1950, diundangkan pada tanggal 15 Agustus 1950,
dengan UU Nomor 7 Tahun 1950 serta mulai berlaku pada tanggal 17 Agustus 1950
tidak membawa perubahan pada kedudukan serta peranan hukum adat dalam seluruh
sistem perundang-undangan yang berlaku di Negara Indonesia yang berbentuk
Republik Kesatuan kembali.
d) Hukum
Adat dalam Undang-Undang Nomor 1 Darurat Tahun 1951
Undang-Undang Nomor 1 Darurat Tahun 1951 (Lembaran
Negara 1951 Nomor 9) yang diundangkan pada tanggal 14 Januari 1951 adalah
undang-undang tentang Tindakan-tindakan untuk Menyelenggarakan Susunan,
Kekuasaan dan Acara Pengadilan Sipil. Ada dua ketentuan dalam Undang-Undang ini
yang menyangkut persoalan tentang hukum adat yaitu:
a. Pasal
1 ayat (2) yang menyatakan antara lain: Pada saat berangsur-angsur akan
ditentukan oleh Menteri Kehakiman, dihapuskan:
1) Pengadilan
Swapraja (Zelfbestuur-rechtspraak) dalam negeri Sumatera Timur dahulu,
Karesidenan Kalimantan Barat dahulu dan Negara Indonesia Timur dahulu kecuali
Pengadilan Agama jika pengadilan itu menurut hukum yang hidup merupakan suatu
bagian dari Pengadilan Swapraja.
2) Segala
Pengadilan Adat (Inheemse-rechtspraak in rechtstreeks bestuurd gebied) kecuali
Pengadilan Agama jika pengadilan itu menurut hukum yang hidup merupakan satu
bagian tersendiri dari Peradilan Adat.
b. Pasal
5 ayat (3) sub b, yang menyatakan: hukum materil sipil dan untuk sementara
waktu pun hukum materil pidana sipil yang sampai kini berlaku untuk
kawula-kawula dan orang-orang itu dengan pengertian:
1) Bahwa
suatu perbuatan yang menurut yang hidup harus dianggap perbuatan pidana, akan
tetapi tiada bandingannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Sipil, maka
dianggap diancam dengan hukuman yang tidak lebih dari tiga bulan penjara dan/
atau denda lima ratus rupiah, yaitu sebagai hukuman pengganti bilamana hukum
adat yang dijatuhkan tidak diikuti pihak terhukum dan penggantian yang dimaksud
dianggap sepadan oleh hakim dengan besar kesalahan terhukum dan;
2) Bahwa
bilamana hukum adat yang dijatuhkan itu menurut pikiran hakim melampaui padanya
dengan hukuman kurungan atau denda yang dimaksud di atas, maka atas kesalahan
terdakwa dapat dikenakan hukuman pengganti setinggi sepuluh tahun penjara
dengan pengertian bahwa hukum adat yang menurut paham hakim tidak selaras lagi
dengan jaman senantiasa mesti diganti seperti tersebut di atas.
3) Bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum harus
dianggap perbuatan pidana dan yang ada 174 bandingannya dalam Kitab
Undang-undang Hukum Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman yang
sama dengan hukuman bandingannya yang paling mirip dengan perbuatan itu.
e) Hukum
Adat dalam Dekrit Presiden Tanggal 5 Juli 1959 dan Kembali Berlakunya UUD 1945
Pada tanggal 5 Juli 1959.
Pada tanggal 5 Juli 1959 melalui dekrit, Presiden
membubarkan Konstituante, mengemukakan berlakunya konstitusi Proklamasi 1945.
Hukum Adat dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
Undang-Undang Nomr 5 Tahun 1960 (Lembaran Negara
1960 Nomor 108) yang mulai berlaku pada tanggal 24 September 1960 adalah
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Agraria atau lebih dikenal dengan singkatan
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) adalah merupakan contoh sebuah undang-undang
yang paling unik dalam menetapkan hubungan antara masalah pertanahan dengan
hukum adat.
