Followers

Monday, July 11, 2022

MAKALAH RIBA

 

1.      Pengertian Riba

Riba berasal dari bahasa arab yang artinya tambahan (زيادة ,(yang berarti tambahan pembayaran atas uang pokok pinjaman. Sedangkan riba menurut istilah adalah mengambil tambahan dari harga pokok atau modal dengan cara yang bathil. Ada banyak pendapat dalam menjelaskan riba, akan tetapi secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik itu dalam transaksi jual beli maupun pinjam meminjam dengan cara yang bathil, atau bertentangan dengan prinsip muamalah dalam Islam.[1]

Riba juga sering diterjemahkan kedalam bahasa Inggris sebagai usury yang artinya tambahan/lebihan uang atas modal yang diperoleh dengan cara yang dilarang oleh syara’, baik jumlah tambahan itu sedikit maupun banyak.[2]

Adapun menurut ulama mazhab Hanafi riba ialah tambahan yang menjadi syarat dalam transaksi bisnis tanpa adanya kesetaraan yang dibenarkan oleh syari’ah atas penambahan tersebut. Kemudian menurut Imam Ahmad bin Hambal riba itu adalah ketika seseorang yang memiliki hutang maka yang memimjamkan mengakatakan kepada sipeminjam apakah akan melunasi atau membayarnya lebih, apabila tidak bisa melunasi ia harus menambahkan dana dalam bentuk bunga pinjaman atas penambahan waktu yang telah di berikan.

Adapun menurut pandangan ulama mazhab Syafi’i riba dapat diartikan sebagai: “Akad atas penggantian dikhususkan yang tidak diketahui kesetaraan dalam pandangan syari’ah pada saat akad atau dengan penundaan dari salah satu atau kedua harta yang dipertukarkan”.[3]

Maksudnya adalah transaksi pertukaran suatu barang tertentu yang kemudian diukur dengan menggunakan takaran syara’ dengan barang lain yang belum ada ketika terjadi akad. Dalam artian lain pertukaran suatu barang yang penyerahannya ditangguhkan baik oleh kedua belah pihak atau salah satu darinya. Yang dimaksud dengan menggunakan takaran syara’ disin adalah dengan menggunakan alat takar.

Adapun menurut Al-Mali riba ialah akad yang terjadi dalam penukaran barang tertentu yang tidak diketahui timbangannya menurut ukuran syara’, baik itu ketika akan melakukan akad atau akan mengakhiri akad pertukaran kedua belah pihak ataupun salah satu dari keduanya.[4]

Adapun menurut Sayyid Sabiq riba adalah tambahan atas modal baik penambahan tersebut sedikit maupun banyak. Begitu juga menurut Ibnu Hajar riba adalah kelebihan, baik itu dalam bentuk uang maupun barang.[5] Selanjutnya menurut M. Umer Captra riba secara harfiah berarti adanya peningkatan, penambahan, perluasan atau pertumbuhan. Menurut beliau gak semua penambahan terlarang didalam Islam, namun keuntungan/laba juga merupakan peningkatan atas jumlah harga pokok akan tetapi tidak di larang dalam Islam.[6]

Dari beberapa definisi tentang riba diatas meskipun terdapat beberapa perbedaan definisinya masing-masing akan tetapi subtansinya tetap sama, maka dari itu dapat disimpulkan bahwa riba adalah pengambilan tambahan yang harus dibayar dalam transaksi pinjam meminjam ataupun jual beli yang bertentangan dengan prinsip syariah.

2.      Dasar Hukum Riba

Ada beberapa ayat Al-Qur’an dan Hadist Nabi Muhammad SAW yang membicarakan tentang riba, adapun dasar-dasarnya:

وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ رِبًا لِيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُو عِنْدَ اللَّهِ ۖ وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُضْعِفُونَ

“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya)”. (Q.S Ar-Rum ; 39).[7]

 

Menurut Sayyid Quthb penjelasan ayat ini adalah walaupun teks tersebut mencakup semua cara riba tanpa terkecuali, bagi para pemilik harta.