Hukum adat yang modern atau ‚disaneer‛ inilah
kiranya yang dimaksud dengan kata-kata ‚yang tidak menghambat perkembangan
masyarakat adil dan makmur‛ dalam TAP MPRS Nomor II/MPRS/1960 Lampiran A
Paragraf 402. Dalam hal ini menurut R. Soerojo Wignjodipoero, disaneer atau
modern dalam UUPA Nomor 5 tahun 1960 itu adalah tidak lain hukum adat asli atau
murni yang dipermuda kembali bentukbentuk pernyataannya dengan menerima pengertianpengertian
dan lembaga hukum Barat yang telah 179 disesuaikan dengan iklim dan kondisi
serta perasaan hukum masyarakat dan bangsa Indonesia pada abad sekarang ini.
Sebagai contoh dapat dilihat isi ketentuan Pasal 19 UUPA tentang ‚pendaftaran
tanah‛ yang intinya adalah menuangkan dasar ‚itikad baik‛ (itikad baik intinya
adalah merupakan salah satu pencerminan daripada asas komunal, asas gotong
royong, ataupun asas kekeluargaan dalam hukum adat tradisional) dalam suatu
bentuk pernyataan baru yang disesuaikan dengan kepentingan serta kebutuhan
masyarakat Indonesia modern serta yang diterima dari lembaga hukum Barat.
Berikut ini dikemukakan beberapa pasal dalam UUPA
yang apabila diperhatikan memberi beberapa penegasan yang berkenan dengan
kedudukan hukum adat, yakni:
a) Pasal
2 ayat (4)
Menegaskan
bahwa hak menguasai dari Negara (atas bumi, air, ruang angkasa, termasuk
kekayaan alam kekayaan yang terkandung didalamnya) pelaksanaannya dapat
dikuasakan kepada daerah-daerah swantara dan masyarakat-masyarakat hukum adat
sekedar diperlukan dan tidak bertentengan dengan kepentingan nasional menurut
ketentuan.
b) Pasal
3
Dengan
mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan
hak-hak serupa dari masyarakat-masyarakat hukum adat sepanjang menurut
kenyataan masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan
nasional dan Negara yang 181 berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak
boleh bertentangan dengan UU dan Peraturan Pemerintah.
c) Pasal
5
Hukum
agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat
sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara yang
berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan
peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini dan dengan peraturan
perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang
bersandar pada hukum agama.
d) Pasal
22 ayat (1)
Terjadinya
hak milik menurut hukum adat dengan Peraturan Pemerintah.
e) Pasal
56
Selama
undang-undang mengenai hak milik sebagai tersebut dalam Pasal 50 ayat (1) belum
terbentuk, maka yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan hukum adat setempat dan
peraturan-peraturan lainnya mengenai hakhak atas tanah yang memberi wewenang
sebagaimana atau mirip dengan yang dimaksud dalam pasal 20 sepanjang tidak
bertentangan dengan jiwa dan ketentuanketentuan undang-undang.
Sedangkan mengenai beberapa ketentuan yang ada
didalam peraturan pelaksanaan UUPA, yang memberikan pengaturan tentang hukum
adat antara lain dapat disebutkan yaitu:
1. Undang-Undang Nomor 56 Prp. Tahun1960
2. Peraturan
Menteri Agraria Nomor 2 Tahun 1960
3. Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961
4. Peraturan
Menteri Pertanian dan Agraria Nomor 2 Tahun 1962
5. Keputusan
Presiden RI Nomor 54 Tahun 1980
Undang-Undang Nomor 2
Tahun 1960
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 (LN. 1960 Nomor 2)
tentang perjanjian bagi hasil diundangkan pada tanggal 7 januari 1960. Yang
diatur dalam undang-undang ini merupakan suatu materi hukum yang dikenal dalam
hukum adat yang tercakup dalam kelompok apa yang dinamakan transaksi yang ada
hubungan dengan tanah (Transactie waarbij de grand betroken is).
Dalam perjanjian bagi hasil yang hukumnya berlaku
sebagai ketentuan hukum adat yang tidak tertulis, seseorang yang berhak atas
sesuatu tanah, yang karena sesuatu sebab tidak dapat mengerjakannya sendiri
tetapi ingin tetap mendapat hasilnya, memperkenankan orang lain untuk
menyelenggarakan usaha pertanian atas tanah tersebut yang hasilnya dibagi
antara mereka berdua menurut imbangan yang ditentukan sebelumnya.
Undang-Undang Nomor 19
Tahun 1964
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964 diundangkan pada
tanggal 31 Oktober 1964, merupakan suatu undang-undang yang menetapkan
ketentuan- 190 ketentuan pokok kekuasaan kehaiman serta bertujuan meletakkan
dasar-dasar bagi penyelenggaraan peradilan. Hal ini ditetapkan dalam Pasal 3
yang secara singkat mengatakan bahwa pengadilan mengadili menurut hukum sebagai
alat revolusi berdasarkan Pancasila menuju masyarakat sosialis Indonesia.
Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1967
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 (LN 1967 Nomor 8)
tentang ketentuan pokok kehutanan adalah undang-undang yang mengatur secara
lebih khusus salah satu dari bidang agraria, yaitu hutan. Beberapa pasal yang
berkenaan dengan hukum adat dalam undang-undang
a. Pasal
17
Pelaksanaan
hak-hak masyarakat adat, hukum adat dan anggota-anggotanya serta hak-hak
perseorangan untuk mendapatkan manfaat dari hutan, baik langsung maupun tidak
langsung yang didasarkan atas sesuatu peraturan hukum, sepanjang menurut
kenyataannya masih ada, tidak boleh mengganggu tercapainya tujuantujuan yang
dimaksud dalam undang-undang ini.
Di samping itu, dapat pula dicatat ada dua ketentuan
yang merupakan pelaksanaan dari undang-undang ini yaitu:
1. Peraturan
Pemerintah Nomor 21 Tahun 1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan
Pemungutan Hasil Hutan (HPHH).
2. Instruksi
Presiden Nomor 1 Tahun 1976
Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1970
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 yang mulai berlaku
pada tanggal 17 Desember 1970, kecuali menggantikan Undang-Undang Nomor 19
tahun 1964 yang dinyatakan masih mengandung kelemahankelemahan yang mengandung
prinsipil Karen tidak merupakan pelaksanaan murni dari Pasal 24 UUD 1945, 195
bahkan memuat ketentuan-ketentuan yang bertentangan dengan UUD 1945 (antara
lain sebagai contoh Pasal 19), ada hakikatnya menegaskan lagi, bahkan lebih
memperkokoh pentingnya peranan hukum adat dalam pembangunan dan pembinaan hukum
nasional kita.
Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974 mulai berlaku secara efektif pada
tanggal 1 Oktober 1975 adalah salah satu undang-undang nasional yang telah
menciptakan pembaharuan hukum di bidang hukum perkawinan. Sebelum berlakunya
undang-undang ini, maka bagi orang-orang Indonesia lainnya berlaku hukum adat,
sedangkan bagi golongan penduduk lainnya berlaku berbagai peraturan perundangan
yag beraneka ragam.
Memang demikianlah adanya bahwa kedudukan hukum adat
dalam lapangan perkawinan kenyataannya tidak mendapat tempat yang layak dalam
UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974. Akan tetapi dalam kehidupan bermasyarakat
peranan hukum adat masih cukup dominan. Hal ini juga berkaitan dengan adanya
beberapa kelemahan dari Undang-Undang Perkawinan itu sendiri yang secara
faktual belum dapat diterapkan secara menyeluruh dalam masyarakat.
Undang-Undang Nomor 11
Tahun 1974
Dalam
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 (LN 1974 Nomor 63) tentang pengairan hanya
ada satu pasal saja yang berkenaan dengan hukum adat, yaitu Pasal 3 ayat (3)
yang menyatakan bahwa pelaksanaan atas ketentuan ayat (2). Pasal ini tentang
hak menguasai Negara terhadap air, tetap menghormati hak yang dimiliki oleh
masyarakat adat setempat sepanjang yang tidak bertentangan dengan kepentingan
nasional. Dalam penjelasan pasal tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan
masyarakat adat setempat adalah masyarakat yang tata kehidupannya berdasarkan
atas kebiasaan dan keagamaan termasuk juga lembagalembaga masyarakat yang
bersifat religius.
Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1979
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 adalah
Undang-Undang tentang Pemerintahan Desa, seharusnya undang-undang ini memiliki
hubungan yang erat dengan hukum adat, oleh karena kebanyakan deda di Indonesia
adalah merupakan persekutuan adat atau sebagai aparat yang menjadi pelaksana
hukum adat. Karena itu sebenarnya antara desa dengan hukum adat tidak dapat
dipisahkan satu sama lain. Namun jika kita membaca undang-undang ini, ternyata
hal yang menyangkut hukum adat hampir tidak mendapat perhatian sama sekali.