Allah SWT juga menjelaskan bagaimana cara mengembangkan harta yang baik dan benar. Dengan berzakat inilah cara untuk melipatgandakan harta, memberikan harta tanpa mengharapkan ganti, juga tanpa menunggu pengembalian dan balasan dari manusia. Karena Allah akan melipatgandakan rezeki bagi orang-orang yang menginfakan hartanya semata-mata hanya karena Allah SWT. Allah yang mengurangi harta orangorang yang melakukan praktik riba yang tujuannya mencari muka dihadapan manusia. Itu hanyalah perhitungan di dunia. Padahal di sana terdapat perhitungan akhirat, yang didalamnya ada balasan berlipat ganda. Perhitungan akhirat adalah perdagangan yang menguntungkan.[8]

Firman Allah dalam surat An-Nisa: 161 :

وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ ۚ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا

“Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih”. (Q.S An-Nisa ; 161).[9]

 

Menurut Ibnu Katsir bhwa pelaku riba tidak puas dengan apa yang sudah menjadi pembagian Allah dari perkara yang halal, dan tidak pernah merasa cukup dengan apa yang telah di syariatkan berupa suatu penghasilan yang diperbolehkan. Dengan begitu mereka menempuh cara bathil dengan memakan harta orang lain dengan cara yang buruk. Artinya mereka mengingkari dengan apa yang Allah berikan kepadana berupa kenikmatan.

Mereka melakukan dzalim juga berdosa dikarenakan memakan harta orang lain dengan cara yang bathil. Segala sesuatu yang terkait dengan pertumbuhan dan perkembangan riba tersebut, termasuk orang yang menanamkan modal kedalamnya, kemudian menghasilkan keuntungan, termasuk orang yang memakan harta dengan cara yang bathil.[10]

Firman Allah dalam Qur’an Surat Al-Imran:130-131 ;

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

وَاتَّقُوا النَّارَ الَّتِي أُعِدَّتْ لِلْكَافِرِينَ

“Wahai orang-orang yang beriman Janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung (130) Peliharalah dirimu dari api neraka yang disediakan untuk orang-orang kafir (131)”. (Q.S Al-Imran ; 130-131).[11]

 

Menurut M. Quraish Shihab penjelasan tentang ayat ini adalah bahwa riba tidaklah sejalan dengan iman, dan Allah melarang orang-orang untuk memakan riba, dan didalamnya pun menjelaskan agar menjauhi riba supaya kalian selamat dan mendapatkan keuntungan, artinya keselamatan dunia dan akhirat adalah menjauhi riba.[12]

Firman Allah dalam Surat Al-Baqarah:275 ;

الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا ۗ وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا ۚ فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَىٰ فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ ۖ وَمَنْ عَادَ فَأُولَٰئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ ۖ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ

“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan) dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghunipenghuni neraka mereka kekal didalamnya. (Q.S Al-Baqarah ; 275).[13]

 

Dalam tafsir Ibnu Katsir penjelasan tentang ayat 275 adalah bahwa dimana Allah mengatakan seorang pemakan riba akan dibangkitkan dari hari kiamat seperti orang gila yang mengamuk. Allah menegaskan bahwa menghalal jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang menghalalkan riba dapat diartikan pembantahan atas hukum yang sudah ditetapkan Allah. Riba yang dulu sudah dimakan sebelum turunnya ayat ini, jika pelakunya mau bertaubat, tidak ada kewajiban untuk mengembalikan dan dimaafkan oleh Allah, sedangkan bagi siapa saja yang kembali lagi kepada riba setelah menerima larangan dari Allah, maka mereka adalah penghuni neraka dan mereka kekal didalamnya.

3.      Macam-Macam Riba

Menurut ulama fiqih riba terbagi 2 macam yaitu riba fadl dan riba nasi’ah.

a)      Riba Fadl

Riba fadl adalah riba yang terjadi pada jual beli dengan barang yang sejenis, artinya seseorang yang membeli sesuatu dengan sesuatu yang sejenis, dengan meminta tambahan. Dan kelebihan pada salah satu jenis harta yang diperjualbelikan sesuai dengan ukuran syara’.

Nasrun Haroen mengutip pendapat Imam Alkasani dalam buku “Albadiush Shona’i” ukuran syara’ yang dimaksud adalah timbangan atau takaran tertentu. Misalnya satu kilo gram beras dijual dengan satu setengah kilo gram beras yang sama, kelebihan setengan kilo gram dalam jual beli ini disebut dengan riba fadl. Apabila jenis barang yang dijual belikan berbeda, maka kelebihannya tidak dipandang riba asalkan dengan cara tunai.[14]

Misalnya satu kilo gram beras ditukar dengan dua kilo gram jagung, maka satu kilo gram jangung tidak dipandang sebagai riba fadl. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadist “Memperjualbelikan emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, anggur dengan anggur, kurma dengan kurma, garam dengan garam, (haruslah) sama, seimbang dan tunai. Apabila jenis yang diperjualbelikan berbeda, maka jualah sesuai dengan kehendakmu, boleh berlebih asal dengan tunai”. Menurut ulama Hanafiah dan Hanabilah dalam jual beli harus memiliki prinsip keadilan dan keseimbangan. Jika tidak ada adil dan seimbang maka akan timbul kedzaliman. Oleh sebab itu kelebihan salah satu barang dalam jual beli barang sejenis merupakan kelebihan tanpa imbalan yang sangat merugikan pihak lain. Praktik seperti ini menjurus kepada kedzaliman.

Berdasarkan hadist dari Ubadah Bin Shomid diatas adalah menurut Ulama Hanafiah dan Hanabilah menetapkan bahwa illat hukum larangan riba fadl itu adalah kelebihan barang atau benda dari parang sejenis yang diperjualbelikan melalui alat ukur timbangan (al-wazl) dan takaran (al-kail). Oleh sebab itu berdasarkan illat ini, mereka tidak mengharamkan pada kelebihan jual beli rumah, tanah, hewan, dan benda lainnya yang dijual dengan satuan sekalipun sejenis, karena benda-benda ini di jual sesuai dengan nilainya bukan berdasarkan al-wazl atau al-kail.[15]

Sedangkan ulama Malikiyah dan Syafi’iyah memandang illat keharaman riba fadl pada emas dan perak terletak pada kedua barang itu merupakan harga dari sesuatu, baik emas dan perak itu telah dibentuk seperti cincin, kalung, maupun yang belum dipentuk seperti emas batangan. Oleh sebab itu emas dan perak, apabila sejenis tidak boleh diperjualbelikan dengan cara melebihkan harga salah satu dari yang lain.

Misalnya, dua gram cincin emas dijual dengan satu gram emas batangan, maka kelebihan dari cincin satu gram itu termasuk riba fadl. Sementara illat keharaman riba fadl pada empat jenis makanan sebagaimana telah disebutkan dalam hadist diatas mwnurut ulama Malikiyah adalah makanan pokok dan tahan lama sekalipun ulama Malikiyah tidak membatasi berapa tahan lama yang dimaksud. As-Syarbaini dalam bukunya “Al-Mughni Al-Mukhtar” yang dikutip oleh Nasrun Haroen ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa illat keharaman riba pada jenis makanan adalah semata-mata karena benda itu bersifat makanan, baik makanan pokok makanan ringan (buah-buahan dan lain sebagainya) yang semuanya bertujuan untuk menjaga kesehatan tubuh.

Oleh sebab itu apa bila kelebihan pembayaran pada makanan jenis ini maka termasuk riba fadl. Kalau jenisnya berbeda maka boleh diperjualbelikan, boleh melebihi harga dari jenis lain asalkan dengan cara tunai.

b)      Riba Nasi’ah

Riba nasi’ah adalah kelebihan atas piutang yang diberikan orang yang berutang kepada pemberi utang (pemilik modal) ketika waktu yang disepakati telah jatuh tempo.[16] Tambahan bunga itu sebagai imbalan tenggang waktu jatuh tempo ini yang dinamakan riba nasi’ah. Apabila waktu sudah jatuh tempo ternyata yang berutang tidak sanggup membayar utang dan kelebihannya, maka waktunya dapat diperpanjang dan jumlah utang akan bertambah pula. Mengacu pada pengertian riba yang mana telah dijelaskan diawal, riba an-nasi’ah tidak hanya terjadi pada hutang piutang saja melainkan juga dapat terjadi pada jual beli barter barang yang sejenis maupun tidak sejenis.

Misalnya, pada barter barang yang sejenis membeli barang satu kilo gram beras dengan dua kilo gram beras yang akan dibayar pada satu bulan yang akan datang. Kemudian pada barter pada barang yang tidak sejenis, seperti membeli satu kilo gram terigu dengan dua kilo gram beras yang akan dibayar pada dua bulan yang akan datang. Kelebihan pada salah satu barang sejenis maupun tidak yang dibarengi dengan penundaan pembayaran pada waktu tertentu termasuk riba nasi’ah.[17]

Sebagian ulama juga berpendapat, selain kedua jenis riba tersebut ada riba yad, yaitu riba yang dilakukan karena berpisah dari tempat akad sebelum serah terima terjadi. Dan yang kedua adalah riba qardhi yaitu hutang dengan syarat ada keuntungan untuk sipemberi hutang. Akan tetapi secara umum kedua riba tersebut termasuk dalam riba nasi’ah dan riba fadl.[18]

 

 



[1]Gibtiah, Fiqih Kotemporer, cet-1, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2016), h. 74

[2]Wasilul Choir, “Riba Dalam Perspektif Islam dan Sejarah”, Iqtishadia Vol. 1 No. 1 (Juni, 2014), h. 101

[3]Ahmad Sarwat, Qiyas: Sumber Hukum Syariah Keempat, (Jakarta: Rumah Fiqih Publishing, 2019), h. 10

[4]Sudirman, Fiqh Kotemporer (Cotemporery Studies Of Fiqh). (Yogyakarta: CV Budi Utama, 2018), h. 377

[5] Heri sudarsono, Bank dan Keuangan Lembaga Syari’ah, (Yogyakarta: Ekonisia, 2004), h. 10

[6]Widyaningsih, Bank dan Asuransi dalam Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005), h. 25

[7]Departemen Agama RI Al-Quran Dan Terjemahannya, (Jakarta: Yayasan Penyelenggaraan Penterjemah Al-Quran, 1986), h. 265.

[8]Sayyid Quthb, Tafsir Ayat Riba, terj. Ali Rohmat (Jakarta: Jagakarsa, 2018), h. 157-159

[9]Departemen Agama Ri Al-Quran Dan Terjemahannya, …., h. 143

[10]Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, Kemudahan dari Allah, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, terj. Syihabuddin, cet-1 (I; Jakarta: Gema Insani, 1999), h. 70

[11]Departemen Agama RI Al-Quran dan terjemahannya, …., h. 143

[12]M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dan Kehidupan Masyarakat, cet-1 (Bandung: PT. Mizan Putaka, 1992), h. 260-261

[13]Departemen Agama RI Al-Quran Dan Terjemahannya, …., h. 45

[14]Harun M.H, Fiqh Muamalah, (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2017), h. 154-155

[15]Harun M.H, Fiqh Muamalah, .., h. 154-155

[16]Harun M.H, Fiqh Muamalah, .., h. 154-155

[17]Harun M.H, Fiqh Muamalah, .., h. 154-155

[18]Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2006), h. 290

MAKALAH RIBA

  1.       Pengertian Riba Riba berasal dari bahasa arab yang artinya tambahan (زيادة ,(yang berarti tambahan pembayaran atas uang pokok ...